Bertambah

169 32 1
                                        

"Terus, apa maksudnya Abang bawa dia ke sini?"

Jaebeom menelan ludah. Setelah pemberitahuan yang absurd tadi, ia menarik keempat adiknya mundur, untuk menjelaskan lebih lanjut.

"Sebentar, Sejun belum paham," Sejun menyela ketengangan antara Nayoung dan Jaebeom. "Jadi, itu tadi anaknya Ayah setelah cerai sama Bunda? Bener. Terus, kenapa bisa sampe sini?"

"Itu yang Mbak lagi tanyain," Kalo biasanya Nayoung bakal ngomong sambil marah-marah, kali ini, dia menggunakan nada rendahnya, yang mana malah membuat adiknya lebih ngeri dari biasanya.

"Na, Ca, Jun, Ayah udah nggak ada," jawab Jebi. "Dan dia udah nggak ada siapa-siapa, kaya kita."

"Terus, kenapa harus ke sini? Kenapa nggak ke keluarga ibunya?" Nada suara Nayoung sedikit lebih tinggi.

"Na, tenang, oke," Bang Jebi berusaha meredam kekalutan dan emosi adiknya, tapi Nayoung tidak bergeming. "Na, keluarga ibu Dayoung nggak ada di sini, mereka semua tinggal di luar negeri dan nggak bersedia menampung Dayoung."

"Karena citra Ayah di keluarga mereka juga buruk," jelas Jaebeom dengan suara lemah, ada rasa sesal dan marah di dalamnya. "Bahkan setelah pergi ninggalin kita, dia juga nggak berubah. Tetap brengsek seperti yang kita kenal."

"Udah? Itu doang alasannya?" Nayoung tetap tidak puas dengan jawaban Jaebeom. "Bang, liat keadaan kita sekarang. Kita idup berlima aja susah. Mobil masih nyicil, motor belom lunas, makan sehari-hari juga seadaanya, masih bayar kuliah Sejun sama Subin. Apa yang mereka pengenin, sih? Apa lihat kita masih bisa hidup mandiri begini, terus mereka ngerasa kita nggak masalah nambah satu orang lagi?"

Jaebeom diam. Youngmin juga dian di belakang Nayoung. Sejun dan Subin hanya mendengarkan di dekat mereka.

"Na, ada alasannya," jawab Jaebeom. "Kita tunggu Mbak Yoona sama Mbak Jina ke sini. Kalian, tenang-tenang dulu ya."

***

Seorang perempuan muda di usia awal 30-an berdiri di depan pagar rumah keluarga Lim. Sudah lama sekali dari kali terakhirnya datang ke rumah ini.

"Jinah, ayo masuk!"

Ia memanggil adiknya yang masih menunggu di dekat mobil. Jinah menghampiri kakaknya, setengah hati.

"Mbak, memang ini keputusan yang tepat?"

Yoona menoleh, lalu membuka pagar. "Semoga aja, ya?"

Keduanya menginjakkan kaki ke rumah yang sudah sangat lama tidak mereka lihat. Menyadari pintu depan terbuka lebar, Yoona langsung masuk, disusul Jinah di belakangnya, dan mendapati Dayoung, keponakannya, sedang duduk sendiri di sofa ruang tamu.

"Dayoung?"

Gadis itu menoleh begitu mendegar suara Yoona, "Tante..."

Yoona mendekatinya lalu duduk di sebelah Dayoung. Tanpa bertanya, ia sudah tahu kemana anak-anak yang lain. Ia melirik ke arah ruang tengah, sayup-sayup masih terdengar suara yang dikenalinya sebagai Jaebeom dan Nayoung.

Jinah tidak ikut duduk, ia malah berjalan ke sisi ruang tamu yang lain. Terpajang beberapa foto masa kecil Lim bersaudara, juga foto keluarga mereka saat Subin berumur 2 tahun. Di sebelahnya adalah foto mereka berlima, sepertinya diambil saat Subin lulus SMA. Jinah tersenyum sendiri. Anak-anak itu sudah tumbuh dewasa dengan baik.

"... Pokoknya, kalau maksud mereka mau nyerahin anak itu dan lepas tangan, Nana nggak bisa, Bang."

"Na, jangan keras-keras!"

Jinah dan Yoona menoleh serentak saat suara dari dalam bertambah keras.

Nayoung menarik dan menghembuskan napasnya kasar. Matanya menatap Jaebeom tajam.

Rumah Kita [Lim's]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang