Zoeya memberikan gelas yang sudah kosong pada Dikta yang masih di depannya, membuat Dikta menerima dan langsung menyimpannya di atas laci yang tak jauh darinya.
"Lo udah bisa jalan?" tanya Dikta.
Zoeya tak langsung menjawab, gadis itu sekarang melirik ke arah kakinya yang menggantung dari brankar, menggerak-gerakannya perlahan. Sudah tak terlalu sakit.
"Kayaknya bisa," balas gadis itu sedikit tak yakin.
Dikta mengangguk, pria itu sekarang berjalan ke arah sofa, mengambil tas juga sweater rajut biru Zoeya dan memberikannya pada pemiliknya. Tadi Alkana hadir dan menyerahkan barang-barang milik Zoeya.
"Kita pulang kalau gitu," ujar Dikta yang diangguki Zoeya.
Zoeya menerima kedua barangnya, menyimpan tas disampingnya, lalu memakaikan sweater pada tubuhnya. "Mumpung di UKS, bisa minta tolong ambilin P3K?" ucapnya.
Dikta menaikan satu alisnya. "Ada yang luka?" tanyanya.
Zoeya mengangguk, membuat Dikta segera melakukan permintaannya. Pria itu berjalan menuju lemari kaca kecil di UKS, membukanya, kemudian mengambil kotak P3K yang Zoeya minta. Setelahnya pria itu kembali berjalan menuju Zoeya, memberikan barang yang ia bawa pada tetangganya.
Zoeya menerimanya, membukanya, dan menaruh kotak itu di sampingnya. Dia mengambil kapas juga alkohol dari dalam sana, menuangkan alkohol ke atas kapas, lalu mendonggak dan menatap Dikta. "Duduk di kursi," pintanya.
"Ngapain?" Bukannya menurut, Dikta malah melontarkan pertanyannya. Lagipula, untuk apa dia harus duduk? Kakinya sangat kuat untuk sekedar berdiri beberapa jam saja.
"Duduk aja, sih," balas Zoeya.
Dikta yang sedang dalam mode baik hatinya menurut, dia meraih kursi plastik di sampingnya, lalu mendudukan dirinya di atas sana.
"Sini majuan mukanya," pinta Zoeya lagi.
Lagi-lagi Dikta menurut, memajukan wajahnya agar lebih dekat dengan Zoeya. Meski semula ada keraguan, Zoeya mengarahkan tangannya yang memegang kapas ke arah Dikta. Mengobati luka-luka pria itu yang tampak masih baru. Entah apa yang Dikta lakukan, Zoeya merasa tak berhak untuk menayakannya.
Dikta yang tak menyangka kalau kotak P3K itu untuk mengobati lukanya, hanya bisa membeku di tempat. Aneh rasanya saat Zoeya mengurusi luka di wajahnya untuk kali ke dua.
"Tunggu, ini robek." Zoeya memekik tertahan, kedua tangannya kini memegang sisi kepala Dikta, mengarahkan kepala Dikta menengadah ke atas, ah, benar, di bawah dagunya ada luka robekan dengan darah yang sudah mengering.
Dikta diam, kedua tangan Zoeya yang dingin, tiba-tiba serasa menusuk kulitnya. Untuk alasan yang tak pasti, suhu tubuhnya langsung meninggi.
Zoeya kembali membuat kepala Dikta menatap padanya, dia menyipit, memperhatikan wajah Dikta yang serasa berubah. "Merah," gumamnya kemudian menempelkan satu telapak tangannya pada kening Dikta, saat itu juga matanya melotot. "Lo demam?!" lanjutnya tak santai.
Lagi-lagi dengan alasan yang tak jelas, Dikta malah gelagapan, dia menepis lengan Zoeya, kemudian memundurkan wajahnya. "Jangan sentuh-sentuh!" desisnya tajam.
Zoeya mengerutkan alisnya, hey, kenapa dia malah marah-marah. "Luka lo--"
"Ck! Udah, nggak usah diobatin, ayo balik! Gue orang sibuk!" sela Dikta kemudian bangkit berdiri, berjalan keluar terlebih dahulu tanpa membantu Zoeya yang bisa saja masih belum mampu jalan sempurna.
----🛹🛹🛹----
"Zoya sayang, main yuk!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Neighbor (END)
Teen FictionBagi Zoeya, Dikta itu hanya berandal sekolah yang kebetulan bertetangga dengannya. Sedangkan bagi Dikta, Zoeya adalah orang asing yang senang mengurusi dan mencari muka dengannya. Tidak-tidak, Zoeya tidak mungkin mau mengurusi Dikta kalau dia tidak...