Dompet Kampret!!!

157 5 0
                                    


Matahari yang sedang bertengger di selangkangan langit itu bersinar dengan begitu liar. Beberapa helai awan tipis menari-nari di sekelilingnya. Siang itu, bukan main panasnya. Kaos tipis yang aku kenakan sudah basah sedari tadi, sejak beberapa langkah aku mendorong rombong bermuatan bakso ini. Dan karena panas ini pula mungkin yang membuat baksoku hanya dilirik saja oleh orang yang lewat perempatan ini.
Sambil mengipasi tubuhku yang gerah aku mengamati Sardi yang es degannya laris manis. Wajah temanku itu cerah sekali. Sudah banyak sekali pasangan muda-mudi yang membeli dagangannya, terhitung sejak dua jam yang lalu saat memulai pekerjaan kami ini. Dia menjual es degan dan aku menjual bakso. Rombong kami berjejer. Warna cetnya juga sama. Tapi, rejekinya jelas sangat tidak sama. Dagangannya sudah hampir habis, sedangkan aku, kesabarankulah yang justru sudah hampir habis. Bahkan dalam hitungan detik ke depan, dagangannya bisa kupastikan akan segera habis.
''Mar, aku duluan ya. Deganku sudah habis nih.''
Tuh, benarkan dugaanku? Dagangannya sudah habis dalam hitungan detik? Senyum tipis merekah dari celah bibirnya yang menghitam semenjak dilahirkan itu. Senyum itu, sungguh membuatku jengkel.
''Ya,'' jawabku sebal. Diam-diam aku telah iri pada temanku itu. Cemburu pada mujur nasibnya. Padahal dulu yang mengajak jualan di kota Malang ini adalah aku sendiri. Tapi, lancar jaya rejekinya membuatku sumpek. Betapa tidak? Jika kami sedang pulang kampung istriku sering membanding-bandingkan antara aku dengan Si Sardi itu? Jika ia sedang pulang, macam-macam yang ia beli. Sedangkan aku, macam-macam caraku ngeles mengapa tak membeli apapun untuk wanita yang telah kunikahi itu.
"Eh, bentar, dompetmu jatuh tuh!" Teriakku melihat sebuah dompet tergolek sendirian tidak jauh dari rombongnya.
Pemuda bertubuh legam itu menghentikan langkahnya. Setelah menoleh ke belakang, kemudian ia menggerayangi saku celana yang menempel di bokong trepes bak tripleknya itu.
''Dompetku masih ada, mungkin itu milik orang yang beli es tadi Mar. Kau simpan aja dulu, siapa tahu nanti yang punya ke sini lagi. Kalau uangnya banyak pasti kau akan dikasih imbalan,'' teriaknya. “Iya juga ya,” pikirku senang.
Pemuda yang baru menikah itu kemudian melangkah pergi meninggalkanku. Langkah lelaki mungil itu ringan seperti tiada beban. Padahal kalau dilihat dari depan tak ubahnya rombong yang berjalan sendiri. Tubuhnya telah dikorup si rombong.
''Kutunggu di kontrakan!'' teriaknya.
''Ya,'' jawabku pelan.
Aku memungut dompet kulit itu. Dalam remang sinar lampu di ujung senja itu aku membuka isinya. Tanganku tiba-tiba gemetar melihat betapa banyak isinya. Setelah aku hitung ternyata ada tiga juta rupiah. Aku segera ingat SMS istriku kemarin, dia minta ditransfer uang untuk beli seragam dan pendaftaran anakku masuk Playgroup, serta biaya tetek bengek menjelang bulan puasa. Pikiranku segera dibelit ragu. Antara mengambil isi dompet itu atau mengamankannya. Namun aku memang sedang sangat butuh. Aku harus mengambilnya. Anak istriku sedang menanti kirimanku di rumah. Toh, aku tidak mencuri. Maka, bulatlah keputusanku untuk mengambil uang itu. Dua juta uang yang aku ambil dari dompet tajir itu. Uang itu segera aku transfer ke rekening istriku.

Beberapa hari kemudian, setibanya dari keliling bersama rombong tercinta, jam dinding di kontrakan yang nempel di tembok itu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Aku membayangkan seandainya berada di rumah. Udara dingin yang menyergapku ini pasti mudah saja aku atasi dalam pelukan istriku. Tapi tidak, di sini aku sedang membanting tulang memeras keringat untuk menghidupinya. Aku harus belajar sabar tidur dalam pelukan sarung.
Kulihat Sardi sedang nonton TV.
''Tadi orang yang kehilangan dompet itu datang ke perempatan tempat aku mangkal biasanya itu. Kau baru saja meninggalkan perempatan saat dua orang itu bertanya padaku. Sepertinya mereka adalah pasangan suami istri. Wanita itu cantik sekali. Ah, andai dia istriku.''
Sardi memulai pembicaraan ketika aku sudah duduk manis di sampingnya, di depan TV. Hanya kami berdua penghuni kontrakan itu.
''Lalu kau ngomong apa,'' tanyaku datar, menahan rasa kawatir. ''Aku ngomong kau yang menyimpannya. Aku suruh dia datang besok siang. Uangnya ada berapa sih?''
''Ti.. tiga juta,'' kataku amat ragu.
''Ragu amat ngomong gitu aja? Sekarang uangnya masih utuh kan?'' tanyanya sambil mengganti channel TV.
Aku dilanda bingung mendapati pertanyaan sulit macam itu.
''Masih utuh,'' akhirnya jawabku. ''Yang satu juta maksudku,'' aku berkata dalam hati.
''Baguslah. Nantikan saja besok kau pasti berjumpa dengan wanita cantik itu, kata Si Sardi sambil terkekeh.
Perutku tiba-tiba terasa mules mendengar tawanya. 
"Dot.. Doot!!.
Ledakan jorok tiba-tiba menyalak dari lubang pantatnya. Padahal aku yang sedang mules, eh malah dia yang enak-enakan kentut. Terkekeh-kekehlah ia menertawakan kentutnya sendiri. "Kampret!!!" Serapahku. "Sorry brow! Masuk angin," katanya masih sambil mengumbar tawa.
"Sorry-sorry. Kamu sory, aku yang soro, sengitku. "Kalau kentut bukan masuk angin namanya, tapi keluar angin!! Pergi kau!!!"
Menyadari dosanya, Sardi pergi dari sampingku sambil terkentut-kentut. Tubuhnya segera hilang ditelan pintu WC, namun bokong gepengnya itu masih meninggalkan bau busuk di hidungku. Dan tanpa sengaja, racun kentut itu telah mengalihkan resahku karena terpikirkan uang di dompet tajir beberapa hari yang lalu.
Ketika malam telah berubah menjadi siang kembali, aku pun juga kembali bergelut dengan pekerjaanku, mengabdikan diri pada kehidupan. Lebih tepatnya mengapdi pada pekerjaan. Menghidupi wanita yang telah sudi menjadi istriku, dan tentunya juga untuk menghidupi anak yang dititipkan Tuhan kepada kami. Di balik rombong bakso itulah aku menyangga kehidupan rumah tanggaku.
Sesampainya di perempatan jalan aku duduk sebentar sembari melihat betapa dermawannya Tuhan membagi rejeki pada Sardi, temanku yang berwajah jelek namun bernasip baik itu. Aku kemudian melanjutkan perjalanan, berkeliling di jalanan kota demi menukar bola-bola daging itu dengan uang.
Walaupun hanya merangkak, namun akhirnya bola pijar di langit bernama matahari itu sampai juga di garis cakrawala. Peraduan abadinya. Seperti biasanya, saat senja riuh dengan suara adzan ini, aku menepikan rombong kehidupanku di pelataran masjid untuk kemudian ikut jamaah shalat. Jelek-jelek begini walaupun tidak taat-taat amat aku masih rajin solat.  Seperti yang selalu dinasehatkan oleh bapakku kala aku masih kecil dulu.
Selepas shalat magrib aku duduk bersantai di serambi masjid sambil menikmati udara senja. Sembribit angin yang membelai wajahku memberikan ketenangan.
"Kau Mas Mardi temannya Mas Sardi Es Degan?" tiba-tiba sebuah suara menyadarkanku dari alam lamunan.
"I-iya," jawabku terbata. Rasa kaget menyentakku.
"Dompet saya mana?"
“Dompet apa?”
"Jangan pura-pura tidak tahu. Kata tukang es itu kau yang ngambil. Mana sekarang dompetnya?"
"Oh itu?" Aku segera mengambil dompet itu dari tas kecilku. Tanganku sudah mulai gemetar.
Dompet itu sudah aku serahkan. Dia segera sibuk mengecek uang dalam dompet itu.
"Mana yang dua juta?" tanyanya kasar. Tangannya sibuk mengacak-acak isi dompet itu.
"Sa- saya nggak tahu Mas. Dari kemarin memang segitu. Sumprit!!!" Aku membela diri.
"Apa!!!" teriak lelaki itu tak mau kalah kenceng. Matanya melotot ke arahku seperti mau copot. "Mana yang dua juta?"
Aku semakin gemetar.
"Maaf Mas. Yang dua juta aku pinjam dulu untuk biaya pendaftaran sekolah anakku."
Lelaki itu mendekat padaku. Tangannya meraih kerah kaosku. Aku semakin ketakutan. Sebuah pukulan keras kemudian bersarang di wajahku. Menyadari bahwa aku yang salah, aku diam saja tidak membalas pukulannya. Maka terjadilah bulan-bulanan itu. Orang-orang yang telah selesai shalat berkerumun menyaksikan keributan itu.
"Ada apa ini?" tanya seorang lelaki.
"Dia nyopet dompetku Pak," jawab lelaki itu.
"Benarkah itu?" tanya lelaki itu lagi.
"Iya. ini buktinya dia ketakutan."
Orang-orang itu kemudian tersulut amarahnya ketika mengira aku copet. Oh Tuhan, mungkin aku memang sudah menjadi copet??? Tak berapa lama kemudian mereka, jamaah solat magrib itu ikut menyumbangkan pukulannya kepadaku secara cuma-cuma.
Tubuhku telah terkulai di lantai. Darah segar mengalir dari celah bibirku. Kulihat lelaki itu mengambil uang di dompetku. Hasil kerja hampir sebulan ini. Kemudian ia pergi menuju mobilnya bersama seorang wanita yang sangat cantik, mungkin dia yang diceritakan Sardi kemarin. Namun, bagiku wanita itu tak lebih dari seorang vampir yang telah menghisab darahku.
HP dalam saku celanaku bergetar. Dengan susah payah aku menggerakkan tanganku untuk mengambilnya. Setelah kubuka ternyata Lusi, istriku.
“Mas, kpn plg? Tiap hari ptugas bank itu dtg mnagih utang..."
  “Dompet kampret!!!” hatiku berteriak lantang.
Beberapa detik kemudian senja yang berkuasa di bumiku berpijak itu segera menghitamkan penglihatanku. Semuanya kemudian berubah menjadi gelap nan pekat. Segelap hati dan hidupku.
 



Donomulyo, 23 Mei 2015






Dan Sepatu pun MenertawakankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang