Benar sekali apa yang dibicarakan Alkana semalam. Pagi ini SMA Cakrawala sudah gempar oleh berita masuknya berandal sekolah ke dalam rumah sakit dengan alasan tertusuk. Entah siapa yang pertama kali membawa berita itu, yang pasti beritanya menyebar sangat cepat. Dari pertama kali Zoeya menginjakan kaki di area sekolah, hingga kini gadis itu sudah duduk manis di bangku kelasnya, yang ia dengar hanyalah berita serupa. Ada yang sedih, ada yang senang, dan ada juga yang biasa-biasa saja dalam menanggapi kabar itu. Yang sedih tentu saja kebanyakan adalah kaum perempuan penggemar Dikta, yang senang adalah orang-orang yang sempat Dikta tindas hari-hari kebelakang, dan yang biasa-biasa saja, adalah orang-orang yang menganggap Dikta sebatas murid bengal SMA Cakrawala. Zoeya dan Tasya contohnya.
"Gue makin sedih dengar orang-orang ngomongin Leon, mana katanya dia sempat henti jantung lagi." Alkana yang duduk di bangkunya namun menghadap pada Zoeya berkata lirih. Dia memang tampak sedih saat ini.
"Gue, sih, yakin kalau beritanya ada yang ditambah-tambahin," ucap Zoeya yang saat ini tengah menyalin catatan tugas dari buku Alkana. Dia lupa kalau hari ini ada tugas yang harus dikumpulkan.
Alkana membuang napas beratnya lewat mulut, dia kemudian menatap Zoeya dengan pandangan memelas. "Ya, lo kayaknya harus bantuin gue," paparnya yang membuat Zoeya berhenti menulis. Gadis itu mendonggak, menatap temannya dengan kedua alis yang terangkat.
"Apaan?" tanya Zoeya.
"Nanti kalau lo sampai rumah, tanyain kabar Leon sama orang tuanya. Siapa tahu, kan, mereka lagi pulang buat apa gitu," jawab Alkana.
Mendengar permintaan Alkana, Zoeya sontak menggeleng cepat. "Mustahil. Kalau Leon tahu gue nanyain dia, bisa besar kepala itu anak. Lagian lo kok jadi berlebihan gini, sih? Perasan kemarin lo raguin Leon, deh," tolaknya.
Alkana cemberut, dia kemudian meraih tangan Zoeya yang sedang memegang pulpen, menggenggamnya erat dengan kedua tangannya. "Setelah dipikir, gue emang peduli sama orang ganteng. Gue yakin di dalamnya Leon itu ada kebaikan. Plis, ya, Zoya, bantuin gue nenangin perasaan," ujarnya.
Zoeya menarik tangannya dari genggaman Alkana, kemudian gadis itu menjawab, "Ya, ya, ya, kalau gue ketemu Tante Indri atau Om Tio gue tanyain, deh." Selanjutnya gadis itu kembali menyalin jawaban tugas dari buku Alkana.
Alkana akhirnya tersenyum sumringah, dia tersenyum lebar ke arah Zoeya yang tak peduli. "Makasih, Zoya!" girangnya.
Zoeya hanya mengangguk singkat dalam menanggapi kegirangan Alkana itu.
Tak lama raut Alkana berubah, gadis itu seperti sedang memikirkan sesuatu sekarang. "Apa mending telepon aja, ya, Ya? Iya iya benar, lo telepon Mamanya Leon aja sekarang," ucap Alkana yang langsung dibalas teriakan menolak dari Zoeya. Sungguh, kalau Zoeya melakukan itu betapa besar kepalanya Dikta nanti kalau tahu.
Alkana cemberut lagi, gadis itu kini menarik buku tugasnya, membuat Zoeya memekik kaget. "Kalau lo nggak telepon sekarang, nggak gue kasih lihat tugas gue," ancam Alkana.
Zoeya menatap datar temannya itu, bisa-bisanya Alkana berlaku kejam padanya hanya karena Dikta. Ish, menyebalkan!
"Na, nggak seru lo, ah. Nanti gue tanyain kalau pulang," bujuk Zoeya tak mau melakukan permintaan Alkana.
Alkana menggeleng. "No, no, no, gue mau sekarang. Lo tinggal telepon aja, sih, nyokapnya, tanya gini, Tante, Leon kabarnya gimana? Gitu, Zoyaaaa."
Zoeya menghela napasnya, meski sangat berat hati, gadis itu akhirnya mengeluarkan ponselnya, mencari kontak bernama Tante Indri dan menghubunginya. Bahaya kalau sampai ia tak bisa menyalin tugas milik Alkana, bisa-bisa ia dihukum dengan kejam nanti.
Cukup lama Zoeya menunggu teleponnya, mungkin Tante Indri sedang sibuk di seberang sana. Namun, begitu telepon tersambung suara Tante Indri langsung menyapanya terlebih dahulu.
"Halo, Zoya," ucapnya.
