MBN 55

5.1K 380 8
                                    

Dua hari berselang, namun Dikta masih belum diperbolehkan untuk meninggalkan rumah sakit. Dia memang hanya dipukuli saja, namun luka di seluruh tubuhnya tak bisa dianggap remeh dan tetap harus mendapat perawatan dari ahlinya. Kalau tidak, infeksi menjadi akibatnya. Tentu saja semua orang tak mau itu terjadi.

Pintu ruangan rawat Dikta terbuka, seorang gadis dengan pakaian kasualnya memunculkan diri dengan satu keresek putih berisi berbagai macam buah yang ia beli.

"Pagi Dikta," sapanya riang seraya menarik selimut yang Dikta gunakan untuk menutup seluruh tubuhnya.

Dikta menguap lebar, kemudian pria itu menjawab, "Pagi."

Setelah membuka gorden dan jendela, gadis itu mengambil duduk di kursi sebelah brankar Dikta. Lalu mengeluarkan ponsel canggihnya dari dalam tas selempang yang ia bawa. Mengutak-atiknya sebentar lalu menunjukannya pada Dikta. "Ini data siswa-siswi yang sempat lo bully selama sekolah di Cakrawala. Hasil kerja keras gue sama Alkana Tasya," ucapnya.

Dikta mengambil ponsel Zoeya, lalu melihat apa yang gadis itu tunjukan. Dia mengangguk-nganggukan kepala, lalu kembali memberikan ponsel itu pada pemiliknya. "Perasaan gue nggak bully sebanyak itu, deh. Ada yang ngaku-ngaku palingan," paparnya dengan tak tahu dirinya.

Zoeya menggerakan bibirnya ke samping, sebuah gerakan yang menandakan kalau gadis itu sedang kesal. "Benar! Data gue selalu akurat," ungkapnya.

Dikta mangut-mangut saja, pria itu sekarang menggerakan tubuhnya, berusaha untuk duduk karena merasa bosan terus merebahkan tubuhnya. Zoeya tentu saja tak diam, karena gadis itu sekarang membantunya.

"Eh, kempes. Bonyok lo sekarang udah pada kempes. Perawatan rumah sakit ini emang luar biasa. Tapi memarnya sih masih kelihatan," ucap Zoeya seraya membolak balikan wajah Dikta sesuka hatinya.

"Masih sakit, Zoya," papar Dikta seraya melepaskan tangan Zoeya dari wajahnya. Ayolah, gadis itu seperti tak punya hati saja.

Zoeya hanya menyengir kaku saja, kemudian dia kembali duduk di kursi seperti semula. "Lo masih ingat permintaan dari gue?" tanya Zoeya seraya memangku dagunya dengan tangan kanan yang sikunya menumpu pada brankar.

"Lo tanyain itu tiap pagi, siang, sore, sama malam, Zoya," balas Dikta terdengar jengah. "Tinggalin semua kebiasaan buruk gue kalau mau jadi pacar cewek sok high class kayak lo." Dan, ya, meski jengah, Dikta tetap mengucapkan permintaan dan syarat menjadi pacar Zoeya yang gadis itu ikrarkan.

Zoeya mengut-mangut. "Pintar," ucapnya seraya menjentikan jari tepat di depan wajah Dikta.

Melihat itu, Dikta menangkap tangan Zoeya, lalu tanpa ada angin tanpa ada hujan, pria itu memasukan jari Zoeya ke dalam mulutnya. Menggigitnya hingga sang empu berteriak kesakitan. Biadab sekali orang ini.

"Sakit Dikta!" sungut Zoeya dan langsung menarik tangannya begitu Dikta melepaskan gigitannya.

Bukannya sadar diri dan meminta maaf, Dikta malah menggidikan bahunya. "Biar sakit sama-sama," ucapnya sangat ringan.

Zoeya hanya mendesis saja, gadis itu sekarang berdiri, mengambil keresek yang semula ia bawa ke sini. Setelahnya dia kembali duduk di tempat.

Pintu di buka, beberapa orang tampak masuk ke dalam ruangan rawat Dikta.

"Hey, hey, hey, janganlah kalian berdua-duaan. Sesungguhnya yang ketiganya adalah syaiton."

Benar, yang datang adalah Alan dan beberapa temannya. Ages, Velo, dan Angkasa yang sudah sehat sempurna. Ya, meski lebam dan luka robekan masih tercetak sangat jelas, tapi setidaknya tenaganya sudah terisi penuh.

My Bad Neighbor (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang