MBN 23

4.8K 377 4
                                    

Entah sudah keberapa kalinya Zoeya melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Dia kini sedang bersandar di bagian depan mobil seraya menunggu kedatangan Dikta yang tak kunjung keluar dari rumah yang ia tebak milik kekasih lelaki itu.

Zoeya kini bersedekap dada, lalu mendonggak dan memperhatikan dahan pohon besar yang ada di depan rumah. Dia tampak bosan sekarang, bingung harus melakukan apa untuk mengisi waktu seraya menunggu Dikta. Ponselnya ia tinggal di rumah, karena sebelumnya dia mana tahu akan ada acara mengantar tetangganya. Ingin lancang dan nyelonong masuk, dia takut mengganggu, jadi dia hanya menghela napas berat dan berharap Dikta segera sadar kalau dirinya sedang menunggunya. Tapi, rasanya itu mustahil, Dikta mustahil mau memikirkan Zoeya. Zoeya bahkan sekarang meragukan kalau Dikta sadar Zoeya ada di sini. Ah, sabar saja lah!

Beberapa saat kemudian, akhirnya hati Zoeya bisa tersenyum lega kala orang yang ditunggunya mulai menampakan batang hidungnya. Dikta terlihat bejalan keluar, namun rautnya sama sekali tak terlihat mengenakan. Belum lagi kedua tangannya yang mengepal, membuat Zoeya merasa sedikit merinding.

Saat Dikta melihatnya, tatapan kedua orang itu bertubrukan. Dikta menatap Zoeya lekat beberapa saat, membuat Zoeya menelan ludahnya. Dia... takut. Tak lama keduanya memutuskan tatapan itu, Zoeya juga sekarang mulai menegakan tubuhnya, berjalan ke bagian tengah mobil, dan membuka pintu penumpang. Hal itu membuat Dikta sedikit heran, namun dia tak memusingkannya. Dikta melangkah menuju kursi kemudi, membuat Zoeya menyembulkan kepalanya ke luar jendela.

"Gue nyewa supir dadakan, lo nggak usah nyetir," ucap Zoeya.

Meski tak habis pikir dengan tingkah gadis itu, Dikta tetap terima nasib. Pria itu kembali berbalik, berjalan memutari mobil, lalu membuka pintu penumpang di samping Zoeya.

Begitu masuk, bisa Dikta lihat ada seorang pria tua berpakaian lusuh yang duduk di kursi kemudi. Entah siapa yang Zoeya sewa itu, Dikta sedang tak mood untuk mencari tahunya.

"Jalan, Pak," pinta Zoeya yang tentu saja dilaksanakan oleh supir dadakan itu.

Suasana di dalam mobil tampak tenang, baik Zoeya, Dikta, maupun Pak supir tak ada yang membuka suara. Aura Dikta yang masih menyeramkan menjadi salah satu penyebab hal itu.

Zoeya memandang ke luar jendela, memperhatikan kondisi jalanan yang tampak ramai seperti biasanya. Dikta juga melakukan hal yang sama, meski wajahnya tampak suram, namun dia sebenarnya sedang menikmati suasana jalanan sembari berusaha menghilangkan perasaan buruknya.

Zoeya kini bergerak, dia berhenti memperhatikan jalanan saat teringat akan suatu hal yang mengganggunya. Gadis itu sekarang memposisikan tubuhnya menghadap Dikta, menatap lelaki itu hingga Dikta sadar dan balas menatapnya.

"Apa?" tanya Dikta.

Wajah suram Dikta sempat membuat Zoeya ragu, namun dia tetap tak mau mundur dan berusaha untuk meluruskan sesuatu. "Gue mau memperjelas," ucap gadis itu.

"Apa?" tanya Dikta lagi masih belum mengubah rautnya.

"Alasan gue mau ngurusin lo bukan karena gue berharap jadi pacar lo," ucap Zoeya lancar.

"Terus?"

Zoeya menghembuskan napasnya lewat mulut, reaksi Dikta sungguh membuatnya tak suka. Gadis itu menggerakan tubuhnya, mencari posisi ternyaman agar ia bisa lebih santai. "Sebagai calon penghuni surga, gue nggak mungkin biarin orang yang sengsara. Andai yang dikeroyok malam itu bukan lo, sebagai manusia gue tetap akan tolongin. Dan alasan gue ngasih makan lo tadi, asal lo tahu gue disuruh Bunda. Gue nggak mungkin dong nentang Bunda gue sendiri?" jelasnya panjang.

Dikta malah menggidikan bahunya, kemudian dia kembali menatap ke luar jendela. "Terserah, gue udah nggak peduli soal itu," ucapnya.

Zoeya berdecak, demi apapun, bisa tidak sikap Dikta tak usah semenyebalkan itu?

