31. Slebor.

1.6K 232 13
                                    

Dalam hitungan lima menit ke depan, waktu akan memasuki tengah malam sepenuhnya. Bukannya bergegas membasuh tubuh dan segera memosisikan diri untuk terlelap tidur, Jimin malah melamun di depan rak sepatu. Pintu di belakang tubuh sudah tertutup rapat dan ia masih berpikir bagaimana cara melepas sepatu. Entah, kenapa sulit sekali rasanya?

Lantas ia merobohkan bokongnya ke lantai lalu menggerakkan tangannya guna melepas kedua sepatu dengan serampangan. Pening, pijakan terasa berputar-putar, bahkan untuk kembali berdiri Jimin perlu mencari pegangan di tembok. Namun, begitu persensi manusia yang berada beberapa langkah di depan, tampaknya berhasil mencungkil sedikit kesadaran. Sontak ia tersenyum konyol.

"Hai, Yoon—"

Jimin tidak melanjutkan kalimatnya. Ia juga mengurungkan niatnya menghampiri pemuda yang memandangnya ketus. Tiba-tiba sekali ia terkejut setengah mati.

"Yoongi ... kenapa kau ada dua?" Jimin menepuk-nepuk pipinya. Seketika ia menerbitkan cengiran penuh arti sambil naik turunkan kedua alis. "Wah, ada dua. Senangnya ...."

Melihat hal tersebut, Yoongi menahan diri untuk tidak menarik sejumput rambut kepala milik suaminya.

Tidak boleh, tidak boleh, aku sabar.

Baru melangkah dua kali saja Yoongi  dapat mencium aroma pekat alkohol yang menguar dari Jimin yang terbahak tidak jelas. "Habis berapa gelas?"

"Hng? Apa?"

"Kau minum berapa gelas?"

"Tidak, tuh. Siapa?"

"Sudah tahu toleransimu rendah kalau urusan minuman. Diantarkan siapa tadi? Naik taksi, ya? Mobilmu di mana? Ditinggalkan di rumah temanmu lagi? Awas saja kalau besok meminta aku menemanimu untuk mengambilnya."

Refleks Jimin meluruh ke lantai. Memelas begitu sedih sambil menyandar di tembok. "Jangan dimarahi," jeda sejenak. Ia kesusahan memfokuskan pandangan. "Aku sakit ...."

"Apa yang sakit?"

"Kepalaku," rengek Jimin sembari menunjuk-nunjuk pelipisnya sendiri.

Yoongi menghirup napas dalam-dalam sebelum diembus kasar. Ia sempat mengusap perutnya sekali dan berucap dalam hati agar anaknya tidak seperti Jimin—seperti dirinya saja. Kemudian ia menjulurkan tangan. "Ayo, bangun. Pegang yang kuat supaya tidak sakit kepalamu."

Disambut senang oleh Jimin. Ia tersenyum lebar membiarkan kakinya bergerak sendiri mengikuti Yoongi. Namun, menyadari pemuda yang menuntunnya berubah menjadi satu orang lagi, ia mengernyit bingung.

Sesampainya di kamar, kasur terlupakan begitu saja. Jimin memilih merebahkan dirinya di karpet lantai dan menepuk tempat kosong di sebelahnya dengan mata separuh terpejam. "Tidur, Yoon."

Yang diajak langsung berdecak jengkel. Alih-alih mengomel, Yoongi perlahan bersimpu di samping untuk melepaskan kaos kaki suaminya. "Jangan tidur di sini. Naik ke kasur."

Tidak ada respons, Jimin sudah terbuai lelap.

"Jimin!"

Cubitan di perut tidak beraksi apa pun. Yoongi menghentikan kekesalannya dan segera bangkit. Ia mengambil selimut dari lemari lalu menyelimuti seonggok manusia yang terlentang bebas dari ujung kepala hingga ujung kaki—menutupi seluruhnya. Kemudian ia meninggalkannya tanpa basa-basi ke ranjang.

My (lil) Family [MINYOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang