Malam telah menyingsing, waktu hampir mendekati pagi. Damian belum juga terlelap ataupun menikmati mimpinya yang indah, ia masih saja dalam penantian yang ingin ia percepat masa penantiannya. Ia bersandar di dekat tempat tidurnya, memeluk suatu foto berbingkai kayu tepat di dalam potret tersebut ada kedua orang tuanya yang tengah menggendong Damian dan Sofi dengan sangat bahagia.
"Belum tidur?" Seseorang masuk ke kamarnya tanpa mengetuk atau permisi sedikitpun. Ia melihat lelaki berjiwa tegar namun berhati lembut itu masih tetap dalam keadaan yang tidak membahagiakan. Waktu telah menunjukkan pukul 3 pagi namun sepertinya matanya masih tahan melawan kantuk, entah terhalang oleh air mata yang masih membentuk butirannya.
"Ayah?" Damian kaget ketika melihat sosok Zhiro masuk ke dalam kamarnya, biasnya ia selalu berkutat dalam pekerjaannya lalu pulang di pagi hari dan berangkat lagi beberapa jam setelah kepulangannya. Damian berdiri dan menyambut kehadiran Zhiro yang langsung duduk di tepian tempat tidur.
"Memikirkan Bundamu? Bundamu baik-baik saja," lerai Zhiro atas air mata yang ditumpahkan Damian beberapa jam ini. Lelaki itu menangis dan tidak menuruti perkataan Lidya, untuk tetap tidur dengan tenang.
"Bagaimana Ayah tau?" Damian menatap lurus tepat ke arah mata Zhiro, tatapannya masih sangat tenang seperti yang biasa ia lihat. Zhiro hanya tersenyum, aktivitasnya inilah yang mungkin menjaga Zhiro agar bisa terlihat masih muda.
"Kau tidak tau seberapa kuat Bundamu? Iya tidak ingin melakukan suatu kesalahan dengan membuat waktu hidupnya berakhir lebih cepat, ia akan selalu bertahan dan berusaha melakukan itu," ujar Zhiro dengan sangat tenang. Damian hanya menunduk, sesekali ia mendengar beberapa kerumunan melintas rumahnya, suara mereka tidak hening. Mereka berbicara guna menyemarakkan suasana yang seharusnya sunyi.
"Kau belum tidur?" Suara yang dirindukan Damian kini terdengar jelas di telinganya. Bundanya, Lidya kini tengah berdiri di muara pintu sembari memegang belati kecil yang ia mainkan dengan jari-jarinya. Lidya masuk dan menyimpan belati tersebut di saku jaketnya.
Damian mengamati wajah Lidya yang lelah, warnamya sedikit pucat diterpa dengan angin malam. Ia masih tidak percaya jika Bunda yang ia sayangi merasa kuat ketika diterpa angin malam, apakah benar seperti itu?
Damian langsung memeluk Lidya dengan erat, ia tidak peduli dengan beberapa senjata tajam yang singgah di seragam wanita itu. Sakit tidak lagi ia hiraukan ketika rasa rindunya mulai berkecamuk dan menyeruak keluar dari bendungan. "Jangan jauhkan aku darimu, Bun!"
Lidya membalas pelukan putranya, ia selalu melihat sosok Damian yang manja di hadapannya. Lidya bukanlah orang tua yang langsung melepaskan anaknya begitu saja, ia mengamati sikap anaknya di sekolah. Ia tidak ingin menjadi lupa, dan anaknya merasa terlupakan kasih sayang oleh orang tuanya.
"Bagaimana jika kau terluka?" Damian langsung melepaskan pelukannya dan mengambil pisau buah yang ada di nakas di dekat tempat ia tidur. Ia langsung mengarahkan tajamnya mata pisau ke nadi tangan kirinya.
"Damian! Apa yang kau lakukan?" Zhiro melantangkan dengan kuat kata-katanya, ia tidak ingin putranya terluka.
"Kita lihat saja." Lidya hanya menyunggingkan senyumnya melihat sikap Damian. Ia mengeluarkan belati kecil yang ia simpan di saku jaketnya lalu memegangnya dengan ahli dan mengarahkan tepat ke nadi di lehernya. Mata Damian langsung membulat seketika hingga akhirnya lelaki itu melepaskan genggamannya pada pisau tersebut. "Jangan lakukan itu, Bun. Ketika aku jauh darimu, aku hampa. Aku tidak bisa, aku sangat menyayangimu, Bun. Aku akan melangkah di setiap langkahmu, walaupun Bunda membawaku pada kematian, aku akan tetap melangkah. Jika Bunda memindahkan sekolahku, maka Damian akan mencari cela untuk tiada!"
Lidya menatap Zhiro, Zhiro hanya tersenyum. Damian terlalu awam untuk mengenal gerak-gerik keluarganya, semuanya dapat terlihat dari isyarat. Lidya menatap ke bawah, lalu mengangguk perlahan. "Kau akan tetap di sini, seperti yang lainnya."
Mata Damian langsung berbinar riang mendengar pernyataan langsung dari Zhiro, lelaki itu sangat bahagia. "Terima kasih Ayah."
Damian langsung memeluk Zhiro dengan kencang, rasa bahagianya tidak dapat ia ungkapkan dengan kata-kata yang terancang dengan indah namun hanya beralaskan terima kasih. Lalu, ia melepasnya dan kembali memeluk sang Bunda yang ia sayangi. Tak henti-hentinya bibirnya mengangkat senyuman atas berita bahagia yang ia dapatkan. Ia melepasnya lalu kembali duduk di tepian tempat tidur bersama Zhiro dan Lidya. "Lalu bagaimana dengan Sofi? Dia tidak pindah?"
"Tidak," lirih Sofi yang tengah berdiri di ambang pintu. Ia tersenyum kepada Lidya, Zhiro, dan bahkan Damian. "Aku tidak akan pergi, jiwa Lathfierg mengalir di darahku. Aku siap menumpahkannya, karena kuyakin kebersamaan kita akan menjadi kekuatan besar."
Mereka berpelukan, seperti keluarga bahagia. "Aku, Lidya Vanessa Lathfierg Groye. Berjanji, akan menjaga kalian agar tetap hidup dan menjaga hidupku sendiri."
Damian mengembangkan senyumnya, ia memilih tidur di pangkuan Lidya dan terkesan sangat manja. Lalu Sofi, memilih berdekatan dengan ayahnya dan tidur di pangkuan ayahnya. Tangan Zhiro meraih rambut Lidya yang berayunan dengan lembut, ia mengusap puncak kepalanya. "Aku akan menjagamu tetap hidup, karena kau adalah hidupku. Jika suatu saat aku tidak becus dalam mengerjakan tugasku, maka aku akan mencari cara agar bisa menyusul mu dalam kematian. Aku telah menuliskan surat warisan tentang harta kita dan mereka telah kutitipkan kepada keluarga Farhan. Masa depan kita tidak bisa ditebak lagi, jika dulu kelemahan ku hanya kau sekarang kelemahan ku adalah kalian. Aku tidak mampu hidup, jika kalian tersakiti. Apalagi kau tiada, berjanjilah untuk lebih kuat dari ini, amour."
Lidya menangkap tangan Zhiro yang mengusap puncak kepalanya, jarinya masih lembut sama seperti yang selama ia genggam. Dan lelaki di hadapannya tidak berubah, cintanya tidak pernah surut walau ketenangan keluarga ini selalu mengalami pasang surut yang harus mereka cegah sebelum anak-anak mereka mengetahuinya. Lelaki yang sama, lelaki yang tidak pernah memarahinya, menaikkan satu oktaf nadanya untuk membentaknya, mempercayainya walaupun kematian ada di depan mata, dan masih tetap suaminya.
"Aku akan berjanji untukmu, Sofi, dan juga Damian. Bukan hanya itu, aku tidak akan membuat keluarga Lathfierg lainnya merasa terancam. Aku akan tetap menjaga diri walaupun aku berada di paling depan, aku yakin kau akan selalu menjagaku dalam suka maupun duka. Aku tidak akan berhenti, walau sekeras apapun itu, aku akan menuntaskan masalah masa lalu yang belum tuntas. Hidup memang teka-teki, tertawa dan menangis benar-benar hal yang tidak bisa ditebak. Jangan cari jalan kematianmu, Zhir. Aku akan tetap berusaha menahan rasa sakitku, agar aku melihat keluarga ini dengan posisi yang bahagia, keluarga besar yang bahagia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fused of Glitter
Teen Fiction"Lalu bagaimana dengan Glitter?" "Sepertinya Kirana harus mencari kakak baru." "Glitter? Oh sungguh tidak penting, tidak berbobot, dan tidak berharga." "Sebuah kilauan yang indah, pemikiranmu lumayan juga." "Memang satu glitter tidak berarti, tetapi...