Zoeya melirik Alkana sekilas, gadis itu sekarang tengah tersenyum penuh kemenangan seraya memandang Zoeya penuh minat.
"Ya, Tante, halo," balas Zoeya sebelum masuk ke inti pembicaraan.
"Ada apa, Zoya, ada kabar penting dari sekolahan?" tanya Tante Indri.
"Eh, nggak, kok, Tan, ini, anu, em, Dikta kabarnya gimana, Tan? Udah baikan?" jawab dan tanya Zoeya akhirnya.
Ada jeda beberapa saat sebelum Tante Indri menjawab pertanyaannya. Membuat Zoeya merasa aneh seketika. "Dikta udah baikan, kok, Zoya. Operasinya juga berjalan sangat lancar kemarin," jawab Tante Indri.
Sekali lagi Zoeya melirik Alkana, mengangguk kecil pada gadis itu.
"Jan-tung. Tanyain jantungnya nggak berhenti, kan?" Hanya dengan gerakan mulut tanpa suara, Alkana memberikan perintah pada Zoeya.
"Itu, Dikta jantungnya sempat berhenti, ya, Tan? Aku dengar kabarnya dari sekolah," ucap Zoeya.
"Eh, enggak, kok, Zoya, Dikta nggak sempat berhenti jantung. Dia udah sehat sekarang, kamu kalau mau ngomong sama Dikta, ngomong aja langsung, dia udah bangun dan dari tadi dengerin telepon kamu. Tante load speaker teleponnya soalnya," jelas Tante Indri yang langsung membuat Zoeya tegang. Oh, sialan sekali nasibnya.
"Mampus," ucap Zoeya tanpa suara.
"Nggak usah, Tan, udah Zoya cuma mau mastiin itu aja. Semoga Dikta cepat sembuh, ya, Tan," kata Zoeya terdengar buru-buru. Tanpa menunggu balasan dari seberang, Zoeya dengan segera mengakhiri panggilan.
Zoeya kini menatap Alkana, menengadahkan tangannya guna meminta buku gadis itu. "Leon lo baik-baik aja, rumor jantungnya sempat berhenti nggak bener. Dia malah udah sadar sekarang. Puas lo? Siniin buku tugas lo!"
Senyum lebar Alkana terbit lagi, dengan senang hati dia memberikan buku bersampul coklatnya itu. "Makasih, Zoya," ucapnya.
----🛹🛹🛹----
Tante Indri menatap heran ponselnya yang ada di ranjang Dikta begitu orang yang barusan meneleponnya tiba-tiba mematikan sambungan dengan buru-buru.
Ibu rumah tangga yang sedang menyuapkan bubur rumah sakit pada anaknya itu kemudian berucap, "Kamu yang baik sama Zoya, dia selalu bantuin Mama."
Dikta yang baru saja menelan buburnya, berdecih pelan. "Caper," ucapnya.
Tante Indri menghela napas, anaknya ini seperti tak bisa melihat kebaikan dari Zoeya. "Nggak boleh gitu, sayang, kalau nggak ada dia, Mama nggak pernah tahu kabar kamu," tuturnya.
"Lagian Mama nggak usah tahu kabar aku setiap saat. Aku udah gede, Mah, malu kalau tiap menit ditanyain kabar sama orang tua," balas Dikta. "Aku kenyang," lanjutnya seraya menolak sendok berisi bubur yang tersodor padanya.
"Satu sendok lagi aja, Dikta, kamu baru sedikit makannya," ujar Tante Indri masih tetap menyodorkan sendok berisi bubur pada mulut Dikta.
"Aku bilang kenyang, ya, kenyang," balas Dikta dengan nada sedikit kesal. Ayolah, rasanya dia tak nafsu makan sekarang.
Tante Indri menghela napasnya lagi, dia akhirnya menarik tangannya, memilih untuk menuruti mau Dikta. Dia tahu, kalau anaknya sudah berkata tak mau, mau dipaksa bagaimanapun, dia tak akan mau. Kalau masih keukeuh, maka siap-siap saja, anaknya itu akan marah. Tapi meski begitu, kasih sayangnya pada Dikta tak pernah luntur sedikitpun. Dia selalu memaklumi setiap sikap anaknya itu.
----🛹🛹🛹----
Apa kabar miskah? Harus baik dong, ya? Hwhwhwhwhw. Gimana bagian sebelas ini? Jelek kah? Atau biasa aja? Hum, Diktanya masih sakit, tuh, jenguk sana. Aku rindu Alan pelisss-!
Kritik, saran, vote, dan coment selalu aku nantikan loh, ayang-nim!17.07.2021
----TBC----
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Neighbor (END)
Ficção AdolescenteBagi Zoeya, Dikta itu hanya berandal sekolah yang kebetulan bertetangga dengannya. Sedangkan bagi Dikta, Zoeya adalah orang asing yang senang mengurusi dan mencari muka dengannya. Tidak-tidak, Zoeya tidak mungkin mau mengurusi Dikta kalau dia tidak...