Tak Sebaik yang Dipikir

5.5K 181 2
                                    

"Astaga dragon ball!"

Dini menggeleng sembari berdecak saat melihat unit Melinda masih dalam keadaan gelap gulita. Tak ada cahaya matahari yang dibiarkan masuk ke ruangan kamar bernuansa biru toska tersebut. Gorden masih tertutup, bau asap rokok tercium di mana-mana, dengan beberapa tisu yang tercecer di lantai. 

Jam sudah menunjukkan hampir tengah hari, janji dengan pelanggan tetap bernama Dave pun terpaksa diundur Dini sampai satu jam.  Karena sejak menghubunginya subuh tadi, ponsel Melinda seolah sengaja dimatikan.

"Mel, bangun, oi! Liat udah jam berapa ini." 

Dini menepuk-nepuk pundak Melinda yang tertidur dengan posisi telungkup. Pakaian yang dikenakannya bahkan masih yang kemarin. 

"Melinda Anandia, gue tahu lu udah bangun dari tadi!" Kali ini Dini kehilangan kesabaran. Dengan tubuh yang dua kali lipat lebih besar, dia bisa dengan mudah membalikan badan Melinda dan memaksa perempuan itu agar bangkit dari ranjangnya. 

"Please, Din. Gue cape banget," lirih Melinda. Dia sembunyikan wajah di antara untaian rambut keemasannya.

"Gue tahu bukan fisik lu yang cape. Tapi hati lu, Mel. Jujur sama gue, kalian ngapain aja semalem?" 

Melinda tak menjawab, dia hanya menggeleng pelan sembari menyeka jejak air mata yang masih tertinggal di pipi mulusnya.

"Mana nih mata sembab banget lagi. Lu nangis semaleman, hah? Kenapa?" tuntut Dini kemudian. 

Lagi-lagi perempuan itu hanya terdiam. 

"Denger, Mel. Kalau kayak gini terus. Lu bukan cuma khianatin kakak lu, tapi hati lu juga. Lu ngerti maksud gue, kan? Mending sekarang back to work! Sebelum semua terlambat putusin segala sesuatu yang berhubungan dengan Mas Cakra saat ini juga!"

Melinda akhirnya mengangkat kepala, lalu menatap Dini dengan nanar. 

"Gue nggak bisa."

"Sompret!" Dini menggerutu lagi. Dia menendang botol bekas soft drink yang tergeletak di lantai. 

"Setidaknya untuk saat ini," dalih Melinda yang membuat Dini mengacak rambutnya. 

"Hubungan terlarang itu ibarat duri dalam daging, Melinda. Makin dibiarkan, makin menyakitkan. Lu nggak bisa biarin semuanya larut terlalu dalam, karena kadang yang sulit itu bukan memulai, tapi melepaskan!"

Melinda terdiam. 

"Lu nggak paham, Dini!"

"Lu yang nggak paham, Meli!"

Keduanya semakin bersitegang. 

"Setahun lalu kita memang masih orang asing, tapi sekarang lu udah gue anggap kayak saudara sendiri. Please, Mel. Jangan biarkan keegoisan membuat lu menyesal di kemudian hari."

Melinda tertegun. 

"Satu-satu penyesalan gue adalah terlahir dengan sifat seperti ini."

Kini giliran Dini yang terdiam. 

"Ya Gusti. Dahlah. Pokoknya gue bakal kasih lu waktu buat berpikir. Mandi terus dandan yang rapi. Kalau lu nggak mau nemuin tuh Buaya Narsis hari ini. Besok gue berhenti!"

Room Service Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang