Adiós

120 18 1
                                    

Yujin menenggelamkan pikiran bersamaan matahari duduk manis di ufuk barat, senja. Kedua netra sibuk mengamati indahnya ciptaan tuhan yang sayangnya hanya dinikmati sesaat. Membawa kebahagiaan sesaat, kemudian dirindukan dan datang pada besok petang.

Tanpa mengindahkan kehadiran sosok laki-laki di sebelah kirinya yang rupanya ikut menikmati suasana pergantian hari. Semakin tenggelam sudah, hanya menyisakan warna orange dengan kehitaman tipis.

"Udah puas?"

"Kebiasaan, ngageti."

"Abis dari tadi ada orang tampan, tapi ga dilirik. Jahat banget, sakit banget!" Sambil berpura-pura merasakan sakit di hati.

Memukul bahu lawan, "Alay, Anjir!" Kemudian pergi meninggalkan pinggir atap.

Diikuti dari belakang. "Lo stres mau ditinggal Jeno, Jin?" Mendapat tatapan aneh dari Yujin. "Dan sekarang gue makin yakin kalo lo udah mulai suka dia, kan?"

Yujin menyenderkan punggung pada sandaran kursi panjang. "Nggak seharusnya, ya?" Matanya menatap kosong pada objek depan.

"Kenapa nggak bilang aja ke Jeno?"

Tepat sasaran, badan gadis itu menegang. "Minhee, gue nggak mau jadi penghalang kesuksesan Jeno. Lo tau kan soal itu? Dan... Gue belum tau perasaan sebenarnya."

Ya, Yujin sudah menceritakan semua kesalahpahaman mengenai Jeno tanpa ada terlewat sedikitpun. Termasuk hubungan tidak jelas mereka. Yujin butuh seorang yang siap mendengarkan semua keluh kesahnya yang terpendam dalam hati, tapi tidak bisa diungkapkan. Dan Minhee adalah orang tepat. Dia paham Yujin sejak kecil. Mereka habiskan masa kecil sampai kuliah.

"Jin, masih ada dua Minggu. Sebaiknya dipikirin matang-matang. Lo siap patah hati? Jeno nggak bisa jamin kesetiaannya kalau lo belum ngungkapin perasaan."

Benar, selama empat bulan, mereka tidak pernah mengungkapkan perasaan, meski Yujin tahu Jeno menyukainya, tapi laki-laki itu tidak pernah mengajaknya menjalin hubungan lebih serius. Apa Yujin harus melakukan terlebih dahulu?

"Nggak bisa, Min! Gue nggak sanggup, gue nggak siapa, dan gue..." Ucapannya menggantung melihat jelagat dalam Minhee.

"Gue malu." Lanjutnya setelah menghela napas dalam-dalam. Telinganya begitu merah setelah ungkapan terakhir.

"Dari kecil emang ego lo selangit, suwer!" Cibir Minhee. Dia berjalan mendekati Yujin, kemudian duduk di samping Yujin. "Gue cuma mau bilang, jangan nyesel, karena kesempatan tidak datang dua kali." Kemudian menepuk bahu Yujin.

Minhee melangkah ke belakang hendak meninggalkan Yujin dengan pikiran kosong, "satu lagi, besok dia lulus. Jangan lupa datang! Dan ungkapin perasaan lo."

Yujin termenung mendengar penuturan Minhee. Dia tahu dan tidak perlu dinasehati seperti itu. Tapi dia juga tidak bisa menghentikan cita-cita Jeno, menghancurkan masa depan, dan membuat keluarga besar Jeno kecewa. Yujin tidak egois, seperti yang dilayangkan Minhee. Semua orang tidak tahu berada diposisi Yujin.




°°°°°•••°°°°°•••




"Udah dibicarakan dengan Yujin?" Suara itu mengagetkan Lee Jeno.

Laki-laki yang tengah menata berkas ke dalam map biru. Mengisi acara gabut dengan menyiapkan keperluan pekan depan. Meski masih terbilang cukup lama waktu senggang, tapi apa salahnya menyiapkan lebih awal?

Jeno menoleh ke samping melihat kakak laki-lakinya. "Gabut lo sampe main ke kamar gue?" Bukan menjawab, tapi mengalihkan topik, sengaja.

Jaehyun berdecak sambil mencibir sang adik satu-satunya. Rupanya adik kecilnya sudah tumbuh dewasa tanpa dia sadari. "Beneran mau lanjut di sana? Nggak di sini aja?" Pancing Jaehyun. Dia tahu Lee Jeno sedang tidak mood membicarakan masalah studinya. Oh, bukan! Tapi kelanjutan hubungan dengan Yujin.

Short Story ||•FinishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang