40. Tembakan Mendadak.

1.3K 202 35
                                    

"Aku sayang Jimin. Sayang sekali."

Yoongi berujar dalam satu tarikan napas. Ia berdiri sambil menggenggam selembar kupon ayam yang didapatkannya kemarin siang, menghadap pemuda yang tengah bersantai di bean bag pada hari liburnya.

Bak petir menggelegar di telinga, Jimin yang sudah menyadari seseorang berjalan menghampirinya sontak mengerjap terkejut. Memberikan atensi sepenuhnya dengan badan terduduk kaku, ia berdeham membuka suara, "Kenapa ... tiba-tiba?"

"Sebatas pengakuan saja."

Yoongi bukan termasuk pemuda yang terang-terangan mengatakan seluruh perasaannya. Mengenai hati, biasanya ia lebih memilih menyimpan rapat-rapat sendiri dan akan diutarakan jika hanya dirinya serta Tuhan saja yang dengar. Jelas, dua kalimat barusan menjadikan Jimin berpikir keras. Namun, tidak menampik rasa malu dan degup jantung yang bertalu membuatnya persis bocah SMA yang sedang kasmaran.

Si Park menyebarkan pandangan ke halaman belakang. Sinar matahari yang menyorot siang kala itu tampak benar-benar panas. Kendati begitu, seseorang merasa lebih cerah dibandingkan musim kemarau itu sendiri. "Sayang sebanyak apa?" tanyanya tak puas sekaligus menggoda.

"Sebanyak tetesan hujan yang jatuh ke bumi, sebanyak air di lautan, atau sebanyak isi tata surya di keseluruhan galaksi. Pokoknya banyak, tidak bisa kuhitung."

Ah, rayuan gombal yang membuat perut melilit. Tanpa melihat pun Jimin yakin cuping telinganya sudah memerah. Kedut di sudut bibir tak dapat dicegah. Ia kesulitan menahan senyum sampai harus menutup setengah wajah dengan telapak tangan.

"Kuharap untuk semua kebersamaan kita, kau tidak menyesal karena mengenal dan menikahiku." Tidak cukup di situ, Yoongi melanjutkan. Memilih tidak melihat si pendengar, ia menatap ujung jari-jari kakinya. Suaranya mengalun lembut sekali. "Kau tahu, Park Jimin selalu menjadi yang paling-paling terbaik dari yang terbaik. Aku bersyukur dalam hidup atas hal itu."

Serangan kedua!

Yoongi melangkah lebih maju. Tangannya terangkat guna menyodorkan sepotong kertas yang agak lecek. "Ini kupon makan ayam gratis untukmu. Berlaku sampai akhir tahun. Kau bisa datang ke sana barangkali ingin dan kalau butuh teman, ajak aku." Kemudian, ia mencondongkan kepala sekadar membubuhkan kecupan singkat di dahi dan pelipis kanan Jimin yang membeku. "Dan cium tipis dariku. Kalau ingin lagi, boleh kok."

Total, tiga serangan!

Jimin belum sepenuhnya mencerna. Ia menatap bergantian secarik kertas dan Yoongi yang memandangnya penuh kasih. Pemuda berbadan dua itu benar-benar menyerangnya tanpa aba-aba dan persiapan yang pasti. Jimin mengerang dalam batin. Ia belum siap mendapat serbuan secara mendadak ini. "O-oh, wow ... sangat mengejutkan. Terima kasih banyak," jeda sejenak. Ia meneguk ludahnya berat. "Aku sangat menghargai ini semua."

Yoongi ikut tersenyum. Pipinya mengembang bersamaan gusi yang terlihat seraya menyambut genggaman Jimin yang mencari-cari tangkupannya.

"Boleh aku mendapat ciuman di bibir?" Jimin bertanya. Ia menginginkan sesuatu yang lebih mengikat rasa harunya, yang lebih intim.

Maka di sana, Yoongi perlahan mendaratkan bokong untuk duduk di pangkuan suaminya dan sedikit menjaga jarak agar perutnya tidak terhimpit. Ia mengusap halus rahang milik Jimin begitu tautan keduanya terjadi.

Lumatan panas dengan sensasi membakar inti sel. Jimin menelusup masuk kala Yoongi membuka  mulutnya. Membiarkan lidah saling bertemu, membelit satu sama lain sebagai ajang mencari yang paling unggul. Pagutan itu memakan waktu lama hingga entah liur siapa yang mengalir keluar. Abai pada sekitar, keduanya fokus mengejar nikmat masing-masing.

Namun, Yoongi sedikit terganggu ketika tidak lagi merasakan pergerakan dari Jimin. Ciuman tersebut berubah sepihak. Seolah dirinya yang memimpin, ia membuka mata lambat-lambat dan mendapati pemuda yang memeluknya sudah menatap lebih dulu. Menyadari ada kejanggalan, Yoongi nyaris berucap jika tidak menahan pekikan saat bongkahan pantatnya diremas kuat dan pelukan mengerat. "Jim—"

"Kau ingat kalau aku mengenalmu sekian tahun dan itu tidak sebentar?" Seperti pernyataan dan Jimin jelas tidak butuh jawaban. Ia menipiskan kembali jarak wajah mereka meski Yoongi berusaha mendorong bahunya. Menyisipkan seringai selagi berbisik di depan dagu, Jimin menahan tawa menemukan sosok dalam dekapan nyalinya mencuit. "Untuk sogokan yang luar biasa mendebarkan ini, memang apa yang sudah kau lakukan?"

Sayang, kemenangan dalam hati sirna dengan sendirinya. Yoongi terkesiap meski mati-matian mempertahankan perubahan mimik muka. Pada dasarnya ia tidak cocok untuk melakukan hal seperti ini terlebih Jimin akan langsung mengetahui ke mana buntutnya mengarah. Lantas ia mencebik, mencuri satu kecupan singkat di bibir dan gesit menyembunyikan wajah di ceruk leher Jimin. "Aku yang merusak laptopmu minggu kemarin, Jim. Itu tidak sengaja. Sungguhan."

Oh, ini dia. Jimin menghela napas. Cengkeramannya berubah menjadi tepukan pelan menenangkan di panggul. Ia melemaskan punggung dan membiarkan Yoongi bersandar kepadanya.

"Tapi dua hari yang lalu bahkan saat ini aku selalu mimpi buruk. Kupikir aku dapat karma. Aku dihantui rasa bersalah. Ya sudah aku mau mengaku saja," Yoongi merengek. Kedua kakinya bergerak-gerak menendang angin bersamaan sepasang lengan mendekap sang suami. "Maaf, ya, Jimin. Maaf. Meskipun pada akhirnya bisa diperbaiki, aku takut kalau ada berkas yang hilang."

Kejadiannya hari Sabtu yang lalu. Yoongi tidak sengaja menyenggol laptop milik Jimin hingga meluncur bebas ke lantai, masih teringat jelas dalam ingatan. Sampai di mana ia memasukkan barang tersebut ke tas yang biasa Jimin pakai agar ada alasan bahwa kecelakaan tersebut bukan terjadi di rumah dengan ia sebagai pelaku utama.

"Lagi pula aku sudah tahu dari awal kau memang tersangkanya."

Sontak Yoongi kembali mengambil jarak, menciptakan celah untuk menatap Jimin bingung.

"Karena pada saat itu, wajahmu langsung pucat. Sampai kuperhatikan sering kali kau memberiku tatapan sedih sambil mengerutkan kening seolah memikirkan sesuatu yang genting," jelas Jimin. Ia menyingkap anak rambut yang menghalangi dahi Yoongi. Senyum hangat terbit tiba-tiba. "Aku juga tidak tega untuk bertanya. Beruntung semua data masih aman dan kerusakannya tidak mengenai sesuatu yang fatal. Tapi lain kali, tolong katakan saja kepadaku, ya?"

Nyatanya memendam khawatir berlebihan bisa menciptakan mimpi buruk itu sendiri. Yoongi tercenung lama, mengabaikan Jimin menciumi pipinya dengan gemas. Sejenak ia tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Aku ... dimaafkan?"

"Iya, sudah maafkan."

Lantas, cengiran penuh kelegaan Yoongi pancarkan terang-terang. Senang rasanya. Semoga setelah ini ia tidak didatangi bunga tidur yang jelek lagi. Nyaman di atas pangkuan Jimin, ia tak sengaja melirik dari sudut matanya. "Jimin, kupon ayamnya mau ditukarkan kapan?"

Jimin mengedik singkat. "Nanti saja kapan-kapan."

"Jangan kapan-kapan, keburu tahun baru. Tidak berlaku lagi, lho."

"Ah, begitu. Mungkin aku akan ke sana lusa?" Membaca sekilas informasi di selembar kertas yang di genggamannya, Jimin mengerling jahil. "Setelah aku pulang bekerja. Sendirian. Makan sepuasnya."

Yoongi tidak terima. Bagaimana bisa Jimin berniat tidak mengajaknya? Alisnya bertaut seiring hidung kembang-kempis. "Kenapa sendirian? Kalau kau kekenyangan, aku bisa bantu."

Jimin menggeleng lemah. Bibirnya merengut sedih. "Sepertinya tidak bisa. Aku butuh waktu untuk sendiri."

"Mana ada begitu. Aku temani ya, Jimin? Iya, boleh? Kau kan tidak bisa makan banyak-banyak, tapi aku bisa. Kalau kita ke sana besok saja, bagaimana? Lebih cepat lebih baik."

***
DUAAR MEGEMEGEK!!

AKU HAUS KONTEN HAHAHA. MANA INI SI MINYOON SEPI-SEPI AJA 💔 TAPI KITA HARUS PEGANGAN TANGAN TERUS BIAR KAPALNYA GAK TENGGELEM YA 💔

My (lil) Family [MINYOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang