54. Si Manis Buat Meringis.

1K 148 21
                                    

Mimpi kali ini berawalan sangat indah. Cuacanya panas. Matahari menyengat. Angin yang berembus tak cukup membantu, kulit tetap terasa disengat sang surya. Jimin menemukan dirinya berdiri di pinggir pantai. Matanya yang dilindungi kacamata hitam memandang ombak saling berkejaran bahkan sesekali naik ke tepi dan menyentuh kaki.

Pekikan riang khas anak-anak menjadikan ia menoleh ke sumber suara. Tampak satu bocah laki-laki berlari terseok-seok karena menghindari bocah laki-laki lain yang membawa kepiting dengan capit besar. Jimin tergelak. Rupa anak-anak tersebut persis sekali dengan suaminya.

Tidak jauh dari sana, ada pemuda lain—mengenakan kemeja kuning secerah mentari yang dipadu dengan celana biru pendek—sibuk menyedot air dari kelapa utuh. Baru saja Jimin hendak melambaikan tangan, meminta perhatian sosok itu, sayangnya tentakel gurita yang keluar dari pasir tiba-tiba membelit kaki kirinya. Sesuatu yang tidak pernah terbayang kini terjadi secepat kedipan mata.

Jimin berteriak-teriak. Kedua tangannya berusaha mengais apa pun yang ada di dekatnya mencari pegangan agar tidak terseret. Namun, keberuntungan seolah lenyap tak menyisakan setitik harapan. Tiga orang di sana tidak menyadari kejadian yang menimpanya. Suaranya seperti dihapus angin pantai. Pasir mencapai kepala. Ia tidak bisa bernapas.

Tenggelam.

Tenggelam.

Jimin ...

Jimin?

Bangun atau aku akan menangis?

Jimin?

Pada lintang waktu yang sebenarnya, Jimin tersentak bangun. Netranya memindai langit-langit kamar sebagai hal pertama yang dilihatnya. Ia berada di kamar dan itu melegakan. Hanya sesaat saja sebelum memiringkan badan guna menarik seseorang dalam dekapan, sosok yang dikiranya tertidur justru kini memandangnya dengan netra berkilat-kilat. Di temaram cahaya lampu tidur Jimin bisa melihat Yoongi terjaga.

"Aku membangunkanmu sedari tadi."

Rengekan tersebut menyakinkan apa yang dilihat bukan bagian dari imajinasi. Jimin mengucek matanya, menghilangkan kantuk. Sekilas ia terpikirkan sesuatu. Apa ini pemicu mimpi buruknya?

"Bangun, Jimin. Susah sekali sih kalau dibangunkan," Yoongi bersungut-sungut. Jemarinya mencubit-cubit lengan pemuda Park yang mulai mengusap kepalanya pelan.

"Iya, aku sudah buka mata."

"Kenapa tidak menyahut ucapanku?" Galak. Nada suaranya sangat tidak bersahabat. Persis menyimpan dendam pribadi. Empunya bergerak merangkak, membiarkan tubuh seseorang di samping ikut terlentang selagi ia mengatur letak duduk. "Tuh, lihat. Kau biarkan aku bicara sendiri lagi."

"Iya, Sayang, iya," Jimin membalas cepat. Kedua tangannya berusaha memegangi Yoongi yang sekarang menaruh pantat seenaknya saja. Tanpa memikirkan belalai yang terhimpit bokong besarnya.

Jimin sempat merintih merasakan ngilu di selangkangan. Alih-alih meminta Yoongi menyingkir dari sana, ia memilih pasrah. "Ingin apa, Sayang?"

"Makan."

"Oh, silakan." Jimin merentangkan kedua tangan. Kelopak mata turun perlahan. "Aku sudah siap." Entah kesimpulan itu terlintas begitu saja. Bayang-bayang erotis seperti Yoongi berniat menungganginya menguap tak tertahan. Sayang, cubitan di pipi membuyarkan semuanya.

"Ih, bukan. Makan dalam artian sebenarnya."

Balasan Jimin sebatas gumaman kecil, baru mengerti. Ia kembali memandang Yoongi yang sudah mencondongkan tubuh, meletakkan tumpuan tangan di sisi kepalanya agar perut mereka tidak saling menekan . Bola mata di sana seakan-akan mengunci dirinya. Dari jarak sedekat ini Jimin lagi-lagi tersadarkan dalam kondisi temaram atau gelap sekalipun Yoongi memiliki cahaya sendiri. Menjadikannya terhipnotis sekadar untuk memuja penuh damba.

My (lil) Family [MINYOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang