Who Are You?

227 29 2
                                    

“Beri tahu pada ketuamu agar menunggu balasan. Pergilah sebelum aku menghunusmu!” Layaknya sebuah perintah yang tidak bisa diganggu gugat lagi. Dua pemuda itu lari tak beraturan ketakutan bak dikejar malaikat pencabut nyawa.

Belum lagi keadaan kastil yang gelap gulita tanpa secelah bentir cahaya. Rembulan malam tidak membantu menerangi sebuah kegelapan. Sebuah kastil tinggi, mewah, dan indah itu seketika menjadi tempat paling mengerikan. Lebih pantas sebagai tempat peristirahatan pengawal yang mati di medan perang penuh noda merah. Sapuan semiliran angin menusuk tulang rusuk sosok tua bangka. Udara malam membawa betapa marahnya sosok petua itu. Tempat tinggal yang telah dihuni hampir dua abad itu digenangi oleh ratusan liter darah mengotori lantai pualam mahalnya. Di bawah terdapat ratusan pengawal bahkan sanak saudara tergeletak tak bernyawa. Tubuh remuk hancur disetai darah bercucuran deras. Potongan tangan, kaki, dan kepala tergeletak acak.

Tidak patut lagi disebut kastil mewah dan indah. Si petua keluar meninggalkan tempat itu menyusuri tiap langkah kaki. Hampir sepanjang perjalanan terdapat orang tergeletak tidak bernyawa dengan gelinang darah. Sedikit harapannya mencari sosok masih hidup setelah terjadinya perang besar-besaran antar saudara. Begitulah roda kehidupannya. Dan akan terus berkesinambungan dari generasi ke generasi, sebuah kutukan dari para leluhur. Entah sampai kapan kutukan itu berakhir.

“Kakek!” Bagai di tusuk pedang perak. Si tua menunduk kaku melihat dua anak kecil menghampirinya dengan tubuh berlumuran darah. Tubuhnya mulai mengeluarkan bulu dari tangan, kaki, juga wajah. Tubuh penuh luka sayatan dan tusukan itu tidak terasa sakit lagi kala mendengar suara parau cucunya. Perlahan luka itu ikut tertutup kulit hangat dengan bulu tebal.

Sebuah keajaiban. Dari sekian banyaknya pemberontak yang membunuh orang malam ini dua malaikat kecil itu masih berdiri kokoh saling memeluk. Satu gadis berumur empat tahun menangis berlinang air mata dan satunya laki-laki berumur enam tahun. Mata mereka tersorot rasa takut yang teramat.

“Ayah, Ibu, Paman, dan Bibi…”

"Monster gigi itu menggigit mereka." Laki-laki berumur enam tahun itu mengusap genangan air mata di pipi.

Sang petua menggenggam tangan kedua malaikat kecilnya. Tersenyum ringan menyalurkan hal positif. Sebilah cahaya keluar dari telapak tangan setelah itu hanya awan gelap yang menyelimuti.

Sebelum itu si petua bergumam, "jaga dan gunakan mereka dengan baik." selanjutnya mereka tergeletak di atas lantai pualam. Tidak tahu apakah mereka masih hidup atau menyusul lainnya, mati?

Tidak akan ada yang tahu bahwa di malam yang indah penuh bintang ini menjadi saksi bisu hancurnya sebuah keluarga, runtuhnya tempat berbagi cerita dengan kehangatan kasih sayang. Diserang oleh ratusan atau malah ribuan prajurit mengingat semua orang di istana tergeletak tidak bernyawa. Hanya tersisa orang yang mendapat berkat dewa. Termasuk mereka. Pasti memberi sedikit celah pada keluarga itu ada kebahagian, memberi kesempatan untuk tetap merasakan betapa kejamnya dunia luar, dan mungkin membalas dendam pada mereka si penghancur, suatu saat. Tinggal menunggu takdir apa yang menimpa dua malaikat kecil tak berdosa itu.


∞∞∞

“Lee Jeno berapa kali harus ku ingatkan untuk tidak membuat masalah? Ini sekolah bukan tempat tawuran! Panggil kedua orang tua mu!”

“Berapa kali harus ku ingatkan untuk tidak mencari orang tuaku? Anda ingin di panah lalu dicincang? Bukankah seluruh sekolah tahu apa pekerjaan Ayahku?” Sosok angkuh dan sombong itu menaikkan kedua kaki ke atas meja sambil meniru bagiaman gaya bicara guru. Seperti tiada rasa takut pada apapun, Jeno menumpukan dagu di telapak tangan kiri.

Mendengar ucapan Jeno yang menakutkan membuat bulu kuduk merinding berdiri dari tempat, "Berapa total skor poin di buku itu?" Tanya lelaki berkepala empat.

Short Story ||•FinishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang