Saya cuman butuh pendamping.
Begitu kiranya ucapan Jayden satu tahun yang lalu. Pertemuan singkat dengan pria berusia dua puluh lima tahun itu membawa kesepakatan yang cukup menguntungkan bagi kedua belah pihak. Elena hanyalah seorang pemilik cafe kecil di dekat kantor milik Jayden. Tentu, mereka bertemu karena Jayden cukup sering makan siang atau menggelar rapat di cafe milik Elena.
Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu bahkan tidak pernah menyangka kalau Jayden akan menghampirinya setelah rapat selesai. Waktu itu pukul tujuh malam, dan cafe sedang sepi. Hanya ada beberapa karyawan cafe dan itupun berada di dapur. Elena yang saat itu tengah menghitung pengeluaran dan pemasukan sontak terkejut saat Jayden mendekati meja kasir.
"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Elena. Namun pria itu hanya terdiam sambil menatap Elena. Wanita itu mengernyit, dalam pikirnya mungkin Jayden tengah menimang menu apa yang akan dia pesan.
"Mau pesan apa?"
"You."
Raut wajah Elena berubah ketika Jayden dengan terang-terangan meminta waktu Elena. Ragu, tapi pada akhirnya Elena menutup buku keuangan serta melepas celemek yang ia gunakan setelah itu pergi mengekori Jayden untuk duduk di salah satu meja yang letaknya tepat di samping jendela.
Elena menunggu Jayden membuka suara, pria itu hanya terdiam sambil mengetuk pelan jarinya ke atas meja. Nampak gusar dan kebingungan mengungkapkan isi pikirannya.
Sampai akhirnya Jayden menatap Elena dan membuka suara, "Can I marry you?"
Singkat, namun mampu membuat Elena terkejut. James serta Nathan, Haidar, Jevano dan Raiden--empat orang pekerja paruh waktu--pun ikut terlonjak kaget di balik gorden yang membatasi area cafe dengan dapur.
Elena dan Jayden bahkan tidak pernah terlibat perbincangan berarti sebelumnya. Hanya sebatas pelanggan dan pelayan, seperti itu kira-kira.
"Why?"
"Because you deserve."
Elena tidak paham. "Dari sekian banyak wanita, kenapa harus saya? Kita gak pernah berinteraksi lebih, kenal pun kayaknya gak pantes buat kita. Cuman orang yang sekedar tau satu sama lain."
Jayden menarik dasinya sedikit, rasanya cukup sesak lama-lama berbicara seperti ini. Jayden kemudian mengambil dompet dan mengeluarkan kartu nama, menjulurkannya ke arah Elena.
"Kita bahas ini nanti," ucap Jayden sebelum ia melirik ke arah dapur dan membuat James serta para pekerja paruh waktu itu kelimpungan karena berhasil terciduk memperhatikan Jayden dan Elena.
"Kita bahas sekarang, Jayden?" Ucap Elena hati-hati.
"Nope. We need to talk later."
Setelah itu Jayden berjalan keluar dari dalam cafe. Melihat tidak ada tanda-tanda dari Jayden, James dan para pekerja paruh waktu itu berlari menghampiri Elena. Tidak mau ketinggalan berita sedikitpun, meminta klarifikasi seolah Elena adalah artis yang baru saja terjerat skandal.
"Kak, tadi gue gak salah denger kan?" Tanya Haidar. Iya, bocah itu memang yang paling heboh diantara yang lainnya.
"Gue mau make sure dulu, itu tadi Jayden kan? Yang punya kantor di sebelah? Anak konglomerat itu kan?" Ucap James.
"Kok tiba-tiba ngajak nikah sih, Kak?" Tanya Nathan.
Raiden tak mau kalah, "sejak kapan lo kenal sama dia, Kak?"
Jevano ikut mengangguk, tidak mau bertanya apapun karena pertanyaan di kepalanya sudah terwakilkan. Sedangkan Elena, dia tidak mau mengatakan apapun soal Jayden yang tiba-tiba mengajak dirinya menikah.
