22- Siapa Kita?

113 19 8
                                    

Heru datang dengan tergesa-gesa, ia bernapas seakan dikejar seribu musuh dalam hidupnya. Ia memegang lututnya, tidak heran jika ia bernapas seperti itu karena ia telah berlari dari pagar. "Maaf, aku telat lagi."

Amanita membuka lebar matanya, meneliti setiap bagian tubuh lelaki itu dengan cermat. Dari daerah gerak sampai kepala, tidak ada satupun bagian yang ia lewati. Ia menggebrak meja, matanya tersulut emosi yang mendalam. Luka, hatinya terberai. Amanita menggebrak meja dan mengambil samurai di hadapannya. Ia melangkah dengan marah menghadap Heru. "Kau otak dari insiden hari ini! Mengapa kau ada di sini?! Menjatuhkan harga diriku?!"

Samurainya ia layangkan ke kepala Heru, ingin sekali baginya menebas kepala lelaki di hadapannya. Dengan tenaga yang tersisa, sebisanya Heru menghindar. Ryan masuk dengan mantap, kesempatan bagi Heru untuk bersembunyi di balik tubuh Ryan, bagian kecil dari tubuhnya digunakan sebagai tameng dadakan.

Ryan terperanjat kaget dengan sikap Amanita, tangan gadis itu berusaha dengan erat memegang samurai tersebut agar tidak terjatuh. "Kau yang menjadi dalang dari insiden ini, kan?! Jangan mengelak! Kau sangat membeciku, kan? Kau pasti yang memberikan ide keji itu ke Mahen! Dan satu lagi, apa wewenangmu memijak rumahku? Najis! Om Ryan, menyingkir dari sana! Atau kau juga akan tertebas!"

"Aku bersumpah! Aku tidak tahu apapun! Aku tidak masuk sekolah hari ini dan aku telah pergi dari kemarin malam. Jangan menuduhku! Jika kau tidak percaya, tanyakan saja pada Damian. Ia tahu segalanya! Aku tidak akan mungkin mencelakaimu! Damian, bisa kah kau tarik sepupumu ini menjauh dariku! Aku tidak ingin melukainya!" teriak Heru dengan lantang, Damian langsung berdiri dan mendekati Amanita.

"Aku akan membunuhmu, Heru!" ancam Amanita. Ia berusaha menarik lengan Heru dengan satu tangan bebasnya, ia berhasil. Heru teriak kesakitan dengan menggelegar.

"AHH!! Bunda!" Tubuh Heru melemas, Arman langsung gelagapan. Ia melihat darah mengucur dari lengan Heru, darahnya masih segar. Arman mendekati Heru. "Ayah, sakit!"

"Gio! Enyahkan putrimu! Jangan sampai aku membunuhnya saat ini!" sergah Arman menajamkan matanya.

"Anakmu saja yang terlalu berlebihan!" tukas Gio dengan lantang. Lidya memutar bola matanya, keluarganya mulai bersiteru.

"Laila, tarik Amanita dari sini. Jangan sampai satu orang di sini menjadi gelap mata," pesan Lidya. Zhiro berdiri dan mengamati kondisi Heru. Gio hanya berdecak. Laila berdiri dan menarik Amanita menjauhi area berbahaya.

"Jangan sampai memancing emosi mereka. Mereka pembunuh, termasuk aku ataupun Lidya. Bersikaplah menjadi gadis yang baik dan jangan sampai aku mengangkat senjataku karena hanya masalah kecil," bisik Laila. "Hanya karena menentang Arman."

Lidya melemparkan samurainya, ia berlutut dan mengamati luka yang membuat darah Heru membuyar. "Sakit?"

"Sangat," angguk Heru. Perlahan sakit itu menipis, lukanya terasa sangat luas. Lidya tetap mengamati luka itu.

"Berapa orang yang menyerangmu? Luka baru. Kau dan Fajar diserang? Benar dugaanku, harusnya aku tidak mengirim kalian dalam tugas ini." Lidya mengambil perban dan mengobati lengan Heru secara terlatih. Ia harus memahami keadaan di setiap penyerangan, ia petarung handal dan  ia juga dituntut sebagai pengobat handal.

"Luka itu takkan parah kalau dia tidak merebut luka yang harusnya menjadi milikku," sanggah Fajar yang baru saja memasuki ruangan. Ia menggulung lengan kemejanya, menatap Heru dengan miris. Lelaki itu hanya mengacungkan jempolnya seakan ia tengah baik-baik saja.

Arman merasa geram melihat tingkah laku putranya, ia langsung membanting tubuh Heru ke bawah. "Kau membuat dirimu wafat lebih cepat, biarkan Ayah yang membantumu. Mau berapa kali Ayah banting?"

Heru hanya meringis mendengar pernyataan Ayahnya yang lumayan menyakitkan hatinya. Ia hanya menatap lurus ke arah Amanita. "Merepotkan saja."

"Apa yang kau rencanakan?" sedikit Zhiro setengah berbisik. Pesan itu hanya sampai pada telinga istrinya, ia tidak ingin orang lain mendengar pembicaraan mereka. Lidya menoleh, ia hanya tersenyum.

"Kita tidak bisa bersembunyi," bisik Lidya membalas. Zhiro tersenyum pada Lidya walaupun hatinya belum merasa lega. "Percaya saja padaku."

"Aku sangat mempercayaimu," ujar Zhiro mengangguk dengan lekas, Lidya tidak akan berbuat suatu hal yang akan membuat mereka semakin mencuram ke jurang. Alunan gesekan samurai dan percikan darah tidak asing lagi baginya, hampir bagi semua anggota keluarga ini. "Semuanya kembali ke posisi semula, kita dengarkan apa yang akan mereka bicarakan."

Zhiro mengambil samurai yang telah disediakan untuknya, melemparnya dari tangan kanan ke kiri tanpa sarung penutup runcing matanya. Ia duduk dengan penuh wibawa, Aluna mulai merasakannya. Aura yang ia rasakan bertahun-tahun yang lalu mulai melonjakkan setiap aliran emosinya. Ia membuka ikatan rambutnya, rambutnya menjuntai tergerai. Rambut pirangnya berkelip di bawah sinar lampu yang meredam.

Lidya selesai membelit luka Heru dengan perban. "Masih sakit?"

Heru menggeleng dan tersenyum. "Bagus, jika masih sakit katakan saja. Kita tidak lagi bertarung ataupun mengadakan pertarungan hingga kau harus selalu menjadi yang terkuat."

Aluna mengambil samurai di hadapannya. Telinga mereka merasa ngilu kala Aluna mulai membuka samurai itu, semuanya menoleh termasuk Lidya. Wanita itu tersenyum sembari menatap ujung samurainya. Ia menatap lurus ke arah Lidya, Lidya hanya menaikkan satu alisnya. "Kau adalah kakakku sekaligus hidupku. Aku akan selalu mempercayaimu."

Lidya hanya menyunggingkan senyumnya, niatnya belum terealisasikan namun Aluna telah mengetahui maksud hatinya.

"Begitupun aku, aku akan selalu mempercayai pimpinanku sekaligus adik iparku. Nyonya Lidya Vanessa Lathfierg Groye, tidak akan aku berkhianat," sambung Laila lalu membuka samurai yang tertata rapi di hadapannya.

Alva dan Kirana melebarkan mata mereka, kala Laila kini bertingkah lain daripada biasanya. Mereka merasa heran, hari yang aneh. Laila memegang samurai dengan sangat santai sembari memberikan sedikit hormat dengan Lidya ketika Laila menambahkan kata 'Nyonya'.

"Baiklah, aku tidak punya pilihan lain. Aku takkan berpaling dari adikku," cetus Oxy sembari membuka samurai yang terpajang di depan matanya. Ia tersenyum dan meletakkan samurai itu menumpuk pada samurai Laila. "Aku akan selalu mempercayaimu."

Gio menatap semua keluarganya. "Aku tidak membutuhkan ini!"

Ia membuang samurai itu menjauh dari matanya, melemparkan dengan sekejap mata. Semuanya terkejut karena aksi Gio, tidak untuk Aluna. Gadis itu masih tidak terlalu menyukai Gio, walaupun lelaki itu selalu memihak padanya.

"Aku sangat mempercayaimu, lebih dari segalanya." Ia menyunggingkan senyumnya ke arah Lidya, Lidya membalasnya. Gio membuka jaket tebalnya dan merentangkannnya di atas meja. Amanita ternganga ketika melihat belati dan senjata api tertata rapi.

"Aku pun mempercayaimu, sahabatku." Cakra membuka samurai itu dan tersenyum menatap Aluna, Lidya lalu ke arah Zhiro. "Aku takkan melupakan masa laluku."

"Lalu, bagaimana denganmu?" tanya Laila kala melihat Lulu belum melakukan apapun, ia hanya diam dan membeku. Wanita itu menoleh ke arah Laila.

"Untuk yang terbaik," tukas Lulu dengan santai. "Apapun itu."

Damian, Amanita serta yang lainnya saling menatap. "Siapa kita sebenarnya?"

Fused of GlitterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang