Rambut tergerai Zoeya berkibar karena angin yang menerpanya saat ia duduk di atas boncengan motor Dikta yang melaju. Sejak dimulainya perjalanan hingga sekarang, Zoeya merasa kaku di boncengan ini. Entah kenapa dia aneh saja saat mendapati Dikta tiba-tiba mau mengajaknya pulang bersama. Ya, meski orang itu bilang disuruh, sih, tapi tetap saja aneh. Dikta bukan tipe orang yang akan menurut begitu saja pada orang lain, ia akan melakukan sesuatu kalau memang ia mau melakukannya. Ah, apa mungkin orang itu dapat hidayah setelah dikeroyok teman-temannya sendiri?
Lain Zoeya, lain juga Dikta. Kalau Zoeya merasa kaku, Dikta malah biasa-biasa saja. Pemuda itu ringan-ringan saja membonceng tetangganya itu. Lagipula dia bukan membonceng raja atau pejabat negeri, jadi apa yang harus dianggap special?
Di jalanan, mata pemuda itu menatap ke depan, fokus pada jalanan meski sesekali melirik kanan kiri entah apa tujuannya. Kini Dikta menghentikan motornya karena rambu lalu listas yang berwarna merah. Meski dia seorang berandalan, kalau bukan karena buru-buru dia tetap akan mematuhi rambu lalu lintas. Lagipula dia tak suka kalau ditilang dan berurusan dengan pihak yang berwenang. Itu sangat menyebalkan!
Dikta menurunkan tangannya dari stang, sedikit menggerak-gerakan jarinya yang terasa cukup kaku. Seraya melakukan itu, dirinya menoleh ke sisi kanan, melihat cafe yang tampak ramai di sana. Saat hendak kembali menatap ke depan, pria itu secara tak sengaja melihat suatu objek yang menarik matanya. Dia memfokuskan pandangannya pada objek itu, dan senyum miring tiba-tiba tercetak saat dia yakin dengan apa yang terlihat.
Entah kerasukan apa, Dikta sekarang melajukan motornya, bukan menerobos lampu merah, melainkan melajukan kuda besi itu ke arah kanan yang membuatnya menjadi bahan tatapan pengendara lainnya. Ayolah, tindakannya itu tak bisa dianggap benar dan membahayakan.
Zoeya yang menghadapi itu sempat terkejut, kemudian menggeram karena Dikta tak melakukan hal yang benar. Tadinya dia akan sedikit mengapresiasi pemuda itu karena tak melakukan kesalahan, namun kini, ah, lagi-lagi Dikta tetap lah Dikta. Berandalan kakap yang kelakuannya itu bisa membuat orang lain geleng kepala.
Motor Dikta malah memasuki area cafe, berhenti di parkiran tepat di hadapan dua orang yang sedang bercengkrama mesra. Satu diantaranya Dikta sangat kenal, dia adalah mantan kekasihnya yang ia putuskan beberapa hari lalu. Sedangkan satu lainnya... em, ah, Dikta ingat, dia adalah salah satu anggota Avelon. Pria yang menusuknya waktu itu. Dikta hafal betul wajahnya, karena wajah itu sempat menjadi mainan kepalan Dikta.
"Hebat, ya, lo, baru putus tiga hari udah jalan sama cowok lain aja. Beneran jalang lo?"
Dua orang itu terlonjak, merasa terkejut karena ternyata yang berhenti itu adalah Dikta. Mereka kira itu adalah pengunjung cafe yang hendak memarkirkan motornya saja.
"Leon." Celin bergumam, dia tak menyangka akan bertemu Dikta di tempat ini dan secepat ini.
"Lo apa bedanya, bro? Baru putus tiga hari udah bonceng cewek lain aja, jalang mana kali ini yang lo bawa?" Lelaki yang bersama Celin bertanya dengan sesekali melirik Zoeya.
Hey, apa dia tak salah berbicara? Zoeya memandangnya, merasa geram sendiri saat dia dikatai oleh orang tak dikenalnya itu. Ah, ini karena Dikta. Kalau saja Dikta tak membawanya, Zoeya pasti tak akan mendapat hinaan seperti ini.
"Mulut lo kurang ajar juga ternyata," ucap Dikta seraya mengut-mangut di tempatnya.
"Leon aku bisa jelasin, dia ini--"
"Gue pacarnya, pacar yang sesungguhnya. Nggak kayak lo yang cuma dimanfaatin doang, Leonel mantan selingkuhan pacar gue," ucap lelaki Avelon menyela ucapan Celin. Lelaki itu mengulurkan tangannya dengan senyum meremehkan yang sangat jelas terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Neighbor (END)
Fiksi RemajaBagi Zoeya, Dikta itu hanya berandal sekolah yang kebetulan bertetangga dengannya. Sedangkan bagi Dikta, Zoeya adalah orang asing yang senang mengurusi dan mencari muka dengannya. Tidak-tidak, Zoeya tidak mungkin mau mengurusi Dikta kalau dia tidak...