스물 하나

8.4K 1K 62
                                    

Happy Reading

Sorry for typo(s)

***

Cinta. 

Satu kata yang memiliki lima huruf itu memiliki arti yang sangat dalam. Setiap insan bisa mendefinisikan arti cinta sesuai sudut pandang mereka. Meski kata penuh makna itu terdengar sangat familiar di telinga, tidak semua orang paham apa itu makna cinta. Benarkan? Lima huruf itu bermakna sangat luas.

Cinta adalah kasih sayang.

Cinta berarti ketulusan.

Cinta juga berarti pengorbanan.

Definisi cinta yang terakhir mungkin arti yang tepat bagi Brianna. Entahlah, ia sendiri tidak terlalu mengerti apa itu cinta. Di otaknya hanya ada Mark, Mark, dan Mark. Tidak heran karena Mark adalah cintanya. 

Wanita bermata biru ini menegak rakus sekaleng bir seperti tak ada hari esok. Maniknya mengawang dan pikirannya melayang entah ke mana. 

Semua usahanya sia-sia. Rencana yang sudah ia susun matang-matang selalu berujung pada kegagalan dan ia berada di ambang keputusasaan. Tekadnya untuk membuat Mark bertekuk lutut padanya kian menipis hari demi hari.

"Bodoh! Kenapa selalu menganggapku teman, Mark?" 

Terdengar helaan napas berat yang begitu frustasi dan putus asa. Brianna memijat pelipisnya saat pening mulai mendera namun mulutnya enggan berhenti meneguk caira cokelat-keemasan itu. Entah apa yang ia pandang sampai sebulir air mata mengalir di pipinya. 

Bayangan masa lalunya kembali berputar bak kaset rusak walau ia sudah menjambak rambut cokelatnya berkali-kali. Kisah penuh tawa tetapi menyimpan kesedihan di baliknya terus-menerus berkelebat menghantui. 

Langkahnya terhuyung dan sempoyongan ketika ia berjalan menuju dapur untuk mengambil bir. Lagi-lagi ia menghabiskannya dalam sekali tegak biar kepalanya memberat dan berputar-putar. 

Tak sanggup menahan beban tubuhnya sendiri, Brianna pun jatuh terduduk dengan punggung yang bersandar pada pintu kulkas. Nayanikanya menatap cahaya matahari yang kebetulan mengenai paras cantiknya. Tanpa sadar air matanya kembali merembes dan dadanya sesak sekali. Tiba-tiba ia tersenyum benci mengingat nama seseorang. "Dasar kutu pengganggu," hinanya mencibir. 

Sekuat tenaga ia meremas kaleng bir hingga tak terbentuk. Berani-beraninya Jaemin mengacaukan rencananya. Mark menjadi semakin mengabaikannya karena sekretaris licik itu bukan? Senyum bencinya terhapus dan kini ia tersenyum misterius. "Haruskan aku menyingkirkanmu, Na Jaemin?" Ia memperhatikan telapak tangannya sendiri. "Ah, tidak. Aku tidak mau mengotori tanganku lagi."

Brianna lantas memutar otaknya. Ia pikir Jaemin tidak membutuhkan kekerasan untuk disingkirkan. Menurut penilaiannya, Jaemin lebih lemah daripada saingannya dulu. Cara bibirnya mengulas senyum cukup menakutkan andai ditilik lebih dalam dan ada yang berbeda di sorot matanya. 

Jemarinya menghapus kasar air matanya. Ia tahu masih ada harapan kendati sulit. Napasnya memburu dan rahang eloknya mengeras hanya dengan membayangkan wajah Jaemin. Ia yakin Mark pasti menjaga Jaemin dan tidak mungkin lengah jika menyangkut semua hal yang berhubungan dengan lelaki bermarga Na itu. 

Lidahnya berdecak keras sebelum ia menjatuhkan kepala ke lututnya yang tertekuk. Kenapa ia terlihat menyedihkan dan terus mengharapkan sesuatu yang mustahil? Pipinya yang mulai mengering dibanjiri air mata lagi. Ia menangis tergugu, berharap tangisannya mampu menghanyutkan semua lara yang menghimpit dada. "Ashley," bisiknya. Kedua tangannya mengepal kuat dan bibirnya ia gigit. "Aku membencimu."


