Siapa yang Bodoh?

3.3K 165 21
                                    

"Silakan. Kita bisa langsung adu banding di sini. Kalau ibu mampu bawa bukti konkret tentang calon istri saya seperti yang Anda tuduhkan, mungkin saya bisa terima. Kalau tidak ... silakan tunggu undangan dari pihak kepolisian," tegas Candra.

Wanita paruh baya itu mematung. Dia mundur selangkah saat melihat tatapan tajam yang Candra layangkan.

Harus diakui tuduhannya memang tak berdasar, setelah mengetahui pesan bernada provokatif dari nomor tak dikenal, juga keterangan suaminya yang ketakutan, dia memang langsung menyimpulkan tentang sosok Melisa yang sebenarnya.

"Ng, itu ...." Si ibu gelagapan. Diintimidasi seperti itu jelas dia tak bisa menjawab, mengingat tak ada bukti yang bisa memperkuat tuduhan yang dengan mudah Candra patahkan.

Melisa menatap takjub. Entah apa yang membuat perihnya tamparan dan sesaknya dada melihat tatapan datar yang Danita layangkan, tiba-tiba berubah menjadi perasaan hangat yang sulit diartikan.

Memang terlalu dini untuk menilai sosok Candra sebagai pribadi yang baik. Namun, lelaki itu cukup mampu membuktikan bahwa dia adalah orang yang bertanggung jawab, tegas, dan yang pasti mampu diandalkan.

Tak peduli bagaimana hubungan mereka dimulai. Sebab pada kenyataannya lelaki itu mampu menepis keraguan yang semula sempat menyelimuti hatinya. Tak ada alasan untuk menolak. Semua sudah ditetapkan. Candra hadir memang untuk mengisi kekosongan Melisa.

"Interupsi!" Seseorang dari belakang mengangkat tangan. Semua pandangan beralih pada wanita paruh baya lain yang memiliki sorot mata lebih bersahabat.

"Ya, Bu. Silakan!" cetus Candra.

"Saya mengenal Nak Meli. Sudah setahun sejak dia membuka jasa Room Service. Saya jadi salah satu pelanggan tetapnya."

Senyum Melisa tersungging. Dia kenal betul siapa beliau. Dia adalah Bu Kira, wanita paruh baya kesepian yang selalu datang hanya untuk ditemani makan tiap akhir bulan. Sosok berhati hangat yang sudah Melinda anggap seperti ibu kandungnya sendiri.

Sama seperti Melisa dan Dini. Dia tinggal sendirian di kota ini. Mengisi unit nomor lima puluh lima di lantai enam. Dan berprofesi sebagai seorang dosen.

"Bisa saya pastikan Nak Meli bukan seperti yang ditunduhkan. Semua orang mungkin akan setuju dengan saya, bahwa sewaktu-waktu kita juga butuh waktu untuk berbagi dengan seseorang. Bisa dibilang bimbingan psikologi yang tak bisa dibagi dengan sembarang orang. Karena satu dan lain hal saya memang tak bisa pergi menemui psikiater untuk konseling. Kebetulan Nak Meli bisa melakukannya. Sejauh ini terapi yang diberikan cukup bekerja. Apalagi kebetulan dia memang mempunyai basic dasar psikologi."

Pandangan Melisa memburam menatap senyum tulus yang Bu Kira lemparkan. Tak ada sedikit pun kebohongan dari setiap kata yang diucapkan. Dia membela Melisa karena memang begitu kenyataannya. Bukan serta-merta karena mereka saling mengenal.

"Saya juga mengenal Melinda! Unit kita bersebelahan, dan dia selalu membantu saya menjaga Qila saat saya sedang kerja shif malam." Satu lagi orang yang berani speak up. Seorang ibu muda dengan satu orang anak perempuan yang tinggal tepat di sebelah unitnya.

"Saya juga."

"Saya juga."

Diikuti beberapa orang lainnya. Mereka memberi keterangan serupa mengenai dampak positif dari jasa Room Service-nya.

Melisa benar-benar bersyukur. Meskipun tak semua yang dia lakukan bersifat baik, tapi beberapa orang yang memberi keterangan dari sudut pandangnya, bukan memojokkan seperti yang ibu tadi lakukan.

Candra menatap Melisa. Lelaki itu tersenyum lebar, lalu merangkul calon istrinya.

Sementara si ibu yang merasa amat malu langsung berlari meninggalkan aula pertemuan. Melewati Danita yang menatap dengan sorot yang sulit diartikan.

***

Pesta ulang tahun Indra Bagaskara berakhir meriah dengan pesta kembang api. Tepat pukul sebelas malam para tamu sudah membubarkan diri, menyisakan keluarga inti yang berkumpul di meja VIP.

"Loh, Cakra sama istrinya ke mana? Padahal pas pembukaan tadi papa masih liat mereka." Pak Indra membuka percakapan di tengah keheningan perkumpulan.

Karena disibukkan dengan para teman-teman sesama pengusaha, dia jadi melupakan salah satu putranya yang entah sejak kapan meninggalkan pesta.

"Mbak Dani tadi izin pulang duluan karena nggak enak badan katanya, Pak. Kebetulan beliau baru pulang dari rumah sakit karena pendarahan di usia kandungan tua," sahut Melisa. Dia terpaksa berbohong demi nama baik kakaknya. Padahal Danita tak mengucapkan apa-apa sebelum dia meninggalkan aula.

Melisa sendiri tak mengerti. Kenapa Danita begini. Padahal sebelum perempuan itu pendarahan dan dilarikan ke rumah sakit hubungan mereka masih baik-baik saja.

"Oh, iya. Mungkin Cakra nemenin istrinya. Tapi, kok nggak pamit dulu, ya?" imbuh Pak Indra.

"Nggak usah pura-pura lupa. Hubungan kita nggak sebaik itu sampe Cakra mau repot-repot pamit segala," sahut Candra dengan santainya.

"Bang!" David mengingatkan sembari menyikut lengan kakaknya saat melihat perubahan ekspresi ibunya.

"Kapan, ya, kita bisa kumpul bersama sebagai keluarga?" timpal Bu Nara tiba-tiba.

Candra menatapnya sinis. "Dalam mimpi."

"Candra!" Pak Indra menatap murka.

"Nggak apa-apa, Pa." Wanita paruh baya yang terlihat begitu anggun itu hanya bisa tersenyum getir sembari menenangkan suaminya. "Udah lama banget sejak pulang dari Inggris. Akhirnya Candra sudi duduk lagi semeja sama kita, bawa kabar bahagia lagi. Kasih dia waktu."

"Mau berapa lama lagi, Sayang? Ini udah lebih dari dua puluh lima tahun. Seharusnya dia ngerti keadaan kita," rintih Pak Indra.

"Justru karena aku ngerti keadaan kalian. Makanya sudi ada di sini. Aku cuma belum bisa menerima. Itu aja," potong Candra.

"Candra! Seharusnya pulang dari Eropa kamu bisa belajar banyak tentang attitude. Percuma ilmu tinggi, tapi adabnya nol." Pak Indra mulai habis kesabaran melihat sikap keras kepala Candra, padahal baru beberapa jam lalu mereka terlihat begitu harmonis saat Candra bercerita tentang Melinda.

"I don't care. Yang penting aku udah ikutin semua kemauan Papa. Aku cuma minta satu. Yaitu kebebasan berekspresi. Kenapa yang ini juga harus dikekang!"

"Can--"

Brak!

Semua orang terdiam saat David tiba-tiba bangkit dan menggebrak meja.

"Kalian nggak malu sama Melinda dan Dini apa?" sentaknya. "Sekali aja gue minta. Cuma sekali. Setidaknya di hadapan orang lain kalian nggak usah menunjukkan dengan terang-terangan kalau keluarga kita itu berantakan. Pura-pura sebentar bisa, kan? Gimana Bang Cakra mau kumpul sama kita, kalau begini aja nggak bisa." Naik-turun dada David menatap satu per satu orang yang duduk melingkari meja bundar di hadapannya.

"Dave ...."

"Mami nggak usah nangis!" potong David saat melihat Bu Nara dengan lirih memanggil namanya. "Sekali-kali tegas bisa! Gampar aja Bang Candra sekalian. Biar dia nggak terus-terusan bersikap kurang ajar. Padahal udah dua puluh lima tahun, masih aja ngungkit masa lalu yang nggak bisa diputar."

Candra tertegun mendengar ucapan David. Sementara Pak Indra hanya bisa mengurut keningnya.

Melisa dan Dini kebingungan. Yang ingin mereka lakukan sekarang adalah menghilang.

"Minta maaf sama Mami sekarang!" titahnya sembari memukul pelan bahu Candra.

"Hah?"

"Minta maaf buruan!" David melotot. "Sebenci-bencinya lo sama nyokap gue. Dia yang dari dulu jagain lo saat sakit, kasih makan, mandiin, bahkan anter ke sekolah. Nggak ada Emak sambung sebaik dia. Apalagi anaknya kurang ajar kek elo." Candra sudah siap membuka mulutnya, tapi lebih dulu David bungkam dengan kata-kata tajam.

"Ape lo, mau nyangkal? Perlu bukti!"

Akhirnya Candra menghela napas gusar. Dia mengusap wajah sebentar sebelum membungkuk ke arah Bu Nara yang berada di hadapannya.

"Maaf, Bu--"

"Mama!" ingat David.

"Maaf, Ma."

Senyum Pak Indra mengembang, begitu pun Bu Nara, Melinda, dan Dini.

"Nah, gitu, dong. Katanya mau jadi suami yang baik buat Meli. Masa cara minta maaf sama orang tua aja harus diajarin. Lama-lama Meli gue embat juga."

"David!" Serempak Pak Indra, Bu Nara, dan Candra memperingatinya.

"Bercanda, oi. Kompak bener," sungut David sembari memasukan sepotong Sus ke dalam mulutnya.

Akhirnya semua orang tertawa. Lelaki itu memang paling bisa mencairkan suasana.

***

Dua jam sudah berlalu sejak Danita angkat kaki dari aula dan meninggalkan pesta yang hingar-bingarnya masih terdengar samar-samar. Di unitnya, perempuan itu terlihat mondar-mandir gelisah menunggu kedatangan Cakra yang entah pergi ke mana.

Pikirannya benar-benar kalut. Apalagi saat mengetahui ponsel suaminya tak bisa dihubungi. Beruntung Arka tak ada di sini. Jadi Danita tidak terlalu repot, setelah Cakra pergi secara tiba-tiba.

Suara pintu yang terbuka menginterupsinya. Bergegas Danita berjalan cepat menghampiri, saat melihat sosok Cakra muncul dari baliknya.

"Ke mana aja kamu, Mas--ugh." Danita menutup hidung saat mencium bau alkohol yang menguar dari mulut suaminya.

Dengan tubuh sempoyongan Cakra menatap istrinya, kemudian tersenyum miring. "Wanita menyedihkan."

Deg!

"Kamu mabuk, Mas!" sahut Danita sembari merangkul Cakra menuju kamar mereka.

"Kamu bodoh, Danita. Sampai tak sadar selama ini sudah ditipu olehku dan adikmu." Langkah Danita terhenti di tengah jalan. Dia menatap Cakra sejenak, kemudian menghela napas panjang.

"Berhenti mengharapkan sesuatu yang mustahil. Sampai kapan pun kamu nggak akan bisa mendapatkan hatiku. Aku masih mencintainya, meskipun dia bukan lagi milikku."

Bruk!

Danita melepaskan rangkulannya di pinggang Cakra, hingga tubuh lelaki itu roboh seketika.

"Aku tahu." Pandangan Danita sudah memburam. "Nggak usah memperjelas apa yang udah jelas, Mas. Aku nggak sebodoh itu."

Cakra bergeming. Di ambang kesadarannya lelaki itu bisa melihat kepalan tangan Danita dan getar suaranya.

"Melisa adalah masa lalumu. Fakta bahwa kamu masih mencintainya juga aku tahu. Aku tahu semuanya. Tentang Room Service yang dia dirikan, tentang hubungan kalian di belakang. Bukan aku yang bodoh, tapi dia." Air mata Danita sudah berguguran membasahi pipinya.

"Dia bodoh karena mengumpankan Rusa pada Singa yang lapar. Dia bodoh karena memilih menderita sendirian. Dan yang paling bodoh adalah ... dia menganggapku sebagai sosok kakak yang sempurna padahal aku amat membencinya."

Danita berlutut. Dia menyejajarkan tubuh dengan Cakra, lalu mencengkeram kerah kemeja suaminya.

"Nggak ada yang mustahil, Mas. Meski sedikit aku yakin perasaan itu pasti ada. Jadi berhenti menyangkalnya!" bentak Danita sembari mengguncang tubuh Cakra.

"Lupakan Melisa. Atau aku akan membuatnya lebih menderita!" Bersamaan dengan itu tubuh Cakra jatuh tak sadarkan diri di pelukan Danita.

.

.

.

Bersambung.





Room Service Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang