19. Percaya, oke?

2.6K 223 34
                                    

Kunyahannya perlahan melambat. Melirik ke samping dan ia masih mendapati seorang pria melemparkan senyuman. Tidak ada yang aneh sebenarnya, tetapi bagaimana kalau hal itu dilakukan setiap menit?

Yoongi membalas dengan pelototan. Menelan sekaligus kunyahannya sebelum berucap sengit. "Berhenti menatapku begitu."

"Memangnya kenapa?"

"Tidak suka. Kau ini kenapa, sih?" Yoongi menelisik balik. "Sedang ingin, ya?"

Jimin tergelak tawa, padahal tidak ada yang lucu. Humornya memang agak bobrok. Beranjak dari sofa dan menempatkan diri di belakang Yoongi yang duduk di karpet tebal; bersila di depan meja dan asyik memasang potongan-potongan puzzle sambil menyuap kupasan buah.

"Bukan itu, ingin memandangmu saja. Tidak boleh? Sombong sekali."

Yoongi ragu menanggapi meski Jimin semata-mata bercanda. Ia memutar posisi duduknya sampai berhadapan langsung dengan Jimin dan sedikit menyandar ke sisi meja. "Kau terlihat kesulitan tidur belakangan ini."

Balasan Jimin cukup lama. Pria itu mengerjap sambil menggosok kantong matanya yang tampak lebih hitam dari sebelumnya. "Tidurku selalu nyenyak, Sweet."

"Masih memimpikan hal itu?"

Tepat sasaran. Jimin bungkam lama kemudian menghela napas dalam-dalam. Paham maksud pembicaraan Yoongi. "Tidak lagi."

"Tapi dari minggu kemarin sampai hari ini kau masih terlihat gelisah, Jimin. Melototiku setiap menit. Meminta semua pekerja di sini mengawasiku di saat kau tidak ada di rumah," Yoongi menjeda, "aku tidak punya kebebasan barang sedetik pun."

"Sayang ...." Jimin menampilkan senyum tipis. Sepasang netranya memandang teduh seraya tangannya bergerak mengusap perut Yoongi. "Mimpi itu buruk sekali."

"Iya, Jimin."

"Aku hanya sedang berusaha agar mimpi itu tidak terjadi."

"Oke, itu hanya mimpi."

"Setidaknya kupastikan kau selalu aman."

"Dan itu terlalu berlebihan."

"Karena kau tidak tahu rasanya!"

Sontak Yoongi kaku di tempat. Jimin baru saja meninggikan suaranya. Jelas, ia terkejut. Meneliti raut muka sang suami yang kini diliputi cemas. Teringat beberapa hari yang lalu ketika jarum jam masih nunjukkan pukul tujuh pagi; Jimin bersimpu di kakinya, menangis tersedu-sedu sembari meracau tidak jelas tentang si bunga tidur.

"Semuanya di sini, Yoon." Jimin menekan-nekan tempurung kepalanya sendiri. Mimpi kurang ujar itu sulit dilupakan. Ia menatap Yoongi penuh tuntutan. "Aku melihat jelas, kau ...."

Ucapannya terhenti, Jimin meneguk getir di kerongkongan. Sekelumit pahit ada di sorot matanya, merasa tercubit saat Yoongi secara tak langsung berkata usahanya dalam menjaga seolah sia-sia.

"Aku memastikan kau dan si bayi aman. Kalau sampai aku kehilangan kalian ...." Netranya meredup bersamaan sedikit genangan air. "Aku benar-benar takkan memaafkan diriku sendiri."

Pada dasarnya, Yoongi mengerti. Ekspresi kusut, kekhawatiran, dan semua perlakuan Jimin yang seperti kekangan untuk memastikan ia dan gumpalan daging di perutnya baik-baik saja. Maka dari itu, ia memberanikan diri mengambil kedua tangan Jimin. Dikecupi setiap buku-buku jari sambil menyatukan tatapan mereka.

"Aku paham tujuanmu." Tersenyum lebar hingga gusinya terlihat. Lalu melanjutkan dengan mengusap-usap punggung tangan Jimin. "Bukan bermaksud menyepelekan, tapi kalau boleh jujur ... aku kurang nyaman."

My (lil) Family [MINYOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang