열아홉

10K 1.1K 84
                                    

Happy Reading

Sorry for typo(s)

***

Setelah sehari menginap di rumah nenek, Mark dan Jaemin tengah menghabiskan waktu berdua. Mark kira kakek dan nenek Na tidak menyukainya mengingat alasannya dan Jaemin menikah tetapi pemikirannya salah besar. Mereka berdua sangat baik dan benar-benar mengerti bagaimana cara menjamu anggota keluarga baru. 

Saat ini Mark dan Jaemin sedang duduk di tepi pantai Odaiba. Dari tempat mereka duduk, keindahan iluminasi Jembatan Rainbow memukai keduanya. Awalnya mereka hendak naik bianglala tetapi Jaemin membatalkannya secara sepihak karena ia tidak suka Mark menjadi pusat perhatian di sana. Bahkan ada yang terang-terangan tersenyum ke arah suaminya padahal jelas sekali ia menggandeng lengan Mark. 

Yang semakin membuatnya kesal adalah Mark tidak peka. Mark justru balas tersenyum sembari membenarkan kaca matanya. Ugh, ia malas sekali melihatnya dan sedikit tidak suka. Iya, sedikit lantaran takut Mark akan besar kepala. 

Mark mencubit pipi si cantik yang masih setia merengut. "Jangan marah." 

Jaemin menepisnya pelan dan kembali menikmati keindahan jembatan yang jauh di depannya. Ia pun menyandarkan kepalanya ke bahu Mark seraya menekuk bibirnya. 

"Mereka tidak apa-apanya karena saya selalu melihat anda, Sekretaris Na." 

Jaemin memukul keras paha seseorang yang saja berbicara. "Tuh kan kakak bicaranya gitu lagi! Kan kemarin nggak gitu janjinyaa." 

Mark pun berdehem begitu tersadar. Sebagai permintaan maaf, ia mengecup puncak kepala yang lebih muda. Posisi mereka sangat menguntungkan baginya karena ia bisa menciumi kepala Jaemin kapanpun dirinya mau. 

"Kakak mau punya anak berapa?" tanya Jaemin. Ia memandang orang tua dan anak kecil yang bermain di bibir pantai tidak jauh mereka. 

Mark menjawab sambil memainkan cincin pernikahan yang tersemat di jari manis Jaemin. "Mmm... berapa aja asal buatnya sama kamu."

Lidah Jaemin berdecak. "Serius, Kakak." 

Mark terkekeh. "Kakak ikut kamu." 

"Kalau aku nggak mau punya anak?" 

"Nggak apa-apa."

Jaemin mengangguk-angguk mendengarnya. "Aku mau satu tapi nggak mau mirip kakak." 

Kening Mark tak ayal mengernyit. "Loh kakak 'kan ayahnya? Jadi, nggak apa-apa mirip kakak." Tiba-tiba ia menyengir dan berdehem lagi. Entah apa yang merasuki otaknya hingga ia berani bertanya menggoda. "Nanti malam buat mau?" 

Jika sebelumnya memukul, sekarang Jaemin mencubit paha pria yang lebih tua. "Kakak nih mesum! Sana buat sendiri!" Andai boleh jujur, ia agak mengantuk namun enggan pergi dan membiarkan momen berharga ini cepat berlalu. Desau angin terdengar jelas di gendang telinganya. "Cantik," pujinya pasalnya apa yang ia saksikan serupa lukisan. 

Mark menyetujuinya meski panorama yang netranya pandang tidak sama dengan Jaemin. Senyum tipisnya terukir saat ia menatap Jaemin lekat hingga tanpa sadar bergumam, "Iya, sangat cantik." 

Merasa ada yang aneh, Jaemin menoleh. Ia tersenyum geli karena Mark memandangnya tanpa berkedip. "Bukan aku tapi jembatannya." Senyumnya berganti menjadi tawa pelan lantaran Mark buru-buru mengedipkan mata dan terlihat sekali salah tingkah. Dengan gemas ia mencubit pipi suaminya. "Kakak lucu banget. Telinganya jadi merah." 

Mark mengusap telinga kanannya. "Turunan dari ayah." 

Jaemin lantas menyandarkan kepalanya lagi. Hidungnya yang elok menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Iris madunya terpaku pada hamparan langit malam di mana gemintangnya menyebar. "Kak?" 

"Hm?" 

Entah kenapa hari ini Jaemin banyak tersenyum hingga pipinya pegal. 

Karena tak kunjung mendapat jawaban, Mark bertanya, "Ada apa?" 

Dengan senyum yang terpatri Jaemin menggeleng. "Lucu ya? Awalnya bilang nggak mau tapi sekarang terikat satu sama lain." Tanpa diminta benaknya menayangkan pertengkaran dan perdebatan kecil mereka selama bekerja. Satu minggu bekerja bersama Mark membuatnya tak takut melemparkan tatapan sinis atau membalas perilaku Mark yang menyebalkan. Rasa bencinya pada Mark pernah menggunung dan seluas samudara sampai ia ingin meracuni pria bermata bulat itu. Siapa sangka ia justru menjadi pendamping Mark? Hidupnya memang lucu. 

Kekehan Mark terdengar, mengerti apa yang dibicarakan Jaemin. "Memangnya siapa yang bilang nggak mau?" 

Hidung Jaemin memberikan dengusan. "Menurut kakak?" 

"Kamu?" 

"Ih bukanlah! Kakak tahu!"

Lagi-lagi Mark memainkan cincin milik Jaemin. Tidak ada alasan jelas kenapa ia menyukainya. Manik kecokelatannya menyaksikan pantulan cahaya warna-warni di permukaan Pantai Odaiba. Sama seperti si cantik Na, seharian ini senyumnya tak pernah luntur. "Rencana Tuhan memang nggak bisa ditebak." 

"Kenapa aku bisa cium kakak waktu di lift ya?" Jaemin menggigit bibir bawahnya, merasa malu setiap mengingat kejadian tersebut. Ia sungguh tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Kenapa ia seberani itu mencium Mark? Pasti ada yang salah dengan otaknya waktu itu. Tangan kanannya menepuk-nepuk pelan pipinya yang terasa panas. 

"Siapa tahu kamu itu suka kakak dari pertama kali ketemu tapi tetap denial." 

Jaemin merotasikan bola matanya. "Percaya diri sekali," cibirnya. Ia lantas memeluk lengan Mark ketika dingin menyapa tubuhnya. "Maaf ya. Gara-gara aku, kakak dimarahin papa. Sakit ya?" Lebam-lebam merah keunguan di wajah Mark malam itu tentu tidak bisa luput dari ingatannya. 

Mark menahan senyum. "Kenapa minta maaf? Lagipula kakak pantas kok. Kata ayah sama Jeno itu aja masih kurang." Sungguh, ia tidak pernah menyimpan dendam atau rasa sakit hati kepada papa mertunya. Seandainya berada di posisi Yuta, ia juga akan bertindak demikian. 

Bosan bersandar, Jaemin menumpu dagunya di bahu Mark dan tatapannya sangat intens. "Aku juga baru tahu kakak itu kakaknya Jeno." 

"Kakak juga kaget waktu tahu kamu anaknya papa." Ia sedikit menoleh ke samping sehingga hidung mereka hampir bersentuhan. "Dunia sesempit itu ternyata." Ia tersenyum kecil sembari menarik pelan pipi Jaemin. "Menggemaskan sekali. Punyanya siapa ini?" 

Senyum Jaemin mengembang malu-malu. "Punyanya Jung Minhyung." 

TBC

See you👋











Sekretaris Na [MarkMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang