Hari ini Dikta sudah diperbolehkan pulang ke rumah, alasannya tentu saja karena pemuda itu sudah mulai membaik. Meski lukanya belum sepenuhnya sembuh, tapi setidaknya hal semacam itu bisa diobati secara mandiri saja. Hal itulah yang menjadi alasan kenapa saat pulang dari sekolah, gadis berambut tergerai dengan ransel mungil biru langit itu tak langsung pulang ke rumah. Dia malah pindah haluan, masuk ke dalam rumah seberang guna menghampiri Dikta yang katanya sudah pulang.
Tok... Tok... Tok...
Tangan gadis itu terangkat, mengetuk pintu coklat di depannya hingga tak lama pintu itu terbuka dengan sendirinya. Oke, tidak sendiri, hanya terbuka dari dalam sana. Sosok wanita berumur menjadi objek pandangan gadis itu sekarang. Senyum ramah wanita itu terpatri sangat jelas di bibirnya.
"Assalamu'alaikum, Tante, mau jenguk Dikta," ucap Zoeya seraya menyalimi Tante Indri.
"Waalaikumssalam, Zoya, masuk masuk. Diktanya ada di kamar. Alan Ages juga ada di sana, dia ikut bantuin pindahan Dikta," papar Tante Indri seraya memberikan jalan untuk Zoeya.
Setelah mengucap permisi, gadis berseragam Cakrawala itu melangkahkan kakinya menuju tangga. Menaiki anak tangga itu satu persatu guna sampai di kamar Dikta. Kalau diingat, ini adalah ketiga kalinya gadis itu bertamu ke kamar Dikta sejak dia tumbuh dewasa.
Tok... Tok... Tok...
Lagi-lagi Zoeya mengetuk pintu, takut-takut dia masuk ke dalam disaat yang tidak tepat. Meskipun sebelum-sebelumnya dia selalu nekat masuk, sih, tapi untuk kali ini biarlah ada pengecualian.
Pintu terbuka, Alan dengan hoody abu-abunya tampak di depan mata. Tersenyum lebar hingga matanya sisa segaris saja. "Woahh, Naya," ucapnya tampak bahagia.
"Zoya, Kak," ralat Zoeya seraya melangkahkan kakinya memasuki kamar Dikta.
Di dalam ia bisa melihat Dikta yang sedang bermain ponsel di atas ranjangnya dan Ages yang sedang duduk di atas sofa dengan camilan di tangannya.
Zoeya tentu saja melangkahkan kakinya menuju ranjang, menghampiri Dikta dan berdiri di sebelahnya. Seakan tuli dan buta, Dikta sama sekali tak melirik Zoeya, pria itu hanya fokus pada ponsel di genggamannya saja.
"Dik--"
"Ngapain ke sini?" tanya Dikta memotong perkataan Zoeya.
Deg
Hey, kenapa nada suara Dikta terdengar tak suka? Terlebih pria itu bicara tanpa sekalipun meliriknya. Oh, Tuhan, apa lagi yang terjadi?
"Pulang. Ini bukan tempat lo," ucap Dikta lagi masih sibuk dengan ponselnya. Padahal yang Zoeya lihat pria itu hanya sedang menggeser-geser home screennya saja. Tidak ada hal penting yang ia kerjakan.
Zoeya mematung, kakinya seakan terpaku pada lantai kamar Dikta. Tubuhnya tak bergerak sekalipun, hanya diam dengan pikiran tak jernih dan segala prasangka terhadap apa yang dilakukan Dikta.
Alan dan Ages juga diam, mereka tak mau ikut campur urusan Dikta dan Zoeya. Keduanya sama-sama duduk di atas sofa, menikmati camilan yang mereka bawa.
"Ngapain masih diam? Pulang!" Lagi-lagi Dikta bersuara. Suara dingin bernada tajamnya itu langsung menyadarkan Zoeya. Bukannya kesal yang menghampiri dadanya, melainkan rasa sakit yang sama dengan usiran Dikta tempo hari. Hey, kali ini apa kesalahannya?
Dengan pandangan yang menatap sepatunya, Zoeya bergerak, hendak berbalik dan meninggalkan Dikta tanpa sekalipun buka suara. Namun itu tak terjadi, karena Dikta sekarang menarik tangannya, menggigit jari-jarinya, lalu membuat Zoeya secara tiba-tiba duduk di ranjangnya. Tepat di samping pemuda itu dengan tubuh yang menghadap Dikta.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Neighbor (END)
Teen FictionBagi Zoeya, Dikta itu hanya berandal sekolah yang kebetulan bertetangga dengannya. Sedangkan bagi Dikta, Zoeya adalah orang asing yang senang mengurusi dan mencari muka dengannya. Tidak-tidak, Zoeya tidak mungkin mau mengurusi Dikta kalau dia tidak...