***


Ruang penyimpanan arsip adalah tempat baru bagi Mark dan Jaemin untuk menghabiskan waktu berdua. Sudah tak terhitung berapa kali mereka berciuman di balik rak. 

"Setengah jam lagi kakak rapat," ucap Jaemin seraya meletakkan lima lembar kertas yang baru saja dicetak ke atas meja. Ia mengernyitkan keningnya tatkala Mark memintanya duduk di atas pangkuannya. "Mau ngapain?" tanyanya was-was. 

"Nggak ngapa-ngapain, Sayang. Sini." 

Meski curiga dan agak takut, Jaemin tetap menurut dan duduk meyamping. "Ada apa sih, Kak? Kalau mau ngobrol 'kan bisa duduk biasa aja." Iris madunya beralih ke depan, mengamati dinding kaca yang jelas mengumbar posisi mereka. "Nanti ada yang lihat ah. Aku mau duduk di kursi aja." 

Sayangnya, Mark tidak akan melepaskan Jaemin semudah itu. Dengan cepat ia melingkarkan tangannya di pinggang yang lebih muda, mencegahnya agar tidak beranjak. "Kamu belum kasih morning kiss ke kakak lho," ujarnya yang disertai senyum penuh arti. 

"Ih udah tahu!" 

"Kapan?" 

"Waktu kakak bobo. Aku 'kan bangun duluan. Awas ah! Aku mau―Kakak!" 

Sementara sang pelaku terkekeh santai seusai meremat pinggang Jaemin. Sentuhan mereka memang belum terlalu jauh tapi jangan khawatir karena ia yakin sebentar lagi Jaemin pasti luluh dan bersedia menyerahkan tubuhnya. 

Ia bergegas menuntun Jaemin ke rak paling belakang kemudian menawan bibirnya tanpa menunggu si manis berkedip. Ia memiringkan kepala sembari menghisap lembut bibir Jaemin bergantian. Di lain waktu, ia mungkin akan merayu Jaemin untuk bertukar peluh di sini diam-diam. 

Alih-alih mendorong Mark menjauh, Jaemin justru mengalungkan tangannya ke leher suaminya. Parasnya semakin indah dipandang ketika netranya memejam sempurna. Tanpa bisa dicegah desah tertahan lolos dari bibirnya yang setia dipagut mesra begitu merasakan belaian di pinggangnya. Ia tergelitik seakan terdapat ribuan kupu-kupu terbang di perutnya. 

Terbawa suasana, Mark mengecup telinga Jaemin lalu turun ke bawah. Ia mencumbu leher Jaemin lebih dalam dan panas daripada yang pertama kali di hotel dulu. Tidak ada kecupan acak atau tergesa-gesa layaknya sebelumnya. 

Hisapan di atas tulang selangkanya sukses membuat Jaemin menggigit bibirnya kuat-kuat. Jantungnya berdebar kencang dan maniknya sontak membulat saat Mark mulai melepaskan kancing kemejanya. "Kakak ahh jangan di―" 

BRAK!

Setelah itu, terdengar derap langkah kaki terburu-buru. 

"SAJANGNIM DAN SEKRETARIS JUNG YANG TERHORMAT HARAP KE RUANG MEETING SEKARANG!!" teriak Haechan. Dalam hati ia mengumpat dan berpikir bagaimana bisa atasan dan sekretaris itu hendak melakukan perbuatan yang tidak senonoh. 

Mark memejamkan matanya, kesal setengah mati hingga ubun-ubunnya berasap. Kenapa orang-orang gemar mengganggu mereka berdua? Dulu orang tuanya yang menangkap basah dan sekarang temannya. Ia pun mengusap punggung Jaemin yang sudah menenggelamkan wajah ke bahunya, merasa malu. "Tunggu lima menit lagi," balasnya antara malas dan gondok. 

Seandainya tahu bahwa maksud 'jangan' yang sebenarnya dalam ucapan Jaemin adalah jangan di sini, ia pasti akan meninggalkan rapat dan memilih pulang ke rumah tanpa berpikir dua kali. Persetan dengan rapat! Memadu kasih dengan Jaemin jauh lebih penting. 

Ingin tahu apa alasannya?

Tentu saja karena enak. 

Tbc

Sampai jumpa lagi👋







Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sekretaris Na [MarkMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang