57. Pembatasan Asupan.

561 79 17
                                    

Tiba-tiba saja sebait pertanyaan melesat begitu cepat selagi air mendidih bergolak. Sudah waktunya dan tanpa menunggu lama, Yoongi memasukkan olahan tepung keriting ke panci hingga tenggelam setengahnya. Bersama lamunannya pemuda tersebut menggigit ujung sumpit besi dengan dahi berkerut.

Siapa orang pertama yang menciptakan ramen?

Mi kuah khas Jepang yang biasanya berisi daging, sayuran, dan sebagainya. Di mana zaman semakin maju dan akan selalu berkembang, ramen kini mudah ditemui di rak minimarket dengan embel-embel makanan yang dapat disajikan secara instan. Salah satunya dibeli Yoongi ketika sedang berbelanja bulanan meski mendapat lirikan tajam dari Jimin, sang suami, yang melarangnya keras untuk mengonsumsi makanan itu.

Penyedap rasa, pengawet, lalu jenis panganan yang diolah berkali-kali menjadi alasan karena kurang bagus untuk tubuh apabila dikonsumsi terlalu sering. Apa pun yang berlebihan memang tidak baik, kan?

Namun, sebaris janji dengan tatapan sedih nyaris menyayat hati, pemuda yang kini tengah mengandung anak pertama berhasil meluluhkan pasangannya, sehingga bisa membawa pulang sebungkus mi instan kuah kari. Lihat saja bagaimana senangnya Yoongi menambahkan sebutir telur, beberapa udang segar, irisan brokoli beserta tomat, lalu sejengkal sosis yang sudah dipotong-potong menjadi bahan terakhir yang dimasukkan ke panci.

Butuh waktu kurang dari lima menit agar campuran itu tampak matang di mata Yoongi. Penampilannya tidak menarik sama sekali, tetapi siapa yang peduli. Ia justru luar biasa bangga meletakkan hasil masakannya di meja makan sebelum menarik kursi.

Berjalan ke ujung konter dapur, Yoongi mengambil sebungkus rumput laut kering. Anggap sebagai topping tambahan yang jangan sampai terlewat. Sayangnya, begitu berbalik untuk menyantap hindangan, matanya bertatapan langsung dengan seseorang di ambang pintu. Jika ini adegan drama mungkin waktu akan melambat, disusul bungkusan dari genggaman Yoongi yang meluncur bebas, tergeletak mengenaskan di samping kaki. Kemudian sebagai tersangka, pemuda Min menganga sebab terlalu syok ketika mencerna apa yang sedang terjadi.

Ia ketahuan. Rencana dari jauh-jauh hari seketika lebur tak bersisa. Sekarang Yoongi hanya perlu menunggu dirinya dieksekusi.

"Kenapa sudah pulang? Katanya hari ini lembur!"

Panik. Suara Yoongi agak melengking. Langkah yang semakin mendekat menciptakan ngeri tersendiri baginya.

"Jimin ... aku bisa jelaskan."

"Baiklah, aku mendengarkan di sini."

Ah, ternyata bukan ide bagus juga. Yoongi malah semakin mati kutu. Beku di atas pijakan dan berusaha menghindari tatapan Jimin yang kini bersedekap menunggu.

"Siapa yang berjanji makan mi instan sebulan sekali?"

"Aku."

"Siapa juga yang malah ingkar janji dan makan mi instan 3 hari berturut-turut?"

"Aku ...," Yoongi tampak kehilangan tenaga. Bahunya lesu terkulai. Bibirnya mencebik jengkel. "Iya, iya, aku bersalah. Ya sudah, hukum saja."

Dari pandangan Jimin, pemuda itu seperti menantangnya. Tanpa rasa penyesalan dan hanya ada kekesalan seolah merajuk. Ia bergeser ke samping, menarik selembar tisu di atas meja, lalu mendekati Yoongi lagi guna menyeka bumbu minyak di pipi kiri. Entah bagaimana bisa mendarat di sana. Ia enggan pusing memikirkan.

"Iya, nanti kupertimbangkan kira-kira hukuman apa yang cocok untukmu," sahut Jimin.

Yoongi melirik sebal, membiarkan pipinya diusap-usap. "Jahat," gumamnya.

Ucapan tersebut terdengar jelas. Jimin tetap memilih abai. "Sekarang habiskan makananmu, setelahnya temani aku ke atas."

Ada percikan kembang api di bola mata Yoongi kala itu. Letupan bungah sulit disembunyikan hingga ia tersipu malu, dan memastikan lagi, "Boleh?"

"Mubazir kalau dibuang. Habiskan saja."

Lampu hijau bak pemicu utama gerak Yoongi ke kursi. Ia menempatkan diri dengan nyaman, kembali meraih sepasang sumpit yang sempat ditinggalkannya. Kepulan uap masih terlihat di atas mangkuk. Sebelum meneruskan apa yang tertunda, ia nekat mencuri kecupan tepat pada bibir Jimin yang mana pemuda itu berkedip cepat karena terkejut.

Jimin tidak banyak berkata atau pun mengomentari. Melihat lahapnya Yoongi menyantap makanan menjadi kesenangan tersendiri. Sesekali ia menyentuh pipi Yoongi yang mengembung sampai empunya agak terganggu, tetapi tetap membiarkannya.

"Ini enak, Jimin. Mau?"

Yang ditanya membalas gelengan. Melirik sekilas ke dalam mangkuk, Jimin mengernyit, menebak-nebak apa saja yang Yoongi masukkan selain mi. Satu sampai dua bahan sedikitnya dapat ia tebak.

"Aku makan sayur juga, loh," Yoongi tiba-tiba menjelaskan setelah menangkap sinyal penuh penilaian Jimin atas masakannya. "Ada brokoli dan tomat. Oh, aku tambahkan protein dari telur dan udang."

Mau tidak mau Jimin ikut tersenyum tatkala pemuda di sebelah menampilkan cengiran lebar. Sedari tadi ia terus memperhatikan apalagi saat Yoongi memutar mi menjadi gulungan besar dan seakan-akan terlalu besar bagi cakupan mulut sehingga remah-remah makanan tertinggal di sekitaran bibir. Ia menarik selembar tisu lagi, menyeka sisi bibir Yoongi.

Setengah santapannya masuk ke perut, Yoongi mendadak memiringkan kepala. Rahangnya masih bekerja selagi ia terpikirkan sesuatu.

Kenapa makanan yang tidak sehat itu selalu enak, sih? Aku jadi susah berhenti mengunyah!

Alih-alih memikirkan lebih lanjut, Yoongi mencoba abai sampai mangkuknya benar-benar kosong. Tersisa tiga atau empat sendok kuah saja. Semua ludes terproses lambung miliknya. Menoleh ke samping dan ia menemukan segelas air penuh yang langsung ditenggak habis. Tidak menyadari kapan Jimin mengambil untuknya.

"Kenyang."

Cengiran itu terlihat lagi. Yoongi tertawa kecil bersama perasaan senang. Membalas tatapan Jimin yang bertumpu dagu di meja makan, ia beringsut mendekat, menipiskan jarak antara kursi mereka untuk melingkarkan lengan di pinggang suaminya.

"Jangan dimarahi ya, Jimin. Hati aku sakit."

Lantas, Jimin menghela napas. Dalam sekali hampir menghabiskan seluruh oksigen dari paru-paru. Ia meluruskan punggung, membenarkan letak duduknya meski sulit karena dekapan Yoongi belum dilepas. Pemuda itu malah semakin rapat sambil menyadarkan kepala di dadanya.

"Jangan dimarahi, ya. Jangan dimarahi." Yoongi masih mencoba keberuntungan. Ia berniat mengais belas kasihan dari sang suami.

Jimin mengusap punggung, mencium kepala Yoongi dua kali. Kemudian ia berkata, "Kalau nakal pasti kumarahi. Perlu kuingatkan kalau kau—"

"Aku kan hanya makan mi yang mana itu kesukaanku," tukas Yoongi seraya membuat jarak antara mereka. "Ya sudah, tidak usah makan apa-apa saja selamanya."

Namun, protesan itu bertahan kurang dari semenit begitu sadar perubahan air muka Jimin. Segera Yoongi kembali memeluk dari samping sambil meralat kata-katanya, "I-iya, ini terakhir kalinya aku makan mi selama bulan Juli. Besok-besok tidak lagi."

"Sekali lagi diulangi, PS milikmu aku sita. Tidak usah main selamanya."

Sukses menghantarkan mimpi buruk bagi Yoongi yang mendengarnya. Gim konsol itu sering ia gunakan selagi menunggu terkasihnya pulang dan kini dijadikan ancaman. Berat. Sungguh berat.

Pada akhirnya Yoongi mengangguk lesu. Sembari mendongak dengan mata berkaca-kaca seperti ingin menangis, ia menyahut, "Iya, aku janji. PS-ku jangan diambil ya, Jimin."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My (lil) Family [MINYOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang