1🔹 Dunia Milik Renanda dan Linggara

4.8K 262 35
                                    

Jalanan masih sepi, hembusan angin pelan mulai menerpa wajahnya. Ada sedikit penyesalan ketika ia menolak membawa jaket dari rumah. Bundanya juga sudah berpesan, hari ini akan lebih dingin dari biasanya. Sayangnya, Renan selalu mengabaikan apa yang Bunda katakan. Dan jadilah dia yang kedinginan. Selama sepuluh tahun lebih, hidup berdua dengan Bunda adalah hal yang ia syukuri hingga saat ini. Perceraian orang tuanya membuat beberapa perpecahan di antara mereka. Dan termasuk adiknya yang kini tinggal bersama dengan Ayah. Renan menghela nafas, ketika mengigat sosok ayahnya.

Renan menatap jalanan, kendaraan bermotor mulai banyak melintas mengabaikan asistensinya di atas sana. Tapi ia masih betah berada jauh dari jalan. Berdiri di atas dahan pohon yang setiap hari dia kunjungi. Melihat lajunya mobil di jalanan, atau melihat bagaimana aktivitas masyarakat sekitar. Kehidupannya cukup sederhana. Remaja yang berlaku seperti anak 18 tahun pada umumnya.

Bundanya adalah orang yang sangat peka. Dia tidak tau bagaimana ibunya itu bisa mendapatkan intuisi yang sangat tepat dalam sekali melihat seseorang. Yang dia tahu, Bunda adalah mahasiswa lulusan jurusan psikologi pada masanya. Renan tak pernah menyadari bahwa kepekaan itu berasal dari hati dari seorang ibu yang membesarkan anaknya seorang diri.

"Hei!! Anak muda yang ada di atas sana!!" Suara itu berasal dari bawah, seorang laki-laki dengan kulit coklat dan handuk kecil yang tersampir di bahunya. Dari teriakannya saja, Renan sudah tau itu adalah tukang sayur yang sering berkeliling di kompleks rumahnya.

"Kamu mau apa, hah?!! Kamu anaknya Bu Ron, kan?!" Ia menghela nafas, harusnya dia bisa bersembunyi lebih baik dari ini. Dengan begitu, Renan bisa lebih lama berada di tempatnya.

Renan tidak pernah tau kalau saat ini, dirinya tengah berhadapan dengan tukang sayur yang gempar membeberkan berita dan isu pada ibu-ibu di kompleksnya. Renan menggaruk tengkuk, menunjukkan senyum selebar yang ia bisa.

"Maaf Bang Jaki, saya tadi nemu burung. Eh, sekarang udah terbang." Bang Juki hanya tersenyum sambil melambaikan tangan, menyuruhnya untuk turun.

"Iya saya tau kamu suka tantangan, tapi nggak gitu juga kali. Burungnya terbang, tapi kamu ikutan terbang juga lagi. Sana, berangkat sekolah!! Saya tau sekolah kamu jauh dari sini, kamu malah mainan sama burung! Cepetan turun!!" Renan menghela nafasnya. Ia hanya mengangguk patuh. Sebenarnya, ia lebih suka lompat dari tempat yang ia pinjak. Tidak apa-apa kan?!

"Turunnya hati-hati, awas ... EH, BOCAH TERBANG!!" Serunya. Pasalnya, belum selesai Jaki bicara pada Renan, remaja itu sudah terjun begitu saja. Dengan ketinggiannya saat ini, mungkin saja jika itu orang lain kakinya akan langsung patah. Bisa juga mengalami pendarahan jika membentur tanah terlalu keras. Dari tanah, tingginya sama dengan lantai dua perumahan. Tapi ini adalah Renan. Remaja tak normal yang sukanya bermain-main dengan tantangan. Bang Jaki, sempat berhenti bernafas karena remaja itu memaksanya untuk percaya akan apa yang dia lihat beberapa detik sebelumnya.

Renan membenarkan letak tasnya yang tersampir di bahu. Renan tidak menyangka bahwa apa yang ia lakukan tidak umum bagi manusia biasa. Yang ia tau adalah Bang Jaki sudah berwajah pucat dengan tubuh yang membeku menatap remaja itu seolah tak terjadi apa-apa. Kemudian memukul bokong Renan dengan handuk kecil yang ia bawa.

"BOCAH!! KAMU TAU NGGAK ITU BAHAYA?!! BISA-BISA TANGAN SAMA KAKI KAMU PATAH!! NANTI BILANG APA SAYA SAMA IBU KAMU?!!!" Renan menahan sakit di bokongnya karena ulah bang Juki. Kalau dia tidak segera pergi dari sana, mungkin bokongnya sudah berwarna merah. Karena itu, ia segera beranjak dari sana. Berlari sekencang yang ia bisa. Mengabaikan teriakan bang Juki padanya.

Dua Arjuna✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang