16. Demam

2.5K 287 9
                                    

Sang surya belum menampakkan wujudnya. Langit masih didominasi warna kelabu. Jam weker menunjukkan pukul empat pagi dan sebagian manusia masih terlelap dalam tidurnya, pengecualian bagi Yoongi.

Dari setengah jam yang lalu terbangun karena pergerakan tiba-tiba dan rengekan tipis mampu memaksa matanya terbuka. Berasal dari Jimin. Yoongi terburu-buru bangkit untuk menyalakan lampu utama, barulah ia menyadari suaminya tengah mengigau dengan butiran peluh dan wajahnya sepucat kertas. 

"Ji—" Kalimat Yoongi tertelan kembali, seluruh kantuknya hilang seketika saat telapak tangannya menyentuh pipi Jimin. Terasa sangat panas.

Tanpa membuang waktu lagi, ia segera pergi ke dapur. Menyiapkan bejana berisi air hangat dari dispenser dan membawanya ke kamar. Beruntung Yoongi ingat akan kandungannya, tetap melangkah hati-hati guna menghindari kejadian buruk. Lalu mencelupkan handuk kecil yang diambil dari lemari, mengompres dahi Jimin. Begitu melihat termometer yang diselipkan di mulut menunjukkan angka 38,7 menjadikan Yoongi menghela napas panjang.

Selimut yang membalut tubuh Jimin dilepas. Membiarkan pria itu dengan piyama tipis saja dan tidak lupa ia menaikkan suhu ruangan agar tidak terlalu dingin.

"Kubilang apa kemarin? Jangan bekerja dari pagi sampai pagi lagi. Berlagak tidak peduli dengan dirimu sendiri, padahal nyawamu hanya satu." Yoongi menggerutu pelan. Sengaja, tidak ingin membangunkan Jimin sekalipun ia berniat memarahinya habis-habisan.

Projek baru hasil kerjasama dengan investor ternama memang membuat Jimin berusaha semaksimal mungkin mencapai target. Bahkan kalau bisa harus melebihi. Memilih berkutik bersama tumpukan kertas, memandangi layar laptop dan meeting dengan banyak orang penting, ia utamakan. Mengabaikan waktu meski larut mendatangi. Ucapan Yoongi sekadar masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Tumbang juga akhirnya setelah bertahan dua minggu diiringi jam istirahat yang kacau.

Mengerjap lambat, Jimin mulai sadar. Agak kesulitan sebab matanya terasa panas. Pening di kepala masih bertahan. Ia agak mengernyit saat sebuah benda bertengger di dahinya. Tidak sengaja melirik ke samping kasur dan Jimin mendapati sepasang netra memandangnya khawatir.

"Hai ...."

Sapaan bernada parau serta cengiran menyebalkan dibalas dengusan sebal oleh Yoongi. Tangannya bergerak mencopot kain kompresan, diletakan di atas nakas. "Makan bubur dulu, setelah itu minum paracetamolnya."

Jimin menegakkan punggung, dibantu oleh Yoongi saat hendak menyandar ke headbed. Ia memperhatikan suaminya mengaduk bubur yang hampir dingin. Otaknya bereaksi mencerna. "Aku ... sakit, ya?"

Tidak mendapat jawaban. Tatapan tajam dari Yoongi diartikan sebagai 'iya'. Jimin mengunyah pelan makanan dari suapan Yoongi. Lidahnya tidak bisa mengecap rasa. "Buburnya ... buatanmu?"

"Memangnya siapa lagi?"

Mencuit. Sahutannya sengit. Jimin merengut sedih. Yoonginya galak sekali. Suapan keenam, ia menolak. Perutnya mual tidak ingin menerima asupan lagi. Kerongkongannya kering bukan main seolah air tidak membantu. Jimin menggeliat tidak nyaman.

"Satu kali lagi?"

"Sudaah ..."

"Dagingnya, ini daging yang kusuwir tipis-tipis."

Jimin menggeleng. Menutup mulutnya.

"Perutmu masih kosong. Satu kali lagi. Aaaa ...."

Tetap pada pendiriannya yang sama-sama keras kepala. Yoongi menyerah. Menyodorkan sebutir obat dan air segelas yang langsung tandas dihabiskan Jimin.

Seusai itu, Jimin membaringkan lagi punggungnya. Yoongi kembali menaruh handuk pada dahinya. Mengunyah sekian menit saja seperti menghabiskan banyak tenaga, ia benar-benar lemas tak berdaya. Kelopaknya mulai terkatup.

Baru saja Yoongi hendak beranjak dari kasur, suara serak Jimin menginterupsi.

"Ke mana ...."

"Dapur. Tunggu sebentar, kuambilkan minum lagi."

"Yoon?"

"Iya, Jimin."

Tidak langsung dijawab. Terpejam seutuhnya karena efek obat yang ditelannya mulai beraksi. "Di sini ...."

"Iya, aku di sini." Yoongi menggenggam tangan Jimin. Pria itu mencarinya. "Kutinggal sebentar, ya?"

"Jangan ... nanti—bayi ... di sini—" Mulai melantur tidak jelas. Terdengar seperti gumaman. Jimin bergeser sedikit, mendekat ke Yoongi yang duduk di bagian kasur yang kosong. "Yoo—n?"

"Iya, Jimin, iya." Yoongi membalas seadanya. Menatap salah satu pahanya dipeluk Jimin dan membiarkannya sampai suaminya kembali terlelap.

Memperhatikan dalam diam ditemani pagi yang mulai menyingsing. Secercah sinar mengintip di balik tirai menjadi pengalih perhatian Yoongi sebelum memusatkan lagi atensinya pada Jimin. Ia mengusap-usap lembut dada pria tersebut sambil menyisipkan doa agar penyakit yang menimpa terkasihnya segera hilang.

"Jangan sakit, Jimin. Aku juga ikut sakit."

My (lil) Family [MINYOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang