Ketika dua insan dipertemukan kemudian dipisahankan, hanya ada sepenggal kenangan tersisa di antara puing-puing harapan yang nyaris karam. Meski takdir kembali mempertemukan, sebuah kenyataan pahit memaksa mereka untuk pasrah dengan keadaan.
***
20 Juli, tiga tahun lalu.
Cincin berlian berukuran sedang itu menantulkan kemilau cahayanya di antara sinar lampu yang temaram. Keindahan yang terpancar bukan alasan satu-satunya, kenapa tangis bahagia terlihat dari wajah gadis cantik yang tengah duduk di samping lelaki gagah berkacamata yang menyodorkan kotak beludru hitam itu. Namun, makna yang terkandung dari benda bundar mengkilap tersebut lebih dari sekadar pemberian. Melainkan melambangkan suatu ikatan menuju jenjang pernikahan.
"I-ini beneran, kan, Mas?" Gadis itu kembali memastikan. Seolah tak percaya bahwa lelaki dewasa yang selama ini dia anggap main-main, tiba-tiba menunjukkan keseriusan.
Satu setengah tahun sudah mereka menjalin hubungan. Pertemuan yang semula hanya sebatas rekan kerja, juga atasan dan bawahan, ternyata menumbuhkan benih-benih cinta di antara keduanya.
"Iya, Mel. Aku bahkan nggak pernah merasa seyakin ini sebelumnya. Aku mencintaimu, dan berharap kamu bersedia menjadi istriku."
Melisa membekap mulutnya. Dia benar-benar tak menyangka Cakra berniat mempersuntingnya. Dia, yang bukan apa-apa, dia yang hanya gadis sederhana, dan jauh bila dibandingkan dengan para wanita di sekelilingnya.
Seorang Cakra Daniswara, anak dari pemilik Toserba terkemuka sekaligus Marketing Manager di tempatnya bekerja sebagai seorang SPG salah satu produk kosmetik. Mengharapkan Melisa menjadi istrinya?
"Ya. Aku bersedia, Mas," tukasnya dengan ledakan tawa bahagia.
Senyum lebar menghiasi wajah tampan Cakra. Bergegas dia meraih jemari lentik kekasihnya, lalu menyematkan cincin tersebut di jari manis Melisa dan menariknya dalam dekapan.
"Mulai besok, kita ceritakan rencana pernikahan ini pada keluarga masing-masing. Kamu bisa kasih tahu Danita sepulang dari sini. Udah saatnya kita benar-benar saling terbuka. Kamu nggak perlu takut lagi."
Melisa mengangguk pelan, dia tatap Cakra sejenak, sebelum berhambur dalam pelukannya.
Sejak menjalin hubungan dekat dengan orang penting seperti Cakra, Melisa sendiri yang meminta untuk merahasiakannya, bahkan dari Danita yang juga merupakan sekretaris Cakra. Dia tak ingin hubungan mereka membatasi profesionalistas di antara mereka. Mengingat persaingan di tempat kerja membuat Melisa takut orang-orang akan menilainya sebagai wanita penggoda. Tak bisa ditampik, pesona Cakra sebagai atasan dengan penampilan yang menawan membuat wanita mana pun mampu terkesan dan mengilainya.
Cakra merapatkan pelukan mereka, sembari sesekali mengecup puncak kepala kekasihnya.
Kebahagiaan mereka juga diwarnai dengan taburan bintang yang menghias malam di atas atap mobil yang disinggahi keduanya.
***
Melisa menatap cincin bertakhtakan berlian yang menghiasi jemarinya. Dia sudah sampai di depan kosan yang tiga tahun belakangan ditinggalinya dengan Danita setelah memutuskan untuk mandiri dan tidak lagi bergantung pada neneknya.
Tiga tahun mereka tinggal di ibukota ini, tiga tahun pula Danita diterima sebagai sekretaris Cakra. Sementara Melisa melanjutkan kuliah dengan sokongan dana dari kakaknya, sebelum satu setengah tahun lalu dia resmi diterima sebagai seorang SPG kosmetik di tempat yang sama.
Banyak sekali yang sudah mereka lalui di kota besar ini. Pahit manisnya sudah mereka telan mentah-mentah sejak lama. Sampai sekarang, Danita dan Melisa masih sangat bergantung, keduanya tak bisa hidup tanpa satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Room Service
FanfictionMelinda menyediakan jasa pelayanan kamar khusus di sebuah unit apartemen elite di pusat kota. Banyak rahasia yang sudah dia simpan dari para pelanggannya. Mulai dari hal kecil seperti menjelekkan sesama penghuni apartemen, maupun yang datang terang...