"Beres-beres cafe dulu deh yuk, gue capek. Besok lagi aja ngobrolnya." Elena membuat para penonton kecewa karena yang ia lontarkan tidak sesuai harapan. Mau bagaimana lagi, Elena sendiri masih bingung dengan situasi yang terjadi lima menit yang lalu. Elena memperhatikan kartu nama yang diberikan Jayden itu diam-diam, sebelum akhirnya membuangnya ke dalam tong sampah.
Entah, Elena tidak benar-benar menganggap ucapan Jayden itu benar. Siapa yang tau kalau Jayden mungkin sedang tidak dalam keadaan yang bagus, jadi ucapannya sedikit ngelantur.
Tapi ternyata tidak. Esoknya Jayden datang pagi-pagi sekali ke cafe milik Elena. Bahkan pintunya masih terkunci, harap cemas Jayden berdiri di depan cafe itu. Kalau orang lain lihat, mereka hanya berasumsi kalau Jayden menunggu cafe itu buka untuk sarapan. Tapi tujuannya lain.
Manik mata Jayden melebar saat seorang gadis berjalan menuju cafe dan membuka kunci pintunya. Tapi kemudian raut wajah Jayden berubah, ia tidak menemukan Elena.
"Maaf, kalau boleh tau Elena kemana?" Tanya Jayden.
Gadis yang Jayden kira adalah salah satu karyawan cafe itu nampak menjawab dengan ramah, "Kak Elena baru datang nanti siang. Sekitar pukul sebelas atau dua belas. Kenapa yah, pak?"
Pak.
Cukup menyebalkan bagi Jayden mendengar panggilan seperti itu. Usianya masih muda dan wajahnya juga tidak tua-tua amat. Jayden menggaruk tengkuknya, sadar karena sikapnya ternyata cukup bodoh dan memalukan. Rela menunggu seseorang pagi-pagi seperti ini.
"Boleh saya minta tolong?" Tanya Jayden. Gadis itu mengangguk pelan, "minta dia datang ke kantor saya sesampainya dia disini. Anyway, kantor saya ada di sebelah."
"Oh gitu, nanti saya sampaikan."
"Makasih?"
"Julia," jawab gadis itu diiringi sebuah senyuman.
"Oke, Julia."
Julia atau akrab dipanggil Lia itu merupakan tipe orang yang sangat memegang teguh pada amanah. Lantas ketika Elena datang, gadis itu langsung menyampaikan apa yang diminta oleh Jayden. Elena tidak habis pikir, dia mengira kalau Jayden tidak sungguh-sungguh ternyata pria itu benar.
Sesampainya di loby kantor milik Jayden, wanita itu diberitahu untuk segera naik ke lantai paling atas. Tempat dimana ruangan Jayden berada. Tidak heran sih kenapa kantor milik Jayden ini masuk ke dalam 10 perusahaan terbesar di negaranya. Melihat dalamnya saja pun orang akan mengetahui seberapa sukses perusahaan itu.
"Coffee or tea?"
Elena terdiam beberapa saat. "To the point."
Jayden paham, wanita ini ternyata sangat tidak sabaran. Jayden kemudian mengambil tempat duduk tepat di depan Elena. Pria itu menatap Elena sekilas sebelum akhirnya mengutarakan maksud permintaan Jayden menyuruh Elena datang ke kantornya.
"Saya cuman butuh pendamping."
Sesederhana itu memang alasan Jayden meminta Elena menikah dengannya. Elena menolak, namun Jayden bukanlah tipe orang yang akan menyerah begitu saja.
"Saya harus menikah, Elena."
"And women are not just me. I don't want to get married for no reason. This is not a game sir."
Jayden terdiam, harus dengan cara apa dia meyakinkan Elena agar wanita itu mau menikah dengannya.
"Keep this as simple as possible. I will not only give you a marriage, but I will give you benefits." Elena pikir kalau Jayden ini sudah gila.
"So, Elena. How about marriage with benefit?"
***
TBC
Guys cerita ini tidak berkaitan dengan universe manapun. 100% asli made by author.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Marriage With Benefit
Fanfiction[SELESAI] "Keep this as simple as possible. I will not only give you a marriage, but I will give you benefits."-Jayden