8- Sisi Lain

120 22 0
                                    

Damian berdiri di balkon kamarnya, kamarnya berada satu garis lurus dengan gerbang besar di depan rumahnya. Ia melihat beberapa anak buah Rozi hilir mudik meninggalkan kediaman Lathfierg. Rumah ini tidak pernah merasa sepi namun tidak bagi dirinya.

Beberapa preman, kadangkala orang memakai jas mereka yang rapi. Damian masih awam akan masa lalu keluarganya, bukan hanya dirinya tetapi semua sepupunya.

Berapa kali orang tuanya harus menuruti untuk masuk ke dalam rencana Sofi yang ia sendiri tidak mengerti.

Ditemani alunan lagu yang telah menjadi kekasih hatinya, ia memperhatikan sebuah mobil yang baru masuk. Mobil Lamborghini mewah itu menggulirkan lomba dengan elegan. "Daddy pulang, pasti Alva kini tengah bahagia."

Ia mengangkat senyuman lalu menghempaskannya lagi. "Ayah dan Bunda kini tengah bersiteru dengan berbagai jenis koleganya. Bisakah pertumbuhan ini dipercepat? Mereka pasti telah lelah."

Tok...tok...tok

"Berhentilah Am!" sahut  Damian karena ketukan itu berhasil memasuki celah telinganya.

"Serius?" sahut seseorang dari luar lalu terdengar tertawa kecil. Damian membalikkan tubuh dengan cepat, ia membuka pintunya.

"Bunda? Kapan pulang?" Damian memeluk bundanya dengan sangat bahagia atas berlandaskan rindu yang ia tahan selama satu minggu.

Untung saja, Lulu telah memasakinya masakan yang selalu dibuat oleh bundanya dengan resep yang sama. Jika tidak, Damian pasti akan menyusul kepergian bundanya.

"Apakah kau telah menulis surat warisan? Aku sedikit sesak," gumam Lidya dengan lekas. Damian langsung melepas pelukannya dan Lidya tengah mengatur nafasnya.

Damian hanya menunduk, dilihatnya sejenak kondisi wanita yang paling ia sayang dan kondisi itu disebabkan oleh dirinya sendiri. "Bunda tidak apa-apa? Maafkan aku."

Wajahnya lugu, polos dan sangat berbeda dari apa yang temannya lihat di sekolah. Namun bagi Amanita itu telah menjadi tontonan gratis yang bisa ia tertawakan. Hanya di depan Lidya, seorang Damian dapat bersikap seperti itu.

Lidya terkekeh sebentar. "Selalu baik. Kita akan selalu berbicara di sini?"

Damian sekatika baru menyadari mereka tengah berdiri di ambang pintu. Lelaki itu menggaruk kepalanya dan menarik lengan Lidya ke dalam kamar.

"Bun, di mana Ayah?" tanya Damian setelah mengambil segelas air putih di kamarnya sendiri. Ia banyak menghabiskan waktu di kamar. Entah itu kamarnya, kamar Sofi, kamar Amanita, kamar Alva ataupun gudang.

"Malam nanti dia baru pulang. Bunda dan ayahmu berbeda arah, bunda ke Finlandia sedangkan ayahmu ke Belgia," jelas Lidya dengan memperhatikan putranya.

"Bagaimana dengan sekolahmu? Keadaanmu dan apapun itu," ungkap Lidya sembari memperhatikan tatapan Damian yang tiba-tiba kosong.

"Sofi telah pindah ke sekolahku," hela Damian.

"Lalu?"

"Semuanya sedikit aneh," balas Damian lalu merebahkan tubuhnya dan meletakkan kepalanya di atas pangkuan Lidya. Hal yang ia suka dan menjadi kebiasaannya ketika lelah dengan keadaan.

Damian menceritakan apa yang terjadi sampai ia tidur dan Lidya hanya mampu mengusap puncak kepalanya.

***

"Rumah angker," decak kesal Amanita ketika menjelajahi setiap ruang di rumahnya.

Rumah ini sangat luas dengan dua lantai dan rooftop, lebih tepat seperti tiga rumah yang dibangun.

"Bagaimana tidak, ketiga saudara kembar membangunnya," gumam Amanita bertanya dan menjawab sendiri pernyataan.

"Kirana tidur, mengganggunya tidur akan memecahkan telinga. Sofi kini tengah berkutat dengan buku tebalnya, aku harap dia segera muntah-muntah. Alva kini tengah bermain game dengan Dad, tunggu saja jika Mommymu pulang kau akan disergah. Apakah aku sendiri yang sangat merana di sini? Hem... Damian?"

Amanita berlari kecil ke arah lantai dua setelah memutar langkahnya di lantai 1.

Pintu kamar pun terbuka sedikit hingga membuat celah. Amanita melirik sedikit, ia tidak bisa mengganggu waktu untuk ibu dan anak itu. Terlebih lagi, Damian tidak dapat mengungkapkan perasaannya kepada orang lain termasuk keluarganya yang lain.

"Ah sial! Aku bosan! Mengapa aku sangat galau seperti ini? Jalan-jalan gak ada teman, gak enak diantar sopir," hela Amanita duduk meringkuk di atas tangga.

"Maaf mbak, saya tak punya recehan," desis Alva sembari melintasi tangga.

"Alva!!"

***

"Terima kasih, Bun." Damian berdiri lalu tersenyum. Lidya mengacak rambut Damian.

"Bun, berantakan." Damian langsung menghindar sedikit. "Bunda lapar? Mau Damian masakkan suatu makanan?" tawar Damian sembari berdiri dan berlalu ke kamar mandi untuk mengusap wajahnya lalu menyisir rambutnya.

"Putra Bunda yang tampan," gumam Lidya sembari memperhatikan kamar anaknya.

"Lebih tampan ayah daripada aku," tukas Damian dengan tenang.

"Dam!" teriak Amanita dengan lantang. Damian memutar kedua bola matanya sembari menatap muara pintu.

"Apa?! Jangan ganggu aku," ketus Damian.

"Ayolah Dam. Ada diskon baju di Mall, aku mau membelinya. Stok bajuku kurang," hela Amanita lalu duduk di sebelah Lidya.

"Males!"

"Ayolah Dam, kau tidak kasihan denganku?" pinta Amanita dengan penuh harap.

"Tidak peduli!"

"Bun, Damian bun."

"Dam..." tegur Lidya dengan tenang.

"Iya Bun. Dasar kau fungi!" decak kesal Damian lalu mengambil jaketnya.

"Bawa mobil!" pinta Amanita dengan paksa.

"Dasar kau!"

"Yeee!!" teriak Amanita dengan senang lalu memeluk Lidya dengan erat dan melepaskan sebelum Damian mengeluarkan sumpah serapahnya. "Terima kasih, Bun."

"Kami pergi dulu," pamit Damian sembari bersalaman dan keluar dari ruangan yang disusul oleh Amanita.

"Ciee..  Anak mama akhirnya ketemu sama mamanya bisa curhat-curhatan deh," goda Amanita dengan gencar ketika sampai di dekat Lynkan yang Damian miliki.

"Diam kau! Tak tau diri!"

Amanita dan Damian masuk ke dalam mobil mewahnya. Mereka melaju.

Sebuah mobil datang dari belakang dan membuat geraknya menjadi sejajar. Kaca dibuka dan menimbulkan wajah Lidya. "Hati-hati."

"Itu Bunda?" tanya Amanita sembari menatap mobil yang telah berada sangat jauh di depannya.

"Kau ingin aku membawa mobil seperti itu?" tawar Damian dengan menyunggingkan senyumannya.

"Aku akan menyumpahimu Dam!"

***

"Sof?!" teriak Amanita sembari menggedor pintu kamar dengan keras. Ia sangat ingin, wanita cupu itu memarahinya.

"Apasih? Dasar tidak tau diri!" hujat Sofi sembari membuka pintu.

Sesuai harapan.

"Ini," gumam Amanita dengan memberikan tas belanjanya.

"Aku tidak menitip apapun padamu," gumam Sofi dengan malas.

"Memang, ini untukmu. Tadi, Aku dan Damian pergi ke Mall dan dia membelikan buku-buku mantra itu untukmu," jelas Amanita lalu meletakkan tas itu di lantai dan berlari kecil meninggalkannya.

"Damian...."

Fused of GlitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang