Setelah tragedi glitter yang menghujani setiap wajah kecuali Amanita, Kirana tidak terlihat lagi sedangkan Alva memaksakan diri untuk tidur daripada menambah dosanya mengumpat kakak sepupunya.
"Akhirnya selesai," gumam Sofi sembari meregangkan ototnya sementara itu Amanita tertidur di pundak Damian. Damian memang selalu bisa digunakan.
"Am, kembali ke kamarmu," gumam Damian sedikit berbisik. Amanita menggeleng singkat. "Lalu kau?"
"Apa yang kau tunggu?" tanya Sofi sedikit menyelidik.
"Bunda," sela Amanita dengan cepat, ia sangat memahami Damian.
Pintu dibuka dengan tiba-tiba, mereka tidak perlu khawatir dengan kehadiran orang dadakan di dalam rumah. Rumah ini sangat aman, pada malam hari puluhan orang berjaga. Bahkan suatu malam terdapat ratusan orang memenuhi halaman depan.
"Kalian belum tidur?" tanya Zhiro ketika melihat tiga remaja itu tengah menatap pintu, sesekali ia melirik ke arah jam dinding, tepat jam 11 malam.
"Menunggu Bunda," gumam Amanita yang memaksakan untuk kembali terbangun walaupun rasa kantuknya tidak bisa diajak berkompromi.
"Lidya belum pulang? Bukankah Restu dan Dimas telah pulang ke rumah 3 jam yang lalu," heran Cakra menyela.
"Kau benar. Amanita, Gio telah pulang?" tanya Zhiro dengan rasa yang sedikit cemas.
"Belum ada yang pulang, Yah." Zhiro menghela nafasnya lalu mengeluarkan hpnya dari saku jas yang ia kenakan.
"Untuk apapun itu! Sangat memalukan!" sergah Aluna yang baru saja datang.
"Sadarkan aku jika aku punya kakak sepertinya," gumam Aluna menimpali. Aluna menatap frustasi ke arah pintu sembari memijat pelipisnya.
Mereka hanya menatap kedatangan Aluna dengan heran. "Ada apa?"
Tidak beberapa lama, Gio menopang tubuh Oxy dengan tertatih. "Dad, kau baik-baik saja?"
"Memalukan!" desis Gio dengan tajam. "Andaikan Lidya tidak melarangku untuk membunuhmu mungkin kau sekarang hanya tinggal nama!"
"Aluna, di mana istriku?" tanya Zhiro dengan menatap satu persatu.
"Mengapa kalian sangat lama?" tanya Cakra dengan menatap curiga istrinya.
"Semuanya karena kau!" sergah Aluna yang terlihat sangat murka.
"Aku?"
"Sebelum kau pergi ke Air Intan, bukankah aku telah memesankan sesuatu padamu?"
"Yassa! Zhir! Aku lupa menjemput Yassa," teriak Cakra frustasi.
"Bagus, akhirnya otak cerdasmu itu berhasil mengingat sesuatu," ketus Aluna yang masih menatap Cakra dengan tajam.
"Di mana Yassa?" tanya Cakra dengan penuh rasa sesal.
"Yassa hampir diculik, tapi Ryan telah mengamankannya," gumam Oxy terdengar enteng.
Wajah Cakra memucat, tubuhnya lemas. Untung saja hal itu tidak menjadi kenyataan.
"Bagaimana kabar Yassa sekarang?"
"Dia aman bersamaku," tukas Lidya dengan menggendong anak lekaki berumur 7 tahun. Anak itu tertidur pulas.
"Yassa," lirih Cakra terdengar lega. Anak lelaki itu menggosok matanya dan berbinar ketika menyadari kini ia tengah berada di gendongan bundanya. "Bunda bawa mobil-mobilan?"
"Tentu. Bagaimana bunda bisa lupa?" kekeh Lidya dengan sangat senang. Ia kini merasa bahagia sebab rumahnya dikelilingi oleh anak kecil.
"Hore!" riang Yassa dengan sangat bahagia, ia menggeliat turun. Yassa berlari ke pelukan Cakra. "Pi, Yassa mengantuk. Ayo Mi!"
Aluna menurut, ia dan Cakra mengikuti langkah anak mereka ke kamarnya. Zhiro menatap ke arah Oxy.
"Lalu kau kenapa?" tanya Zhiro sembari menyilangkan tangannya. Damian, Amanita dan Sofi hanya diam menjadi penyimak yang baik.
"Sedikit atraksi yang memalukan. Sangat memalukan! Orang sok pintar ini masuk ke dalam lubang karena gayanya yang sok pintar itu," gumam Gio dengan menatap iba ke arah Oxy.
"Kalian harus tidur. Pesanan kalian telah kami bawa, kalian tenang saja," kekeh Lidya. Ia memegang lengan mereka satu persatu, membuat Amanita benar-benar membuka matanya.
Lidya menghantar mereka bertiga sampai ke atas tangga. "Selamat malam."
"Terima kasih Bun, karena Bunda telah pulang dengan selamat," gumam Damian sembari meninggalkan Lidya.
Damian menoleh sekilas dan tersenyum. Ia bisa tidur dengan tenang.
***
Tepat jam 2 malam, seseorang menggebrak pintu kamar Damian dengan sangat keras. "Damian!!"
Dengan cepat Damian menutup telinganya dan bersembunyi di bawah bantal. Ia tidak perlu melihat jam jika angka itu telah menjadi tugas rumah.
"Dam! Aku dobrak ya!" teriak Amanita dengan sangat kencang. Ia hanya menahan tawa ketika para orang tua telah keluar karena aksinya, terutama Gio yang kadang menatapnya datar.
"Am! Hentikan!" teriak Damian dari dalam. Amanita melompat riang, rencananya berhasil.
Damian membuka pintu kamarnya dan menampilkan wajah yang lelah, ia menatap sinis pada wanita yang mengganggu tidur tenangnya.
"Tugas Matematika," riang Amanita dengan sangat senang. Telah menjadi kebiasaan bagi Amanita untuk menagih rentetan angka untuk masuk ke dalam buku tugasnya. Ini strategi yang tepat.
Damian langsung memberikan buku tugasnya dan menutup pintu dengan sangat keras. "Damian yang malang."
Amanita menahan tawanya, ia mendengar suara percakapan namun ada pertemuan dadakan di tengah malam. Ia telah terbiasa, terkadang ia berpikir waktu tidur orang tuanya berapa lama. Namun, dunia orang dewasa terlalu rumit baginya.
Ia berlari kecil dan masuk ke dalam kamar. Ia membawa buku tugas Damian dengan lincah. Ia duduk di kursi belajarnya lalu membuka buku tugas Damian. "Apa! Lima lembar?! Angka terkutuk!"
***
Damian sedikit berlari kecil keluar kelas. Ia sengaja meninggalkan pelajaran dengan berbagai simbol dan angka kesukaannya.
Ia melangkah ke kamar mandi, di sana terdapat seseorang yang menunggu. Orang itu mendekat dan sedikit berbisik.
"Ada berita baru dan aku punya bukti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fused of Glitter
Teen Fiction"Lalu bagaimana dengan Glitter?" "Sepertinya Kirana harus mencari kakak baru." "Glitter? Oh sungguh tidak penting, tidak berbobot, dan tidak berharga." "Sebuah kilauan yang indah, pemikiranmu lumayan juga." "Memang satu glitter tidak berarti, tetapi...