"Lo," panggil Dikta tanpa mau mengalihkan perhatiannya dari jalanan.

Zoeya yang tahu itu adalah panggilan untuknya berdeham guna menjawabnya. Sama seperti Dikta, gadis yang sudah kembali memperhatikan jalanan itu, tak mau berpaling dari arah itu.

"Gue mau bakso," ucap Dikta.

Zoeya mengerjap, lewat ekor matanya dia melirik Dikta sekilas. Hey, maksudnya bagaimana? "Ya, terus?" tanya Zoeya tampak datar-datar saja, membuat decakan terdengar di telinga gadis itu.

"Cari tukang bakso! Bodoh!" perintahnya disertai hinaan.

Zoeya yang sedang tak mau cari ribut, memilih manut saja, dia kemudian melirik Pak supir dadakan lewat kaca, kemudian berucap, "Kalau ada warung bakso, tolong berhenti, ya, Pak."

----🛹🛹🛹----

Seperti mau Dikta, kini Zoeya dan lelaki itu sedang terduduk di kursi warung bakso yang kebetulan terlewat oleh mobil mereka. Pak supir juga diajak Zoeya untuk ikut makan bersama, namun dia menolak dengan dalih sudah kenyang dan memilih menunggu di mobil saja.

Tak lama pesanan mereka datang, membuat Zoeya menyambutnya dengan senyuman. Sedangkan Dikta, ah, jangan tanyakan, sejak tadi bibir lelaki itu tak kunjung terangkat.

Zoeya kini meraih sendok dan garpu yang tersedia, lalu mulai mengaduk mie bakso yang dipesannya. Dikta tak melakukan hal yang sama, karena lelaki itu lebih memilih untuk meraih gelas dan hendak mengisinya dengan air teh dalam teko yang tersedia. Namun kejadian beberapa jam lalu kembali terulang, tangannya yang luka tak mampu untuk mengangkat teko penuh air itu. Terlebih telapak tangan Dikta sempat digunakan untuk menekan sesuatu saat dirinya marah, jadi saat amarahnya sudah cukup reda, tangannya malah berdenyut semakin sakit. Huh, sangat mengganggu!

Dikta sekarang melirik Zoeya yang sibuk mengaduk di depannya. Meski rasanya kelu, namun pemuda itu tetap berusaha membuka suaranya. "Tol--"

Belum sempat dia menyelesaikan kata yang akan dikeluarkannya, Zoeya malah sudah terlebih dahulu mengangkat teko itu dan menuangkan air ke dalam gelas Dikta tanpa suara. Tanpa mengucap terima kasih, Dikta mengangkat gelas itu, meminumnya dengan tatapan yang terkunci pada Zoeya.

Setelah selesai, pria itu baru mengambil alat makannya, mengaduk makanan di depannya kemudian mulai memasukan potongan bakso atau gulungan mie ke dalam mulutnya. Bakso menjadi satu-satunya makanan halal pelariannya kala sedang banyak pikiran.

"Makasih."

Zoeya berhenti mengunyah kala kata sakral itu tak ada angin tak ada hujan terucap dari mulut Dikta. Zoeya memandang lelaki itu dengan kedua alis yang naik ke atas. "Lo ngomong sama gue?" tanyanya.

"Iya," jawab Dikta seadanya. Lelaki itu sedang sibuk memakan baksonya dengan lahap.

"Maksudnya?" Zoeya masih belum mengerti. Dikta tadi berterima kasih, kan? Ya, memang kalau dipikirkan jasa Zoeya pada Dikta sudah banyak yang patut mendapatkan ucapan terima kasih lelaki itu. Namun berhubung yang mengucapnya Dikta, Zoeya butuh banyak penjelasan agar ia tak salah paham.

"Lo nggak sebodoh itu buat nggak tahu arti kata terima kasih," seloroh Dikta.

Hey, hey, hey, Zoeya memang tahu arti terima kasih, tapi yang dia tak tahu ungkapan terima kasih untuk apa yang Dikta keluarkan. Err-- sudahlah, lupakan, Zoeya akan menganggap itu ungkapan terima kasih atas jasanya yang telah berbaik hati menolong Dikta, merawat Dikta, memberi makan Dikta, mengantar Dikta, dan memesan juga membelikan lelaki itu Bakso secara gratis.

----🛹🛹🛹----

Errr--- membosankan nggak, sih, part ini? Kok aku merasa ini ada yang kurang, yah? Huhuhu, maafkan aku kalau jelek. Tapi tapi tapi, Zoyaaaa belikan aku bakso juga!!!!!
Ada nggak yang sama cem Dikta? Makan bakso kalau lagi banyak pikiran. Yang sama cung☝️.
Kritik, saran, vote, dan komentar selalu aku nantikan ayang-nim!

19.07.2021

----TBC----

My Bad Neighbor (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang