Kantin rumah sakit menjadi tempat yang sekarang ditempati Zoeya dan beberapa orang lainnya. Dikta sudah dipindahkan ke ruang rawat dan diperbolehkan untuk dijenguk. Namun, karena merasa Tante Indri adalah orang yang paling berhak untuk pertama kali melihat Dikta, jadilah mereka membiarkan Ibu Rumah Tangga itu untuk melakukannya. Lagipula Dikta masih berada di bawah pengaruh obat bius, jadi dirinya sedang tak sadarkan diri sekarang.
"Makan, Ya, masa cuma gitu doang." Alkana bersuara, memerintahkan temannya untuk memakan makanan yang telah ia pesan. Ayolah, Zoeya hanya mengaduknya, tidak untuk memakannya.
"Nggak lapar, Na," balas Zoeya dengan suara kecilnya.
"Nggak lapar dahi lo. Makan Zoya sayang, Leon nggak akan tiba-tiba sehat cuma karena lo nggak makan," ujar Tasya ikut ambil suara. Ayolah, ini sudah jam 12 siang, mana mungkin temannya itu tidak lapar. Ia saja sudah kelaparan sejak setengah jam lalu.
Zoeya hanya menggelengkan kepala, lagi-lagi menolak suruhan dari temannya. Selera makannya hilang sejak tadi. Perutnya terasa kenyang meski tadi pagi dia tidak sarapan. Mungkin ini efek dari sakit hati dan kesedihan yang mendalam.
Alkana dan Tasya tak lagi bisa memaksa, mereka juga tak mau membuat Zoeya tertekan dengan suruhan mereka. Biarlah nanti meminta di bungkus saja, agar saat Zoeya lapar, gadis itu bisa langsung memakannya.
Beberapa saat berlalu, makanan dalam piring mereka telah habis sempurna. Tentunya milik Zoeya pengecualian. Gadis itu hanya memakan dua sendok saja, selebihnya dia menggunakan waktu di kantin hanya untuk merenung saja.
Tak lama sosok wanita berumur menghampiri mereka, berdiri di samping meja dengan tatapan yang menyorot Zoeya. "Dikta udah bangun, katanya mau ketemu kamu, Zoya," ucapnya tanpa basa-basi.
Meski yang dipanggil hanya Zoeya, tapi semua yang ada di meja sontak berdiri dari duduknya. Hendak melihat Dikta yang ada di ruang rawatnya.
"Tante mau isi perut dulu? Mau aku temenin?" Tasya buka suara, menawarkan jasa menemani pada sosok Tante Indri yang langsung menggelengkan kepala.
"Tidak usah. Tante nggak lapar, Tante mau ke sana lagi," balas Tante Indri dilengkapi senyum ramahnya.
Tasya mengangguk, dan semuanya kini melangkahkan kaki. Menjauhi kantin guna menuju ruangan Dikta yang dua lantai di atas kantin ini.
Beberapa saat berlalu, akhirnya mereka semua telah sampai di depan ruangan rawat Dikta. Zoeya menjadi orang pertama yang memegang kenop pintu, hendak membuka ruang rawat Dikta. Namun sebelum itu, dia menoleh ke belakang, melihat dua temannya yang sekarang menyorotnya.
Mendapati anggukan kecil dari Tasya dan Alkana, akhirnya tangan dingin Zoeya berani membuka pintu. Masuk ke dalam ruangan dan kembali menutupnya. Dia hanya ingin berdua dengan Dikta saja. Untungnya semuanya tak keberatan, karena bagaimanapun Dikta juga hanya meminta Zoeya untuk menemuinya.
Bau obat-obatan yang lebih menyengat daripada di luar menusuk hidung Zoeya kala gadis itu memasuki ruangan Dikta. Dengan kepala yang sedikit tertunduk, gadis itu memberanikan diri menghampiri brankar di mana Dikta sedang terbaring dengan jarum infus yang menusuk tangannya. Pria itu sudah berganti pakaian menjadi baju khas pasien rumah sakit.
Tiap langkah yang Zoeya lakukan, tak luput dari pandangan Dikta. Sejak pintu dibuka dan Zoeya menampakan dirinya, Dikta sama sekali tak mengalihkan tatapannya dari gadis berambut tergerai yang masih mengenakan seragam SMA Cakrawala itu.
Zoeya mendudukan dirinya di kursi samping brankar, namun gadis itu sama sekali tak berani melihat wajah Dikta padahal posisi mereka sangat dekat.
Entah karena AC yang menyala, atau Zoeya yang terlalu kaku dan takut, gadis itu sekarang merasakan suhu yang seolah di bawah rata-rata.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Neighbor (END)
Teen FictionBagi Zoeya, Dikta itu hanya berandal sekolah yang kebetulan bertetangga dengannya. Sedangkan bagi Dikta, Zoeya adalah orang asing yang senang mengurusi dan mencari muka dengannya. Tidak-tidak, Zoeya tidak mungkin mau mengurusi Dikta kalau dia tidak...