4. Senam Hamil.

3.7K 365 31
                                    

"Jimin, aku boleh main basket?"

Baru saja seteguk latte mengalir di kerongkongannya dan hampir keluar lagi karena desakan paksa saat mendengar suara kelewat familiar dari balik punggungnya. Menoleh seketika—setelah meletakan cangkir di meja—mendapati pria berkaos hijau terang lengkap dengan celana training dan sneakers brand mahal. Di lengan kirinya mengampit bola berwarna oranye kecoklatan bahkan dilihat dari jauh ukuran perut dan bola tersebut hampir sama besarnya.

Jimin menaikan satu alisnya. Di Sabtu pagi, hari  yang selalu ia isi dengan kopi dan koran kini sedikit terusik. Yoongi dan segala tingkahnya.

"Kau sedang mengandung jabang bayi, sayang."

"Iya tau."

"Tidak ada orang hamil bermain basket."

Yoongi mengendikan bahunya acuh. Bertingkah santai dan mengabaikan fakta jika suaminya tengah menautkan kedua alis bersamaan dengan ekspresi tidak suka. "Kalau begitu, aku akan menjadi yang pertama."

"Kau mau jantungku merosot ke betis ya? Jangan lakukan hal aneh."

"Tidak aneh, Jimin." Yoongi masih pada pendiriannya. Memicing tidak setuju saat salah satu kegemarannya dikatakan aneh. "ini olahraga yang wajar."

"Kondisimu tidak mewajarkan olahraga semacam itu, Park Yoongi."

Pada kata akhir Jimin menaikan suaranya. Yoongi mengedip berkali-kali sebelum merengut. Bola yang diampit lengan dan pinggangnya dibiarkan terjatuh. Ada sorot sedih bercampur kecewa di sana. Cukup menjadikan Jimin ikut terdiam.

Melirik bola basket di lantai sebentar sebelum Yoongi menendangnya pelan. Tidak peduli menggelinding kemana. Ia memilih mendekati Jimin yang masih terduduk di sofa tunggal. Melempar tubuhnya tiba-tiba menjadikan Jimin seolah sofa itu sendiri dengan mendudukinya. Perlu diingat, sang korban sudah hafal dan siap memberikan tempat untuk pelaku dalam pangkuannya.

Yoongi menyandarkan tubuhnya, melimpahkan bobot tubuh pada Jimin yang bahkan hidungnya hampir tergencet belakang kepala Yoongi. Kedua tangan terbuka lebar pada sisi sofa, membiarkan Jimin mengusap-usap perutnya.

"Bisa tidak bayinya dipindahkan dulu ke perutmu? Aku mau bermain basket."

Jimin tergelak tanpa suara dan Yoongi bisa merasakan hembusan nafas di pipi kirinya sebelum satu kecupan ringan dibubuhkan.

"Lihat ini." Yoongi mengangkat salah satu lengannya. Menunjukan trisepnya—otot bagian belakang lengan atas—pada Jimin. "ini bukan otot lagi, tapi lemak."

Jimin hanya mengangguk sembari mengusap-usap apa yang Yoongi tunjukan padanya.

"Menjijikan."

"Selama hamil otot-ototku hilang semua, Jimin."

"Aku gendut."

"Pasti orang akan sulit membedakan yang mana kumamon, yang mana Yoongi."

"Kacau."

Tidak menginterupsi sama sekali. Jimin setia mendengarkan dengan seksama keluh kesah Yoongi mengenai tubuhnya yang—katanya—berubah menjadi gumpalan-gumpalan lemak. Menyadari Yoongi sudah terdiam barulah ia menyahut.

"Tidak apa-apa. Mau tubuhmu berubah menjadi apapun, kau tetap Park Yoongi. Suamiku."

Mendengar hal itu Yoongi melirik sinis. Mencubit lengan Jimin. "Jangan mencoba menghiburku ya? Jujur saja. Aku gendut kan?" Yoongi menggerakan tubuhnya secara acak. "Nih, nih, beratkan memangku ku?"

Sontak Jimin memeluknya, tidak begitu erat. Menghentikannya sebab pantat Yoongi menggesek sesuatu yang tidak boleh terbangun—jika belum waktunya. Bisa gawat nanti.

My (lil) Family [MINYOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang