Sembilan hari telah berlalu, kemarin Dikta sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Lukanya sudah kering, namun masih harus menjalani beberapa kontrol agar tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Pagi ini pemuda itu sudah kembali berangkat sekolah, didampingi Velo dan Angkasa yang Tante Indri minta untuk selalu bersama Dikta. Bagaimanapun Ibu satu anak itu, sangat khawatir dengan kondisi Dikta.
"Yon, lo jangan dulu mainan skate, lah, luka lo kebuka lagi, nyaho lo," pinta Angkasa seraya berjalan cepat agar tak tertinggal oleh Dikta yang menaiki skateboardnya.
"Bacot lo, Sa," balas Dikta yang tak memperdulikan kebaikan hati temannya itu.
"Nggak apa-apa, Sa, kalau kebuka juga yang sakit Leon ini, bukan kita. Orang itu kayak bocah, bandel kalau dibilangin." Velo yang juga berjalan cepat mengikuti Dikta ikut bersuara.
"Berani lo, Vel?" tanya Dikta yang menghentikan laju papan skatenya, menoleh ke belakang, tepatnya ke arah Velo dengan satu alis yang terangkat.
Velo menelan ludahnya, dia kemudian menepuk mulutnya keras. "Nggak, Yon, sorry lidah gue kepeleset," ucapnya.
Dikta hanya mendengus, pria itu kembali menoleh ke depan, kemudian melajukan skateboardnya lagi, membuat dua temannya menghela napas. Hey, mereka capek!
Sepanjang perjalanannya, Leon terus saja mendapat perhatian orang-orang di koridor. Jelas akan seperti itu, ini adalah hari pertamanya masuk sekolah setelah kabar dia tertusuk pisau. Penggemarnya pasti senang akan itu, karena mereka kembali bisa melihat wajah rupawan seorang Leonel Dikta Prasetya.
"Yon, berhenti dulu bisa nggak, sih? Gue bengek, nih," ucap Velo seraya memegang tas punggung temannya itu.
Dikta berhenti, pemuda itu menoleh ke belakang, dan dia menemukan dua temannya yang ngos-ngosan dengan wajah yang tak terkondisikan. Terlihat menyedihkan hingga Dikta mengeluarkan tawanya singkat. "Lemah lo pada. Nggak usah ikutin gue makannya," ucap Dikta.
Dikta menarik dirinya sendiri, membuat tangan Velo terlepas dari tasnya. Pemuda itu kemudian kembali meluncur dengan skateboardnya, meninggalkan dua temannya yang memekik mengumpatinya. Tapi, dia tidak peduli.
Dikta terus melajukan skateboardnya dengan leluasa, sesekali dia berteriak mengusir orang-orang yang tak peka dan menghalangi jalannya.
Begitu dia melewati kelas 11 IPA D, matanya secara tak sengaja bertubrukan dengan mata tetangga rumahnya. Ya, siapa lagi kalau bukan Zoeya? Gadis itu tengah mengobrol dengan kedua temannya di depan kelas.
Dikta menyunggingkan senyum miring meremehkannya, ia teringat kejadian saat Zoeya menanyakan kabarnya lewat ibunya. Dia yakin, Zoeya sebenarnya menaruh minat padanya, gadis itu hanya malu mengakui saja. Lagipula, Dikta tahu banyak perempuan yang tertarik padanya, dan tak mustahil kalau Zoeya salah satu dari mereka.
Sedangkan di sisi Zoeya, gadis itu mengumpat dalam hati saat Dikta melewatinya dan memberikan senyum miring menyebalkan. Baru sembuh sakit saja orang itu sudah membuat Zoeya tak suka, bagaimana kalau dia sudah benar-benar pulih? Uh, Zoeya sama sekali tak mau membayangkannya.
"Leon lewat. Senyum miringnya walau nyebelin tapi berdamage banget gila." Alkana tentu saja menjadi orang yang paling heboh. Sejak tadi dia sudah girang karena mendengar kabar Dikta yang masuk sekolah.
"Songong banget heran, belum aja gue lemparin kepalanya pake bola basket," cibir Tasya yang juga melihat senyum miring Dikta.
"Lemparin aja, Ca, gue dukung 100 persen," dukung Zoeya semangat. Ah, Tasya memang selaras dengannya kalau urusan Dikta.
"Kalian itu matanya di mana, sih? Leon, kan, ganteng, kok kalian kayak nggak demen, sih?" Alkana yang mendengar keinganan kejam dua temannya melontarkan pertanyaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Neighbor (END)
Teen FictionBagi Zoeya, Dikta itu hanya berandal sekolah yang kebetulan bertetangga dengannya. Sedangkan bagi Dikta, Zoeya adalah orang asing yang senang mengurusi dan mencari muka dengannya. Tidak-tidak, Zoeya tidak mungkin mau mengurusi Dikta kalau dia tidak...