MBN 57

4.8K 374 4
                                    

Bughh

Zoeya dan semua siswi di koridor memekik kala Dikta terjatuh ke lantai akibat mendapat bogeman dari salah satu siswa kekar berotot yang tak lain senior Cakrawala.

Ini adalah hari keempat Dikta bersekolah, dan orang yang memukulnya adalah orang terakhir yang harus Dikta mintai maaf. Pemuda itu sudah melakukannya, namun bukannya kedamaian yang ia dapat, melainkan bogeman mentah super kuat dihadiahi orang itu.

Sebenarnya Dikta bisa saja menghindar, dia juga sangat mampu untuk melawan, namun karena ini ajang meminta maafnya, dia tak sampai hati untuk melakukan itu. Dia tak mau niatnya gagal hanya karena satu orang yang sepertinya sangat dendam padanya.

Zoeya maju, menghalangi tubuh Dikta dengan tubuhnya sendiri saat senior itu akan kembali melayangkan serangannya pada Dikta.

"Katanya gue boleh lakuin apapun sama si kurang ajar itu. Kenapa lo malah halangi gue? Mau juga gue hajar?" tanya orang itu menunjukan otot-ototnya di depan Zoeya.

Zoeya menelan ludahnya, oke, bagaimanapun dia ini seorang wanita yang selalu takut dengan hal-hal semacam itu. Tapi tetap saja, dia tak bisa membiarkan Dikta kembali dipukul saat lukanya saja masih banyak yang belum sembuh sempurna.

"Saya emang bilang begitu, Kak, tapi diakhir saya tambahin kalau Kakak jangan berlebihan. Leon masih masa pemulihan, Kak," ucap Zoeya berusaha memberikan penjelasan.

Orang itu malah tersenyum miring, lalu memalingkan mukanya ke samping dengan gerakan songong. "Satu kali pukul nggak ada apa-apanya dibandingkan rasa malu gue karena dia perintah-perintah seenaknya," ucapnya seraya menunjuk Dikta yang sudah bangkit sempurna.

"Saya paham, Kak. Tapi kalau semisal ada cara lain supaya Kakak maafin Leon tanpa kekerasan, saya rasa lebih pantas yang itu, Kak," balas Zoeya.

Senior itu berdecih, lalu hendak maju dan meraih kerah seragam Zoeya. Bagaimanapun dia tak peduli dengan ocehan gadis asing di depannya ini. Dia juga tak peduli meski Zoeya adalah seorang wanita. Yang mengganggunya, jelas harus dia beri pelajaran. Itulah jalan berandalan yang ia terapkan sebelum Dikta membuatnya jadi boneka.

Belum juga tangannya itu sampai pada kerah Zoeya, tangannya sudah lebih dahulu di tepis oleh seseorang dengan kerasnya. Ya, tentu saja itu Dikta. Hey, mana mungkin, kan pria itu membiarkan Zoeya terluka?

Dikta langsung mengambil posisi di depan Zoeya. Gantian, sekarang pria itu yang melindunginya.

"Seujung jari aja lo sentuh Zoeya, selama lo sekolah di Cakrawala, gue pastiin hidup lo nggak akan bahagia," ucap Dikta dengan tatapan tajam penuh intimidasinya.

Nyali senior itu seketika menciut, hey, kenapa bisa Dikta kembali seperti semula? Itulah pikirnya. Dia kira Dikta sudah berubah, dia kira Dikta tak akan lagi mengancamnya. "Bu-bukannya lo minta maaf?" tanya orang itu dengan kaki yang perlahan memundurkan diri.

Dikta tersenyum miring, dia melonggarkan dasi yang Zoeya paksa untuk dipakainya. Kakinya ia gerakan, melangkah ke depan dengan senior itu yang terus bergerak ke belakang. "Gue tadinya emang minta maaf. Tapi, apa orang gila semacam lo pantas buat dapat permintaan maaf gue?" tanyanya.

Jarak keduanya sekarang sudah dekat, hanya beberapa centi saja karena si senior tak sanggup lagi untuk memundurkan langkahnya.

Senior itu menelan salivanya susah payah, tatapan menusuk Dikta jelas mengingatkannya pada masa lalu yang membuatnya berujung menjadi babu. "Gue maafin lo! Kita nggak ada urusan lagi!" ucapnya berusaha terdengar tegas walau pada kenyataanya suara yang keluar tetap bergetar.

Dikta lagi-lagi tersenyum miring, tangan pemuda itu terangkat, menepuk-nepuk bahu seniornya beberapa kali. "Oke," ucapnya. Dikta mencondongkan tubuhnya, hingga wajahnya sekarang berada tepat di samping kepala si senior itu. "Kalau berani sentuh Zoeya, siapin biaya buat bayar rumah sakit secepatnya," bisiknya.

My Bad Neighbor (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang