42. Salah Satu Yang Tersayang.

1.2K 191 34
                                    

"Siang nanti, teman-temanku akan datang kemari."

Jimin mendongak, mengalihkan perhatiannya dari nasi goreng dengan telur mata sapi di atas piring ke pemuda di seberang yang asyik mengupas kulit apel. Dahinya mengerut sebelum ngajukan tanya, "Apa aku mengenal mereka?"

"Tentu saja."

"Siapa?"

"Jungkook dan anaknya," Yoongi menyahut. Kemudian ia tersenyum lebar seolah bangga dengan jawabannya sendiri hingga gusi merah mudanya terlihat jelas.

Menahan mati-matian gelitik di perut, Jimin sebisa mungkin tidak tertawa atas penuturan tersebut. Sekalipun bibirnya berkedut hendak menyemburkan gelak, tetapi ada hal lain yang mengganggu dalam benaknya. "Wah, si bocah yang usianya kurang dari empat tahun itu ... tidak kusangka kau mengikutsertakan dia ke dalam circle-mu."

Meskipun senyum masih tersemat manis, sekelumit pilu tetap ada di pancaran bola mata milik Yoongi. Terlebih saat pemuda itu menyahut lamban, "Karena selain mereka, aku tidak punya lagi, Jimin."

Terdengar menyedihkan bak kucing yang terapung di laut bersama sepotong kayu, entah menunggu agar diselamatkan atau lebih dulu menunggu ajalnya diambil sang Tuhan. Sendirian. Kebingungan.

Ulu hati Jimin seakan dicubit. Ia bahkan sempat kesulitan menelan makanannya. Lantas berdeham sekilas dan berniat menenangkan dirasa situasi mendadak kelabu. "Kalau kau lupa, aku ini temanmu juga."

Sontak Yoongi tertawa kecil. Pipinya merona diselipi ekspresi malu-malu. "Tentu saja. Kau teman tersayangku." Sembari menopang dagu di atas meja, ia memandang Jimin sarat akan memuja. "Teman yang mencintaiku, mengencaniku, menikahiku, meniduriku, memberiku benih di perut, dan menemaniku selama-lamanya. Kuberi kau lima bintang untuk itu, Jim."

Kali ini Jimin ikut tergelak padahal lelucon yang dilontarkan setidak selucu itu. "Terima kasih atas testimoninya, tapi untuk 'meniduriku' tolong dihilangkan, ya?"

"Kau memang sering meniduriku."

"Dalam konteks aku sudah menikahimu dan kau memberiku izin sepenuhnya."

Yoongi merotasikan kedua mata. Padahal tujuannya sekadar iseng, tetapi yang lebih tua menganggap terlalu serius. Sembari mengunyah malas sepotong apel, ia menopang dagu lagi dan menatap Jimin penuh keingintahuan. "Kau punya banyak teman. Bagaimana cara kau mendapatkannya?"

Jimin tak segera menjawab. Ia memandangi air di gelasnya tanpa minat. Sejujurnya dalam hati pemuda tersebut ragu menjawab karena takut menyinggung cerita yang tak ingin lagi didengarnya. "Sama seperti kau menjadikan Jungkook dan anaknya temanmu."

"Sudah kulakukan, kok," balas Yoongi. Ingatannya kembali ke beberapa tahun silam. "Dulu aku punya banyak sekali teman. Entah di sekolah ataupun di luar sekolah seperti satu akademi basket yang pernah kuikuti. Tapi semenjak bisnis Papa nyaris bangkrut, kejayaan keluarga kami hampir hilang, lucunya semua yang kuanggap teman kala itu juga ikut hilang."

Nah, kan. Jimin mengernyit tak suka. "Sayang—"

"Beruntungnya dari sekian banyak manusia, aku menemukan kau dan Jungkook tetap bertahan," Yoongi menukas cepat. Ia tidak membiarkan ucapannya terputus. "Kalau dipikir-pikir lagi meski kondisi perekonomian keluargaku sudah stabil seperti semula, aku tidak berniat memperbanyak teman, sih. Hanya-kau tahu, aku terkadang merasa sendirian dan ... iri melihat seseorang dikelilingi pertemanan yang sesungguhnya."

Pagi itu, langit Rabu tampak disambangi mendung. Begitu juga raut wajah pemuda Min yang terduduk lesu. Sedikit saja senggolan, hujan bisa datang lebih awal. Benar-benar tidak bagus. Maka Jimin meraih tangannya, menggenggamnya erat di atas meja makan sambil mempertemukan iris mereka. "Untuk beberapa alasan, kejadian yang kau alami tidak semata-mata kebetulan. Malah sedikit-banyaknya sudah membantumu, bukan? Kau dapat lebih berhati-hati sebab pada dasarnya hati manusia tidak bisa ditebak selain Tuhan sendiri yang tahu."

Melihat Yoongi mengangguk dengan lebih cerah dibandingkan sebelumnya, Jimin refleks menjawil gemas. Ia pikir tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, tetapi mendapati kembali perubahan mimik muka Yoongi saat ia beranjak ke pintu, Jimin mendadak tak yakin.

"Aku pergi sekarang. Kau tunggu di rumah dan jangan lakukan hal aneh yang membahayakan dirimu atau orang lain," pesan Jimin tatkala ia hendak berangkat bekerja.

Yoongi berdeham seadanya. Malas menjawab dengan benar.

Jimin melirik sekali lagi. Memastikan. Namun, firasatnya memang tidak pernah salah. "Oke ... aku pergi."

"Sungguh? Kau ingin pergi begitu saja?"

Baru melangkah tiga kali, Jimin membatu di pijakannya. Menoleh terlampau pelan dan berhati-hati sampai ia menangkap sinyal emosi di bola mata milik Yoongi. "Eh? Apa aku melewatkan sesuatu?"

Yoongi mendengkus setengah tak percaya. "Aku belum mendapatkan cium!"

"Astaga!" Jimin panik. Kembali menghampiri Yoongi setelah menepuk jidatnya sendiri keras-keras. Bagaimana bisa ia melakukan kesalahan fatal seperti ini? "Maaf, maaf. Jadi, bagian mana yang perlu kucium?"

Yoongi merentangkan kedua tangan, memperlihatkan perut besarnya yang tercetak di kaus. Wajahnya begitu pasrah. "Semuanya."

Tidak, ini godaan di pagi hari. Jimin meringis tak enak hati. "Kuyakin waktuku tidak cukup untuk semuanya, Sayang. Kau bisa menagih sisanya saat aku pulang, bagaimana?"

Sudah dapat menduga jawaban dari sang suami, Yoongi sekadar mengedik. "Ya sudah, nanti kucari sendiri seseorang yang akan menciumku semuanya."

"Hei, mana mungkin bisa begitu!"

***
SELAMAT SABTU CERAH! SECERAH MASA DEPAN KITA SEMUAAA! 😚

My (lil) Family [MINYOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang