[ 32 ]

35 20 18
                                    


Mendengar penuturan Pak Odon gue jadi ikutan panik. Haechan hilang dalam artian beneran hilang apa gimana? Pokoknya gue masih gak nangkep.

"Ilang gimana sih Pak? Mungkin Haechan lagi pergi," ucap gue se-positif mungkin.

"Enggak Non, Den Haechan gak pergi. Motornya ada di garasi."

"Tapi gak mungkin juga Pak kalau anak segede Haechan diculik."

"Gak tau juga Non bisa aja. Non Zea mau gak bantuin saya sama yang lain cari Den Haechan?"

"Iya Pak ayo, ayo..."

"Mau kemana Non?" tanya Pak Odon.

"Mau cari Haechan kan Pak."

"Kita cari dulu Non di dalem rumah, siapa tau ada tanda-tanda. Ini Non pake senter." Gue mengambil sodoran senter dan segera masuk ke dalam mencari keberadaan Haechan.

Begitu masuk, Bibi dan Mang Amat sama khawatirnya. Mereka berdua baru saja berpencar tapi tidak ada hasil.

"Bibi tenang ya, kita cari pelan-pelan." Gue menenangkan Bibi yang udah banjir air mata. Sekhawatir itu Bibi sama Haechan.

"Bukan apa-apa Non Zea. Den Haechan gak bisa sendirian di tempat gelap kayak gini...hikss..."

"Maksudnya Bi?"

"Den Haechan trauma sama gelap. Den Haechan itu nyctophobia, Non. Pasti sekarang Den Haechan lagi panik, ketakutan atau lebih parahnya sedang sesak napas. Bibi takut terjadi apa-apa sama Den Haechan." Bibi benar-benar panik dan kadar kecemasan gue meningkat setelah mendengar pengakuan Bibi. Haechan, gue gak pernah tau kalau Haechan takut sama gelap.

Setelah diskusi, gue, Bibi, Pak Odon, dan Mang Amat kembali berpencar. Kata Bibi, Haechan kemungkinan ada di dalam rumah dan sedang bersembunyi. Pastinya Haechan lagi mencoba melindungi dirinya di tengah kegelapan saat ini. Diluar juga hujan sudah turun cukup deras. Petir sesekali terdengar.

"Chan...lo di mana Chan...ini gue..." Gue menyusuri rumah Haechan sambil berteriak. Di ruang tengah, ruang santai, sampai ke beberapa ruangan gue cek. Belum ada satupun tanda keberadaan Haechan. Pikiran gue juga udah gak bisa diajak berkompromi. Jujur gue takut terjadi sesuatu sama Haechan.

"Chann, lo di mana sih Chan...please jangan buat gue khawatir."

"Haechan, ini gue Zeana..."

Gue naik ke lantai dua. Menyusuri ruangan yang biasanya dipake belajar, mengecek di beberapa lorong rak buku sampai ke kamar Haechan, dia masih gak ada juga. Astaga! Where are you know? Gue menggigit bibir menandakan kecemasan semakin membuncah.

GLUDUG! Suara guntur bergema. Jantung gue berdegup akibat terkejut. Ini suasananya bergenre horor banget. "Come on Zea, berpikir. Kalau jadi Haechan kira-kira di mana gue akan bersembunyi. Nggak, nggak. Haechan, seorang Haechan akan bersembunyi di mana dalam situasi kayak gini?" Gue ngomong sendiri.

Masih ada di kamar Haechan, gue memberanikan diri membuka pintu kamar mandinya. Nihil. Kedua gue cek lemarinya. Gak ada, cuman baju-baju. Ketiga gue mau cek kolong kasur tapi sayangnya kasur Haechan tak berkolong.

"Yaampun bener! Kalau gue jadi Haechan, gue pasti bakal sembunyi di bawah kasur." Gue cek lagi ke semua kamar. Mengecek kolongnya satu persatu. Kebetulan ini juga salah satu cara gue buat sembunyi dari mama sama papa waktu itu. Waktu gue diem-diem masuk kamar mereka buat liat isi tas hitam milik papa.

Gue mengecek kamar terakhir dilantai dua ini. Kamar yang gue pake semalam. Perlahan gue berjongkok dan segera menyenter kolong kasur tersebut. Dan dugaan gue akurat. Gue melihat punggung gemetaran di sana. Gue berlari ke sisi satunya demi melihat wajah Haechan.

I'll Be ThereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang