"Astaga, aku kesiangan," gumam Damian yang langsung melarikan kepalanya dari pangkuan Lidya. Lelaki itu masih menatap wanita yang sangat ia sayangi, ia masih duduk di tempat yang sama, tidak ada pergerakan sedikitpun.
"Bunda masih di sini?" tanya Damian semakin tidak percaya. Ia melirik ke arah Zhiro yang kini menjadi penyandar tubuh lemah Lidya, ayahnya setia menunggu sementara Sofi telah tiada dari pangkuan ayahnya.
Lidya mengamati Damian kemudian tersenyum kecil, benar-benar seperti Zhiro. Zhiro melihat putranya lalu mengikuti ekspresi Lidya. "Mau ke mana? Kau tidak ingin berlama-lama di pangkuan Bundamu?"
Damian menggeleng, ia melihat ke arah jam dinding warna hitam di kamarnya. Ia mengamati dengan jelas, jam telah menunjukkan pukul 06.15, seharusnya ia bersiap-siap. "Aku mau ke sekolah."
"Serius?" tanya Lidya. Lidya bangkit dari sandarannya, duduk dengan tegap seraya mengacak-acak puncak kepala Damian. Damian menggangguk pelan. "Aku mau ke sekolah hari ini untuk menuntaskan apa yang telah aku lakukan kemarin. Tetapi... Apakah kalian bisa datang hari ini? Itupun jika kalian bisa, jika tidak bisa mungkin aku akan mengajak Om Rian bersamaku."
Lidya mengamati Zhiro lalu melihat ke arah luar, cahaya langit mulai cerah namun kamar ini berada dalam suasana yang tidak cerah. "Tidak."
Damian mengamati sesaat namun akhirnya dia mengerti, ia mulai mengerti posisi Bundanya yang tidak mudah. Ia telah menjadi orang kaya dan penguasa, ditambah lagi nyawa kedua orang tuanya kini terancam. Damian lebih menyayangi kedua orang tuanya. "Baiklah, aku akan-"
"Tidak mungkin kami tidak datang, gurumu meragukan ajaranku padamu," potong Lidya sebelum Damian menyelesaikan perkataanya. Damian mengembangkan senyumannya. "Baiklah, aku akan bersiap-siap."
"Hey, Dam!" panggil Sofi dari ambang pintu, ia masuk dan menggeret keadaanya dengan malas. Sofi telah menggunakan seragam sekolahnya dengan lengkap. "Kau sekolah?"
Sofi tidak menjawab lalu beranjak pergi duduk di sebelah Zhiro. "Tentu, kau masih menanyakan hal itu?"
"Tetapi.." Damian sejenak khawatir mengingat kejadian kemarin yang telah meretakkan Sofi dan Amanita. Karena kejadian tersebut lah, gurunya menanyakan kredibilitas orang tuanya.
"Seorang Lathfierg tidak akan mundur," jawab Sofi dengan sangat mantap. Zhiro sedikit terkekeh, Sofi mengerenyitkan dahi mengamati gelagat ayahnya. Lidya menggeleng lalu tersenyum, anaknya tidak terlalu banyak mengerti mimik dan ekspresi mereka berdua.
"Kalian yakin dengan keputusan kalian? Bunda ingatkan sekali lagi, kalian bisa langsung pindah sekolah hari ini, dan kami akan mengurus kepindahan kalian. Aluna akan ada untuk menjaga kalian, dia adalah penjaga dan keluarga yang baik. Jika kalian tidak nyaman dengannya, anggota The~D telah menawarkan diri mereka untuk menjaga kalian dan menambahkan kalian ke dalam keluarga mereka."
Sofi dan Damian langsung menggeleng. "Damian tidak mau meninggalkan Ayah dan Bunda di sini, suasana yang mencekam serta bahaya mengintai kalian berdua. Damian tidak ingin hanya menunggu kabar, ataupun berusaha kabur dengan tenang dan meninggalkan Ayah dan Bunda dalam kesulitan."
Sofi mengangguk seakan mengiyakan, "Aku pun begitu."
Amanita masuk dengan seragamnya, percakapan keluarga kecil ini mengundangnya untuk mengikuti pembicaraan mereka, mereka terdengar serius. Ia tidak hanya melangkah sendirian, Gio dan Lulu berjalan di belakangnya. "Aku pun begitu."
"Kau sudah baik-baik saja?" Amanita mengangguk, pertanyaan Damian sedikit menenangkannya. Damian tersenyum kecil, keluarganya memang hebat.
"Guarda tidak akan lelah menjagamu, Groye. Sama seperi Bunda," sindir Amanita menggunakan nama belakang mereka. Seisi ruangan tersenyum, mengingat fakta jika mereka berada dalam satu garis keturunan yang sama yaitu Lathfierg, hanya saja untuk Damian dan Sofi garis keturunan itu tidak terlalu kuat. Tetapi siapa yang akan mempermasalahkannya? Mengingat Lidya dan Zhiro berkuasa penuh.
"Baiklah kalau begitu, lepaskan saja seragam kalian." Lidya meninggalkan ruangan dan disusul oleh Zhiro. Amanita dan Sofi menatap mereka tidak percaya, mereka dengan sangat yakin untuk tetap tinggal di rumah ini dan bersekolah seperti biasanya serta menghadap kenyataan pahit yang telah berlalu kemarin. Gio dan Lulu mengikuti langkah Lidya, mereka meninggalkan anak mereka dilanda kebingungan.
"Kalian? Kalian tetap memaksa memindahkan kami?" Amanita protes dengan sangat lantang, namun tetap tidak ada sahutan. Entah Lulu ataupun Gio, tidak ada yang menjawab. Mereka semua diam, sementara Lidya telah sangat jauh dari kamar Damian. Amanita mengacak-acak rambutnya.
"Hey! Guten Morgen!" Alva datang dengan baju hitam bernuansa abu-abu dengan sedikit corakan emas dan sebuah huruf L dan G bersanding lalu terbelah karena halilintar. Sederhana namun elegan, itu kalimat yang dapat menyatakan serta mengungkapkan keindahan dari baju itu. Tidak saja baju, celana nya bermotif sama dengan bajunya.
Alva disusul Kirana, anak kecil itu menggunakan nuansa baju yang sama namun dalam bentuk dress. Alva dan Kirana mengamati Damian, Sofi dan Amanita. "Kalian tidak menggunakan seragam kalian? Kami semua mendapatkannya. Bukan kami saja, kak Nesya, Kak Harley, bahkan Kak Heru dan kak Fajar menggunakan seragam yang sama. Bukan itu saja, semuanya yang sering memasuki rumah kita menggunakan seragam yang sama."
"Benar sekali! Ini sangat keren! Benar kan, Kak Alva?" timpal Kirana dengan pernyataan Alva sebelumnya. Alva mengangguk mengiyakan, ia dan Kirana berlari ke arah cermin lalu menatap diri mereka berdua.
"Kalian dapat dari mana seragam itu?" tanya Damian, ia mengamati dua adik kecilnya berlari bebas ke cermin dengan tetap bergaya serta mengamati seragam tersebut. "Dari Aunty."
Sebuah ketukan pintu membuat suasana kamar menjadi hening, Alva dan Kirana menghentikan sejenak aktivitas mereka. "Hey tiga serangkai! Kau tidak ingin mempersilakan aku masuk?"
Aluna masuk tanpa persetujuan dari sang pemilik kamar, Damian. Di belakang Aluna berjalan Yassa mengikuti kemana ibunya berada. Aluna melemparkan sebuah paper bag tepat di tengah tempat tidur yang membuat mereka tersentak kaget. "Aku lupa memberikannya, kalian sangat sulit untuk ditemui."
Aluna tersenyum singat lalu mengamati dua keponakan kecilnya tengah mengamati diri mereka sendiri di cermin. Aluna mengamati Alva dengan sangat lekat, "Alva, kau belum menggunakan Jas mu?"
Alva langsung menggeleng disusul Kirana menatap Aluna dengan berbinar. "Gerah, aunty. Nanti aku akan menggunakannya ketika Bunda dan yang lainnya sudah selesai bersiap."
"Aunty, Kirana juga mau pakai jas!" riang Kirana berharap Aluna langsung menggangguk setuju dan memberikan Kirana jas. Namun, bukannya menjawab permintaan Kirana. Aluna langsung tersenyum dan tertawa kecil, "Kirana itu perempuan dan biarkan para lelaki yang menanggung beban itu. Kirana sudah sangat cantik dengan dress mungil ini."
Aluna melihat dua sisi yang berbeda dari Amanita dan Kirana. Ia membandingkannya ketika mengingat sikap Amanita saat masih seumuran Kirana. Amanita selalu menolak kala Aluna ingin menggendongnya dan melemparkan tatapan yang aneh. Oleh karena itu, Aluna tidak terlalu dekat dengan Amanita ataupun sebaliknya. Hal lainnya, ia masih belum terlalu menyukai ayah dan ibu dari Amanita.
"Damian, dan yang lain. Silakan pakai seragam itu, jangan lama-lama! Kita akan segera berangkat!" Aluna menuntun Yassa untuk mengikutinya keluar dari kamar Damian. "Kita akan ke mana?"
Langkah Aluna terhenti, pertanyaan Damian menghentikannya. Ia memutar tubuhnya 180 derajat kemudian menyenderkan kepalanya ke pintu. "Kita akan mengikuti kakakku, Lidya. Ia mengajak semuanya untuk ikut bersamanya. Jika kau mau tau arah pastinya, aku tidak akan memberitahumu. Kau tanyakan saja kepada Bundamu. Dan satu lagi, bersegeralah dan tampil lah sesempurna mungkin serta jangan mengecewakanku! Aku yang bertanggung jawab tentang penampilan kalian, jika kalian keluar rumah dan kakakku mengecewakan tugasku, maka bersiaplah kalian!" gertak Aluna. Sofi meneguk ludahnya, ia mengingat kembali bagaimana sikap Aluna malam tadi ketika bersama Lidya.
"Sangat mengerikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fused of Glitter
Teen Fiction"Lalu bagaimana dengan Glitter?" "Sepertinya Kirana harus mencari kakak baru." "Glitter? Oh sungguh tidak penting, tidak berbobot, dan tidak berharga." "Sebuah kilauan yang indah, pemikiranmu lumayan juga." "Memang satu glitter tidak berarti, tetapi...