Zoeya membuka pintu rumahnya, keluar dari dalam rumah mewah dengan piyama yang membalut tubuhnya. Malam ini dia secara tiba-tiba mendapat panggilan dari Pak Ahmad, menyatakan kalau ada seorang gadis yang ingin menemuinya di luar. Itulah alasan kenapa Zoeya mau saja keluar saat angin berhembus kencang. Ya, lagi-lagi suhu di Jakarta tidak normal. Hujan juga sempat tiba, namun hanya beberapa menit saja.
Kaki berlapis sandal itu melangkah menyusuri halaman, lalu berakhir saat Pak Ahmad muncul dari pos satpam. "Pak, siapa yang mau ketemu aku?" tanyanya.
Pak Ahmad semakin mendekat, lalu mendekatkan wajahnya pada Zoeya, berbicara dengan suara pelan seolah tak mau ada yang mendengar. "Itu, Non, yang waktu itu sempat ke sini juga. Tapi Non kali ini gawat."
Zoeya menaikan kedua alisnya, gawat apa yang dimaksud pekerjanya ini. "Gawat? Maksudnya?" tanya Zoeya meminta penjelasan.
"Dia babak belur, Non, kayak habis dipukuli," jawab Pak Ahmad masih dengan suara pelannya.
Bukannya mengerti, Zoeya malah semakin heran sekarang. Perempuan mana yang mau bertamu saat tubuhnya babak belur? Aneh sekali.
"Non Zoya samperin aja, Non, dia nangis dari tadi," saran Pak Ahmad yang diangguki Zoeya.
Pak Ahmad menyingkir dari hadapan majikan mudanya itu, mempersilahkan Zoeya untuk melangkah menghampiri si tamu yang berada di pos satpam.
"Celin," ucap Zoeya begitu ia melihat tamu yang dimaksud adalah mantan pacarnya Dikta.
Mendengar namanya di sebut, Celin sontak mendonggak, menoleh pada Zoeya yang sedang memperhatikannya. Gadis itu bangkit berdiri, lalu berjalan menuju Zoeya dan langsung menerjang tubuhnya. Memeluk Zoeya erat dengan tangis yang semakin membesar.
Meski sempat terkejut mendapati perlakuan Celin, Zoeya tetap menggerakan tangannya, membalas pelukan Celin dengan sesekali menepuk punggungnya.
Zoeya diam, memilih untuk tidak dulu membuka mulutnya. Gadis itu akan membiarkan Celin puas menangis saja, baru saat selesai ia akan menanyakan alasannya. Alasan Celin menangis, dan alasan kenapa sekarang penampilan dan tubuh gadis itu begitu menyedihkan.
Pakaiannya lusuh, seperti habis terjerembab ke lantai penuh debu. Ada beberapa lebam di wajahnya, tangan dan kakinya yang tak tertutupi kain pun juga mencetak luka yang sama. Kening gadis itu robek dan mengeluarkan darah, persis seperti orang yang baru dihajar preman pangkalan.
Beberapa menit berlalu, akhirnya tangis Celin mulai mereda, gadis itu melepaskan pelukannya, lalu menunduk dan menyeka air mata. Sepertinya dia tak berani menampakan wajah kacaunya pada Zoeya.
Zoeya berdeham pelan, agar suasana lebih terasa menyenangkan. Oke, mana mungkin bisa menyenangkan saat gadis yang sedang babak belur penuh luka adalah lawan bicaranya. "Jadi, lo kenapa?" tanya Zoeya tanpa mau berbasa-basi. Lagipula dia sangat penasaran dengan apa yang dialami Celin.
"Leon, Zoeya." Kata itu yang keluar dari bibir Celin, membuat Zoeya mengerutkan keningnya. Pantas saja dia ke rumahnya, ternyata permasalahan yang dialaminya ada sangkut pautnya dengan sang tetangga.
"Kenapa sama Leon?" tanya Zoeya berusaha menormalkan suara. Entah kenapa dia khawatir tiba-tiba, takut terjadi apa-apa pada Dikta sang tetangga yang harusnya dibencinya. Ah, lupakan, untuk saat ini dia sangat tak bisa membenci Dikta.
Bukannya menjawab, Celin malah kembali mengeluarkan tangisnya, membuat Zoeya harus sabar menunggu jawaban yang dikeluarkannya. "Leon... Leon yang lakuin ini sama aku," ungkap Celin dengan sesenggukannya.
Otak Zoeya tak langsung meresponnya, pikirannya bekerja sangat lambat begitu kalimat itu memasuki telinganya. Leon yang lakuin ini sama aku. Maksudnya Dikta yang membuat keadaan Celin begitu menyedihkan? Hah, apa mungkin Dikta sampai tega melakukan hal kejam semacam ini? Tidak tidak, Dikta tidak mungkin seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Neighbor (END)
أدب المراهقينBagi Zoeya, Dikta itu hanya berandal sekolah yang kebetulan bertetangga dengannya. Sedangkan bagi Dikta, Zoeya adalah orang asing yang senang mengurusi dan mencari muka dengannya. Tidak-tidak, Zoeya tidak mungkin mau mengurusi Dikta kalau dia tidak...