Sekali lagi Zoeya memperhatikan wajahnya di cermin kamarnya. Tampak tak ada yang beda. Gadis itu tetap cantik meski dengan riasan seadanya. Setelah dirasa sempurna, gadis itu bangkit dari duduknya, meraih tas selempang yang tergantung dan memakainya. Kemudian langkahnya terarah menuju pintu kamar, membukanya, dan dia segera keluar dari dalam kamarnya itu. Dia yakin, Dikta pasti sudah bosan menunggunya di bawah sana.
Begitu batang hidung Zoeya memasuki pandangannya, Dikta yang sedang duduk di sofa ruang tamu segera membangkitkan tubuhnya. Bergerak mendekat ke arah Zoeya yang juga sedang melangkah mendekatinya.
Dikta memperhatikan penampilan Zoeya dari ujung kaki hingga ujung kepalanya, tampak sempurna meski sederhana. Dikta mengendus-ngendus udara di sekitarnya, lalu mulutnya itu terbuka dan berkata, "Lo pakai parfum lebih banyak dari biasanya."
Zoeya tak menjawab, gadis itu hanya bergumam tak jelas saja lalu kembali menggerakan kakinya. Membuat Dikta tentu mengikutinya. Hey, Dikta yang mengajak tapi kenapa malah Zoeya yang jalan duluan? Oh, sungguh benar-benar gadis itu.
"Sebenarnya kita mau ke mana, sih? Kenapa juga harus jam sembilan malam kayak gini?" tanya Zoeya begitu dirinya dan Dikta sudah berada di carport rumah Zoeya. Tujuannya jelas, mengambil motor Dikta yang terparkir di sana.
Bukannya menjawab pertanyaan Zoeya dengan benar, Dikta malah menyodorkan helm pada gadis itu. "Nanti juga tahu," ucapnya.
Meski tak puas, Zoeya tetap tak berkomentar. Benar kata Dikta, kalau dia ikut, ya, dia pasti akan tahu nanti. Selesai memasangkan helm di kepalanya, gadis itu kini memegang kedua bahu Dikta, menggunakannya sebagai bantuan untuk ia menaiki motor mahal Dikta.
Setelah dirasa Zoeya sudah duduk nyaman di boncengannya, Dikta mulai menyalakan mesin motornya, lalu melajukannya meninggalkan rumah Zoeya dengan kecepatan rata-rata.
Angin berhembus, menerpa kulit wajah dan tangan keduanya yang tak terlapisi apa-apa. Cukup dingin, namun masih bisa diterima akal sehat.
Zoeya memegang jaket Dikta, masih tak berani untuk memeluk lelaki itu saat sedang diboncengnya. Lagipula dia sadar diri kalau dia bukan siapa-siapanya Dikta selain tetangga dan teman SMA.
Tak lama kemudian, Dikta menghentikan motornya, membuat Zoeya langsung memperhatikan sekitarnya. Taman kota. Ya, tempat yang amat biasa.
Setelah turun dan menyodorkan helmnya, Zoeya bertanya, "Kenapa ke sini?"
Dikta menerima helm Zoeya, lalu menyimpannya di spion motor. "Ya, emang lo berharap gue ajak ke mana?" Bukannya menjawab, Dikta malah balik bertanya. Pria itu sekarang sudah turun sempurna dari motornya, sedikit membenarkan jaket yang ia kenakan, lalu menggandeng tangan Zoeya agar mengikuti langkahnya.
"Dikta, kemana?" Meski sudah tahu mereka di taman, namun Zoeya tetap bertanya. Salahkan saja Dikta yang terus berjalan berkeliling taman dengan langkah pelan seperti orang yang tahu tujuan.
"Ya, nggak kemana-mana. Di sini aja," balas Dikta ringan dan seadanya.
Zoeya tak menjawab, gadis itu hanya menggerakan bibirnya ke samping saja.
"Lo tahu?" tanya Dikta tiba-tiba. Kakinya masih terus melangkah, dengan sesekali memperhatikan sekelilingnya yang tak menarik untuk dilihat. Oh, ayolah, ini hanyalah sebuah taman kota biasa.
"Nggak!" balas Zoeya dengan nada yang sedikit ia naikan. Pembalasan karena sebelumnya Dikta menjawab pertanyaannya dengan tak ada niat.
Meski begitu, Dikta tampak tak peduli. Pria itu malah menerbitkan senyum kecilnya lalu kembali berkata, "Gue udah dua minggu nggak nyentuh rokok sama minuman keras. Gue juga udah lama nggak berantem. Gue juga sekarang udah bukan anak motor lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Neighbor (END)
Teen FictionBagi Zoeya, Dikta itu hanya berandal sekolah yang kebetulan bertetangga dengannya. Sedangkan bagi Dikta, Zoeya adalah orang asing yang senang mengurusi dan mencari muka dengannya. Tidak-tidak, Zoeya tidak mungkin mau mengurusi Dikta kalau dia tidak...