Zoeya membuka pintu kamar tamu rumahnya, mempersilahkan Pak Ahmad yang membawa Dikta untuk masuk ke dalam. Dikta kini dibaringkan di ranjang, kemudian Zoeya dengan kemanusiaannya membuka sepatu juga kaus kaki yang dipakai lelaki itu.
Tadi Zoeya sudah memaksa Dikta untuk ke rumah sakit saja, namun dengan keras kepalanya Dikta tak mau ke tempat itu. Dirinya tak mau di rawat, karena itu merepotkan, hingga akhirnya Dikta berakhir di rumah Zoeya. Sebenarnya tadi Dikta akan dipulangkan ke rumahnya sendiri, namun pria itu bilang kalau rumahnya sepi karena Tante Indri sedang ikut camping bersama teman-teman kerja ayahnya. Jadilah, Zoeya memutuskan untuk membawa dan mengobati Dikta di rumahnya.
"Kalau begitu, saya pamit dulu, ya, Non." Pak Ahmad yang tugasnya sudah selesai berbicara.
Zoeya mengangguk, dia juga mengucapkan terima kasih pada pria paruh baya itu.
Setelah kepergian Pak Ahmad, kini di ruangan ini hanya ada Zoeya dan Dikta saja. Gadis itu mendekat, duduk di pinggir kasur samping perut Dikta. Dia menatap pemuda itu, tampak menyedihkan dengan semua bagian wajah yang dipenuhi luka. Ketampanannya nyaris tak terlihat sekarang.
"Lo serius nggak mau ke rumah sakit?" tanya Zoeya.
Dikta yang semula terpejam, kini membuka matanya. "Gue bukan orang lemah," balasnya yang lagi-lagi terkesan songong.
Zoeya menggerakan bibirnya ke samping. "Terserah," ucapnya.
Tak lama pintu kamar diketuk, membuat Zoeya berseru meminta orang yang mengetuk untuk masuk.
Bi Kokom datang dengan tangan yang membawa baskom berisi air hangat juga kotak P3K dalam keresek. Asisten rumah tangga itu kemudian menyimpan barang bawaannya di atas laci.
"Non, ini beneran Non aja yang mau ngobatin Mas Dikta?" tanya Bi Kokom tampak tak yakin dengan keputusan Zoeya.
Zoeya mengangguk seraya mulai bangkit guna mendekat ke arah laci. "Iya, Bi, aku aja. Bibi tolong tidurin Orion, Mbak Sarinya udah istirahat."
Bi Kokom mengangguk patuh, setelah pamitan, wanita berumur itu mulai meninggalkan kamar. Dia akan ke kamar Tuan mudanya sekarang, seperti apa yang diperintahkan Zoeya.
Di kamar tamu, Zoeya kini meraih kain yang di sediakan, menenggelamkan kain itu ke dalam air dalam baskom, lalu memerasnya. Setelah selesai, dia mendekat ke arah Dikta, membersihkan luka lelaki itu meski sesekali Dikta meringis dan menepisnya.
Mendapati beberapa plaster yang menempel di wajah lelaki itu, Zoeya berinisiatif membukanya. Plaster itu sudah kucel dan tak enak dipandang, biar nanti dia pasangkan yang baru agar lebih berkelas.
"Lo."
Dikta memanggilnya, membuat Zoeya berdeham guna menjawab.
"Lo kenapa bantuin gue," tanya Dikta seraya menatap lawan bicaranya.
"Lo pikir gue iblis yang nggak punya rasa kemanusiaan?" Bukannya menjawab, Zoeya malah balik bertanya.
"Lo bukan siapa-siapa gue," ucap Dikta lagi.
Zoeya berdecak, gadis itu kini berhenti membersihkan luka di wajah Dikta, beralih menatap lelaki itu tepat di matanya. "Elo pikir gue harus dekat dulu sama seseorang yang mau gue tolong? Hah? Lo bisa mati kalau gue nggak tolongin lo tadi," paparnya.
Tak ada balasan dari Dikta, lelaki itu hanya diam lalu memejamkan matanya, membuat Zoeya kembali membersihkan luka lelaki itu.
Tak lama Zoeya selesai membersihkan luka di wajah Dikta, gadis itu kini meraih kotak P3K di atas laci, membongkar isinya guna mengobati luka-luka Dikta.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Neighbor (END)
Teen FictionBagi Zoeya, Dikta itu hanya berandal sekolah yang kebetulan bertetangga dengannya. Sedangkan bagi Dikta, Zoeya adalah orang asing yang senang mengurusi dan mencari muka dengannya. Tidak-tidak, Zoeya tidak mungkin mau mengurusi Dikta kalau dia tidak...