Senja di Kebun Kapulaga

5 0 0
                                    



Surayut terus melamun. Bahkan ketika pantatnya yang menempel di atas kursi empuk itu telah terasa panas, ia tetap duduk tak bergeming. Kedipan matanya juga mengerjap lambat.

Di depannya ada segelas teh yang telah menjadi dingin, tak tersentuh oleh bibir keringnya. Seekor lalat mencecapnya, di ujung bibir gelas. Dan perempuan bertubuh kering itu sama sekali tak menghiraukan. Pikirannya terus berpijar, menyusuri lorong-lorong waktu yang telah ia lewati hingga detik ini.

Baru seminggu yang lalu Surayut menjanjikan Arjuan lanjut sekolah. Sepetak tanahnya akan ia jual untuk membiayai anak semata wayangnya itu kuliah kedokteran di kota, seperti janji mendiang suami yang mewarisi dua hektar tanaman kapu laga, yang kini ia jadikan sandaran untuk mencukupi kebutuhan hidup, mengobati stroke yang menggerogoti tubuhnya, serta untuk keperluan suami barunya.

Tanah itu dibeli dari jerih payah mereka berjualan hasil pertanian di pasar Donomulyo selama bertahun-tahun. Ketika harga kapulaga meledak, mendiang suami pertamanya dulu cepat-cepat menanaminya dengan kapulaga. Kini, bertahun-tahun lamanya setelah tumbuhan itu pertama kali ditanam, ia dapat menghasilkan uang berjuta- juta setiap kali panen.

Suaminya meninggal tatkala kapulaga itu baru mulai berbuah, dan Arjuan masih kanak-kanak kala itu. Dia menikah dua tahun berikutnya dengan seorang pemuda tampan. Hidupnya ia renda hari demi hari bersama lelaki bernama Harjo itu sembari membesarkan anaknya. Dan mimpi mendiang suaminya untuk menjadikan Arjuan sebagai dokter kian jadi nyata. Di sekolah, anak itu tak pernah luput dari prestasi.

Akan tetapi mimpi-mimpi untuk menyekolahkan anaknya itu harus pupus musnah beberapa hari yang lalu. Ketika Surayut ke ladang untuk mengirimi Arjuan makanan kesukaannya, ia temukan beberapa tanaman kapu laga roboh berantakan dengan jejak-jejak busa yang menempel di dedaunan dan bercecer di tanah basah.

Bau asap rokok melesat memenuhi rongga penciumannya. Matanya sibuk mencari. Lalu ia temukan batang rokok itu masih berasap di bawah pelepah pohon pisang dan batang kapulaga. Naluri keibuannya membuncah penuh kekhawatiran. Ia sibak daun-daun kapulaga yang rimbun, yang menampar-nampar wajah dan tubuh keringnya.

Pagi itu Arjuan pamit padanya untuk menengok saluran air yang mengairi dua hektar lahan kapu laga. Untuk sekedar mengairi, Surayut tak pernah menyuruh orang lain. Ketika tubuhnya masih sehat dulu, dia-lah yang mengerjakannya. Namun semenjak dia sakit-sakitan tak ada lagi kegiatan berarti yang dia lakukan di ladang itu.

Harjo, suami barunya itu hanya sesekali datang ke ladang untuk mengairi kapu laga. Tapi setelah beberapa tahun berselang, Harjo lebih sering menyuruh orang untuk melakukan pekerjaan ringan itu. Ia sendiri menghabiskan waktunya di warung kopi tengah pasar atau bertandang ke bar-bar. Dan sejak itulah Arjuan yang mengairi ladang kapu laga.

Puncak kekhawatiran itu dirasakan Surayut tatkala melihat sesosok tubuh tak bernyawa ditimbun dedaunan kapulaga. Tampak di depan matanya ada telapak tangan yang menyembul diantara dedaunan. Surayut terus mendekat. Lalu dadanya seketika terkesiap. Mayat itu adalah Arjuan, anak semata wayangnya. Mulut anaknya bersama suami pertama itu penuh busa. Sontak, Surayut berteriak-teriak histeris di tengah ladang kapulaga yang jauh dari pemukiman itu.

Arjuan kehilangan nyawanya hanya beberapa saat sebelum resmi menjadi mahasiswa. Surayut gelisah. Seolah hidupnya telah habis tak bersisa.

Arjuan keracunan obat hama, begitu orang-orang menduga. Surayut pun linglung kehilangan buah hatinya.

"Sudahlah. Yang pergi biarkanlah pergi. Tidak perlu terlaku disesali," desis suaminya.

Surayut melongong bengong.

Dan Sepatu pun MenertawakankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang