"Dam!" teriak Amanita yang tengah duduk di ayunan sembari melambaikan tangan, tepat ke arah sebuah mobil yang baru saja memasuki gerbang. Memang, terlihat bodoh dan gila.
Damian memarkirkan mobilnya dan memberikan kepada seorang penjaga. "Bisakah kau terlihat waras sebentar?"
Amanita hanya tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri. "Bagaimana? Apakah cocok?"
"Tentu, proyek kita akan berjalan di sana," gumam Damian berlalu melewati Amanita dengan cepat.
"Kau mau ke mana?" tanya Amanita yang menatap kepergian Damian.
"Mandi!" teriak Damian dari dalam. Amanita menyeringai hebat. Ia menyusul dengan sedikit mengendap-endap. Damian telah memasuki kamar mandi di kamarnya sendiri, Amanita dengan pikiran liciknya ia menekan steker.
"....."
"Amanita!!"
"Hahaha!" Dengan cepat Amanita berlari meninggalkan kamar Damian.
***
Amanita membolak-balikkan majalah yang ia pegang, Sofi tengah berkutat dengan segala angka dan Alva kini tengah duduk menjauhi Sofi dan Amanita. Anak lelaki itu sangat anti untuk diajarkan dan Sofi sangat ingin membuka sesi mengajar dadakan. Sedangkan itu Kirana menggunakan jarinya untuk menghitung soal Matematika yang diberikan Sofi, ia telah mempunyai murid pengganti.
"Tampannya sepupuku," sambut Amanita ketika melihat Damian yang telah rapi.
"Cih!" desis Damian sembari menatap tajam ke arah Amanita. Ia mengambil duduk di dekat Alva. "Kak Dam, kau mengerti tentang ini?"
Dengan cepat Sofi memecah konsentrasinya dan menatap tajam ke arah Alva. "Kau bilang kau sangat anti untuk diajarkan!"
"Tentu, aku hanya bertanya," kilah Alva dengan senyuman sinisnya.
"Kau mau bergabung denganku untuk memusnahkan bocah itu? Jika tidak mau sekarang nantipun tidak apa-apa. Tawaranku berlaku sepanjang masa," ungkap Amanita mengambil kesempatan. Tatapan mereka akhirnya berperang sedangkan Sofi hanya menghela nafasnya.
Damian memutar bola matanya, ia mengangguk dan memberikan sedikit cakaran tinta di kertas kecil. Alva mengembangkan senyumnya dan mengangguk paham.
"Dam? Kau tidak mengerjakan tugasmu," sidik Sofi sembari memperhatikan Damian yang meraih earphonenya yang terkapar. Di manapun titik sudut rumah Lathfierg pasti terkapar earphone keramat milik Damian.
"Selesai," jawab Damian singkat. Ia memasang earphonenya dan larut dalam dunianya sendiri serta menghiraukan hiruk-pikuk yang diciptakan oleh saudaranya.
"Kau telah selesai? Bagikan kepadaku, ilmu tidak boleh kau simpan sendiri," riang Amanita dengan sangat ceria hingga menembus benteng yang Damian dirikan atas pendengarannya.
"Pemalas!" umpat Alva yang masih senantiasa menatap buku tulisnya. Dengan gerakan kilat, majalah melawan gravitasinya dan mengenai tubuh Alva.
"Kak Alva! Hajar Kak Am! Tembak Kak! Tinju! Sikuan belakang! Banting!" teriak Kirana dengan histeris. Semuanya menatap anak kecil itu termasuk Damian, lelaki itu dibuatnya tersenyum.
Seketika ia sadar jika dirinya menjadi pusat perhatian, tangannya refleks menutup mulutnya dan kembali menghitung memakai jari tangannya.
"Kerjakan sendiri," hela Damian dengan tenang. Ia tidak akan kalah dalam perebutan jawabannya mengenai angka. Mungkin, Amanita bersumpah jika Matematika lebih berharga daripada nyawa Damian sendiri.
"Kapan kau mengerjakannya?" selidik Sofi yang mulai heran. Bukan apa, selepas dari sekolah ia tidak sempat membuat tugas apapun karena sedikit membantu bundanya—Lidya— di dapur dan sekarang dia tengah bersantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fused of Glitter
Подростковая литература"Lalu bagaimana dengan Glitter?" "Sepertinya Kirana harus mencari kakak baru." "Glitter? Oh sungguh tidak penting, tidak berbobot, dan tidak berharga." "Sebuah kilauan yang indah, pemikiranmu lumayan juga." "Memang satu glitter tidak berarti, tetapi...