3 hari sepulang dari Simeulue.
Sebenarnya aku bisa saja menghabiskan roti bakar ini dalam sekali-dua gigitan. Tapi aku tidak ingin melakukannya. Di depanku ada seorang gadis yang sendu wajahnya seakan melarangku melakukannya. Ketika aku lupa bagaimana cara memulai pembicaraan seperti saat ini, memakan roti bakar adalah cara yang tepat untuk menghindari tatapan matanya. Dia terlihat murung, dan aku masih enggan untuk bertanya kenapa. Aku tidak ingin terlihat terlalu mengkhawatirkannya. Mungkin ini cara terbaikku memuasi dendam. Aku pernah bersusah payah melupakannya selama tinggal di pedalaman. Dan aku tidak ingin usaha itu sia -sia hanya karena melihat mendung di wajahnya. Dia tidak tahu bagaimana aku melewati hari -hariku di sana. Lalu, haruskah aku menanyakan mendung yang ada di wajahnya itu?
* * *
Bahkan aku menikmati terengah-engahnya nafasku. Aku tetap berlari walau dua siswaku berteriak memanggil namaku. Teriakan mereka kuanggap suara deburan ombak belaka. Aku harus terus berlari. Semakin cepat aku berlari, semakin jauh aku meninggalkan masa lalu. Semakin aku melupakan wajah pemilik masa lalu itu, semakin aku bisa menyembuhkan luka di hatiku.
Sayangnya, wajah itu tetap saja mengikutiku. Di birunya langit yang telanjang tanpa selembar awan pun kulihat jelas senyumnya. Bahkan di tengah deburan ombak kudengar pula suaranya. Ia seolah menertawakan betapa tak berdayanya aku tanpa dirinya. Merasa semua ini sia -sia aku mengajak dua muridku itu pulang. Kami berjalan pelan menyusuri pantai tepian samudra hindia di tengah guyuran sinar mentari yang mulai menguning.
"Bapak mau jogging apa ngejar maling sih?" tanya Sani yang hanya kujawab dengan deraian tawa.
"Pak Rido itu sedang ngejar maling yang mencuri hatinya, San," sahut Sardin. Kami tergelak bersama. Suara ombak menelan tawa kami.
Di tengah perjalanan kulihat seorang lelaki sedang menata jaring di samping sebuah sampan mungil. Melihat orang menjaring tentu sudah menjadi pemandangan biasa di pulau ini. Akan tetapi ada yang menarik perhatianku dari pemandangan itu. Kulihat di samping lelaki yang sedang menata jaring itu ada seorang bocah yang sedang membaca buku. Di bawah siluet senja, pemandanghan itu begitu menggodaku. Aku ingin mendekatinya tapi kami berlawanan arah dan sebentar lagi sudah masuk waktu magrib. Kami terus berlalu.
"Namanya Sardiman Pak," celetuk Sani seperti mengerti pikiranku. "Dia anak yang pintar. Tapi tidak mau melanjutkan sekolah karena ibunya sakit -sakitan. Ayahnya telah meninggal beberapa tahun yang lalu."
"yang menata jaring itu abangnya. Dia yang melarang Diman sekolah," Sardin menambahi. Aku semakin penasaran. "Dia jago pidato lho Pak. Suaranya juga bagus. Langganan juara MTQ di Simeulue saat masih SMP dulu."
"Bisa kalian antar aku ke rumahnya?" tanyaku.
"Dai, tapi te'en dumaar."1)
"Tarimo kasih nau Din."2)
* * *
"Aku mengajakmu datang kemari tidak untuk memaksamu kembali padaku. Aku hanya ingin menyampaikan surat ini dari seorang temanku di Simeulue. Dia meminta kau membacanya di depanku." Aku kembali menyeruput coklat jahe untuk membuang grogi.
"Bagaimana mungkin seorang yang tak pernah kukenal mengirimiku surat?" tanyanya penuh canggung. Aku mulai bercerita untuk memberinya jawaban.
* * *
"Bagaimana? Apa kamu sudah berhasil melupakan gadismu itu?" Tanya Pak Berayen sambil terkekeh. Bujang asli Simeulue itu adalah teman serumahku. Yang kumaksud dengan rumah sebenarnya adalah laboratorium yang belum terpakai. Rumah dinas masih belum jadi.
"Masak apa Pak?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Ditanya malah balik tanya. Ayo makan, ini ikan sure-nya sudah matang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Dan Sepatu pun Menertawakanku
Short StoryBerisi tentang cerpen-cerpen yang pernah kutulis, kebanyakan pernah dimuat oleh duniasantri.co. "Dan Sepatu pun Menertawakanku" merupakan cerpen yang dipakai sebagai nama buku antologi cerpen yang diterbitkan oleh duniasantri.co. Selamat membaca...