Semalam aku terlalu bahagia, sampai tidak memperhatikan sekitar dan pagi datang adalah ganjaran buatku yang di atas awan sendirian.
Andin tidak keluar kamar sejak subuh, aku pikir dia masih ingin melanjutkan tidur. Tapi jam sudah menunjukkan pukul delapan, manusia rajin seperti Andin harusnya sudah melakukan seribu langkah di luar posko atau di dalam posko, melakukan apa saja yang penting gerak. Tapi hari ini berbeda, dia seperti tidak mau meninggalkan kasur barang sedetik pun. Apakah Andin sudah tahu nikmatnya rebahan sepertiku?
"Andin, sarapan dulu yuk." Kay mencoba membujuk dengan makanan, tapi gagal karena makanan hanya manjur untuk aku.
"Simpan aja di meja, Kay. Nanti aku makan, makasih ya." Andin menjawab sambil membenamkan wajahnya di bawah selimut.
Aku bertukar pandangan dengan Kay. Ada yang tidak beres dengan anak ini.
"Semalem lu apain si Andin, Kay? Sampe murung gitu."
"Dih, enak aja. Semalem dia biasa aja. Apa gue yang nggak peka, ya? Fokus gue ke lu sama si Ir-"
"Ssssssstttt!!!" Aku membekap mulut Kay spontan, membuat matanya melotot kaget, "Jangan keras-keras." Setelah Kay mengangguk aku urai tangan perlahan.
"Gimana dong?" Kay bertanya kebingungan dengan tangan masih membawa makanan untuk Andin.
Beberapa member posko menikmati pagi ini dengan kegiatan bebas, ada yang berolahraga, mencuci baju, mengerjakan perangkat pembelajaran dan banyak hal lagi, intinya kita punya kegiatan masing-masing.
"Simpen aja dulu makanannya." Aku mengambil piring dari tangan Kay dan menyimpan di bawah tudung saji, sambil diberi note, 'Yang makan ini cacingan seumur hidup.'
Kay geleng-geleng kepala melihat tindakanku, "Masuk jangan ke kamar?" Ia bertanya setelah aku selesai dengan urusan piring.
"Gass, masuk!"
Andin masih meringkuk di sana dan kita perlahan masuk dengan mengunci pintu. Area kamar ini harus steril, hanya kita bertiga, Allah, malaikat dan segala jenis makhluk renik di kamar ini yang tahu.
Lama kami berdiri di depan pintu, berpikir bagaimana baiknya kita bertindak. Kay kehilangan sikap dewasanya dan aku mendadak tidak bisa membuat lelucon. Tapi Andin menyadari keberadaan kami dan ia mencoba tertawa dengan membuka wajahnya dari balik selimut.
"Mau sampai kapan berdiri di situ? Ambilin minum dong."
Kay yang merespon ucapan Andin pertama kali dan menyodorkan botol minumnya, sementara aku terkaget-kaget melihat wajah Andin yang bengkak dengan mata merah dan hidung berlendir.
"Duh, jelek banget gue ya?"
Aku memeluknya tanpa aba-aba, membuat Andin terhenyak beberapa detik, lalu setelah menjadi menit air matanya turun lagi, ia menangis di pelukanku.
"Ih, apa sih nangis?" Kay bicara seperti itu tapi dia juga ikutan nangis dan berpelukan. Jadilah kita trio cengeng dengan wajah jelek nangis dipagi hari.
Lima menit berlalu dan kami masih menangis tanpa sebab.
Andin mengurai pelukanku, mengambil beberapa helai tisu lalu menatap kami bergantian.
"Ngapain sih, kok nangis?" Andin memaksakan tawa, tapi tidak berhasil mengubah suasana.
"Lo yang ngapain nangis sendirian." Kay gak terima dengan ucapan Andin.
Dan kita tertawa beberapa saat. Suara kipas angin menerobos keheningan, sampai akhirnya aku buka suara.
"Udah lebih tenang, Ndin? Kita boleh tahu gak, kamu kenapa hari ini?"

KAMU SEDANG MEMBACA
REMEANT: Danika
RastgeleNamanya Danika Hisyam, cewek, doyan banget rebahan, gak suka cari ribut, tapi bisa berguna bagi Nusa dan Bangsa kalo gak dipaksa. Rada galak, gak tahu malu -lebih sering malu-maluin sebenernya, deket sama Rahma, dan ngerasain rindu berlebih ke sahab...