Sebagai anak semester akhir dan sekarang jadi intern di bidang penyiaran, sebenarnya cukup horror bagi Sejun. Abang dan kakak-kakaknya sudah mulai menanyakan tanggal sidangnya, tapi jawabannya tetap: "Nanti bulan depan, yaaa..."
Tapi dirinya sendiri nggak yakin sama jawabannya sendiri.
"Muka lo mellow mulu sih Jun dari minggu lalu," sedang asik-asik melamun, tiba-tiba senior paling dekatnya sekaligus tentornya di kantor, Chan, menepuk bahunya dari belakang. Dia tidak menjawab, tetapi hanya memperhatikan Chan yang mengambil posisi di sebelahnya. Mereka tengah berada di area terbuka, semacam taman kecil di samping gedung utama, biasa digunakan karyawan untuk sekadar merokok, cari angin, cari sinyal, atau menyesali kesalahan mencet tombol mesin fotocopy-an.
"Cerita gitu sama gue. Mungkin gue bukan pujangga, tapi gue ini pendengar yang baik kok," ujar Chan lagi. "Tapi kalo lo mau minjem duit, gue bye."
"Nggak, lo sendiri masih ngutang orang kok," Sejun menjawab dengan suara tanpa emosi, membuat Chan malah salah tingkah sendiri.
"Iye gausah keras-keras juga kale," serunya.
Akhirnya, Sejun memutuskan untuk bercerita. "Gue sebenernya galau sama tugas akhir, Bang."
Chan langsung membuat wajah paham dengan mulut membentuk huruf O. "Ohh, gitu..."
Ia melanjutkan, "Disatu sisi, gue mau cepet-cepet selesai. Di sisi lain, perhatian gue mulai tersita ke kantor. Gue nggak bisa fokus ke skripsi gue akhir-akhir ini."
Chan terdiam sejenak sambil menatap jauh ke depan. Nampaknya dia sedang berpikir tentang apa yang harus dikatakannya pada Sejun.
"Gini Jun, gue juga pernah ngalamin itu beberapa tahun lalu. Gue gabisa ngomong banyak ya, gue cuma bisa bilang: 'lo pasti bisa'. Ada dua hal yang paling sensitif di dunia ini: 1. skripsi, 2. nikah. Dua-duanya bukan ajang balapan. Semua punya tempo dan waktunya sendiri-sendiri. Gue yakin skripsi lo bakal selesai. Kalo nggak bulan depan, ya bulan depannya lagi, atau bulan depannya lagi."
"Lo harus yakin sama diri lo sendiri sih, Jun."
Sejun mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar nasehat seniornya. Yah meski bukan nasehat yang hebat dan menyentuh, setidaknya ada sesuatu yang dia dengar dari masalah yang tidak bisa dia ceritakan ke keluarganya sendiri.
"Sementara lo masih ngerjain skripsi, lo udah ada jaminan kerja di sini. Pelan-pelan aja lo kerjain, nanti juga selesai. Setidaknya lo gausah mikir setelah lulus mau ngapain lagi 'kan?"
Chan akhirnya bangkit, sambil menunjukkan gestur tangan pada Sejun. "Udah yuk masuk, jam makan siang bentar lagi abis."
Keduanya masuk ke dalam gedung bersamaan dengan beberapa karyawan lain yang juga dari luar. Begitu sampai di lantai mereka, perhatian mereka langsung tersita ke kerumunan beberapa karyawan lain di dekat ruangan meeting.
"Ini ada apaan?" Chan menoel salah satu karyawan yang lewat di depannya.
"Itu, wakil direktur dateng ke sini," jawab si karyawan, kalau tidak salah namanya Taeyong.
Wajah keduanya langsung terkejut tapi kepo. "Barusan?"
"Apa? Nggak, udah setengah jaman di dalem."
Sejun, yang baru dengar tentang wakil direktur, keliatan bingung. "Wakil direktur siapa sih Bang?"
"Itu, wakil direktur kita yang famous. Selama ini dia ada di luar negeri makanya kita nggak pernah liat. Dia juga tercatat sebagai salah satu co-founder stasiun ini."
Dia mengangguk-angguk lagi mendengar informasi baru ini. Entah hari keberuntungan atau apa, tapi dia (kemungkinan) bakal ketemu tokoh penting begitu, jantungnya lumayan berdebar juga sih.
![](https://img.wattpad.com/cover/218924507-288-k31957.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Kita [Lim's]
FanfictionDi rumah no. 46 dengan pohon rambutan di halamannya, the story begin Lim's family Semi-baku, some harsh words, crack pairs ☑️ Jalan cerita berkelok-kelok ☑️ Typos ☑️☑️☑️ Welcome to our unexpected universe!