13.5K 1.5K 35
                                    

Happy Reading

Sorry for typo(s)

***

Sudah tak terhitung berapa kali Jaemin mengganti saluran televisi. Ugh, ia lapar tapi malas memasak. Bosan karena tidak ada yang menarik, tangannya terulur untuk meraih ponsel dan mengecek beberapa pesan masuk. 

Sedang serunya berbalas pesan dengan Renjun dan Haechan, perutnya berbunyi. Ia mendengus dan memilih berbaring sofa. Ia mengabaikan cacing-cacing di perutnya yang meronta kelaparan.

Ah, tidak bisa!

Ia lapar dan tidak bisa menahannya. 

Tapi, ia juga malas keluar malam-malam. 

Baiklah, setelah bertanya pada dua sahabatnya, lelaki cantik ini memutuskan untuk berbelanja. Ia berjalan santai sambil mendengar musik. Di sela bersenandung lirih, tiba-tiba ia terbayang kejadian tadi sore. 

Ia mendengus. Mark keterlaluan! Gara-gara pria jelek itu, waktunya tersita banyak. Ia jarang memiliki quality time dengan dirinya sendiri. Sejak bekerja menjadi sekretaris, jam tidurnya sering berkurang dan sering terjebak di kantor hingga larut. 

Menyebalkan! 

Tetapi sisi positifnya adalah ia tidak mempunyai waktu untuk membuat apartemennya berantakan. 

Jaemin menghembuskan napas dalam-dalam. Ia berniat mengundurkan diri satu minggu lagi. Dengan begitu, ia akan terbebas dari neraka. Ia juga tidak akan bertemu dengan sumber kedongkolannya akhir-akhir ini. 

Seutas senyum terlukis di bibirnya ketika sampai di depan minimarket. Tanpa pikir panjang kakinya menuju rak berisi ramen. Bola matanya bersinar antusias melihat jejeran ramen dengan berbagai varian rasa yang sangat menggiurkan. Ia sengaja memilih yang super pedas karena berharap dapat membakar rasa kesalnya yang sudah menggunung. 

Pada awalnya, Jaemin ingin memasaknya di rumah namun menikmatinya di sini juga bukan ide yang buruk. Lampu jalan yang kerlap-kerlip, lalu-lalang kendaraan serta orang-orang setidaknya mampu membuatnya terhibur dan membawanya ke perasaan tertentu. Entahlah, tapi ia menyukai suasana seperti ini. 

Selain saat ini, ada beberapa suasana yang terkadang membuat perasaan terasa berbeda—menjadi lebih melankolis, mungkin. Pertama, saat duduk sendiri di bawah payung ketika hujan. Kedua, saat melihat jalan raya dan traffic light di malam hari. Yang terakhir, saat pulang di sore hari. 

Sembari menunggu ramennya matang, iris madunya memandang keluar. Ia bisa melihat hiruk pikuk orang-orang yang baru pulang bekerja, segerombolan remaja sekolah, muda-mudi berpacaran, ibu bersama anak laki-lakinya, seorang perempuan dengan seekor kucing, dan lain-lain. 

Ia tersenyum lebar menyadari makanan yang telah ditunggu-tunggu sudah matang. Tangannya mengambil sumpit dan mulai menyantapnya dengan hati penuh. Enak! Lidahnya benar-benar dimanjakan dengan citarasa dan lembutnya lilitan mie. Ia terus menyuapkan kimci dan mie tanpa henti sampai kuah merah itu berkurang setengah. 

Sedang enak-enaknya mengunyah, suara seseorang sukses membuatnya tersedak. 

"Makan pelan-pelan, Sekretaris Na. Tidak ada yang berniat memintanya."

"Uhuk-uhuk!"

Jaemin menegak air minum untuk meredakan tenggorokannya yang terasa perih. Ia menepuk dada kirinya berkali-kali. "Sajangnim bisa tidak sih jangan muncul di depan saya sehari saja?!" bentaknya. 

Yang menjadi objek kemarahan Jaemin hanya tersenyum tipis. Ia lantas mengambil tempat di samping sekretarisnya tanpa persetujuan. "Jangan terlalu percaya diri, Sekretaris Na. Saya sendiri tidak berharap kita akan bertemu." Ia menggulung mie miliknya hati-hati lalu memasukkannya ke dalam mulut. "Satu lagi. Jangan memanggil saya Sajangnim karena kita tidak di kantor sekarang," imbuhnya setelah menelan. 

Jaemin menggigit bibirnya dan tangannya terkepal erat, menahan diri untuk tidak memberikan tamparan pada pria yang kini netranya dibingkai oleh kaca mata. "Dasar raja iblis!" umpatnya pelan namun jelas didengar. 

"Dasar kucing garong," balas Mark santai. Tatkala Jaemin hendak berdiri, ia dengan sigap menahan lengannya agar kembali duduk. "Ada yang ingin saya bicarakan," titahya mutlak. 

Si manis menarik lengannya kasar. Ia tidak sudi disentuh oleh iblis seperti Mark. "Lima menit!" 

"Tidak cukup." 

"Ya sudah enam menit!" 

Lama-lama Mark terganggu oleh intonasi Jaemin yang selalu meninggi setiap mereka berbicara. Astaga. Ia belum tuli. "Ini penting, Sekretaris Na," tuturnya sabar. Lagipula kenapa kedudukan mereka terbalik? Seharusnya ia yang berhak menentukan waktu bukan Jaemin. 

Jaemin memejamkan matanya sejenak. "Jika Sajangnim terus mengulur waktu, jangan harap saya akan bekerja besok!" Keningnya mengernyit melihat Mark yang tertawa pelan. Tolong beritahu di mana yang lucu. Dahinya mengerut lantaran Mark memandangnya sambil berpangku dagu. 

"Saya permisi." 

Terlampau jelas bahwa Mark main-main. Ia saja yang terlalu bodoh sehingga terkelabui dengan mudah. 

"Tapi belum ada 6 menit. Kurang 4 menit lagi." 

"Kalau begitu katakan! Saya ingin istirahat!" 

Lagi-lagi Mark terkekeh. Entah apa yang lucu di matanya. Alih-alih menuruti keinginan Jaemin, ia justru membahas hal lain. "Sepertinya anda orang yang pemarah ya?" Sejak tadi, lawan bicaranya tidak berhenti menarik urat demi menanggapinya. 

Sangat lucu. 

Merasa membuang-buang waktu, Jaemin bangkit. Ia takut kepalanya pecah bila tetap di sini. Belum satu langkah ia ambil, Mark membawanya ke chest freezer kemudian memberikan es krim kepadanya. 

"Semoga es krim dapat mendinginkan kepala anda yang sudah berasap." Setelah berkata dengan nada mengejek, Mark mengeluarkan Jaemin dari minimarket. Ia lantas menutup pintu dan membiarkan Jaemin yang masih mematung di luar. 

TBC 

Sampai jumpa lagi... 






Sekretaris Na [MarkMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang