Kisah Seorang Kurir

28 2 0
                                    

Ngeri-ngeri sedap musim pandemi begini harus berkeliaran keliling kota naik angkot. Walau mukaku sudah kututup masker dan kedua telapak tanganku selalu kusemprot handsanitizer setiap kali menyentuh sesuatu, tapi rasa was-was masih juga menghampiri. Apalagi setiap hari ada berita penambahan positif corona di kota ini. Penumpang angkot pun semakin sedikit. Mungkin hanya mereka yang terpaksa yang mau naik kendaraan umum seperti ini. Aku sendiri terpaksa harus naik angkot untuk mengantar pesanan nasi kotak di sebuah pabrik yang baru buka di masa new normal ini. Sedangkan mobil butut bapak tengah dirawat di instalasi bengkel daruratnya, di samping rumah.
Ada dua orang perempuan yang tengah menggunakan jasa angkot bersamaku. Keduanya duduk terpisah dan sama-sama sedang memainkan HP. Sepertinya mereka emak-emak muda yang baru belanja kebutuhan rumah tangga. Sekilas saja aku memandang mereka. Setelah itu aku kembali mengecek kondisi nasi kotak pelanggan ibuku. Hmmm. Tak boleh ada lauk yang tumpah atau bergeser dari posisinya. Jika aku tidak ingin dicaci para karyawan pabrik itu.
Suasana kota di siang hari yang terik membuatku harus membuka kaca jendela lebar-lebar. Gerah sekali udara di angkot ini. Syukurnya, tidak begitu banyak ada polusi udara di masa seperti ini. Lalu lalang kendaraan belum benar-benar padat seperti sebelum ada pandemi. Ketika sopir angkot mulai ngetem di perempatan jalan, kupuasi mataku untuk melihat hiruk pikuk di era new normal yang mulai berangsur-angsur pulih. Tampak dua orang driver ojol berjaket hijau tengah bercengkerama sembari ngopi di tepi jalan. Canda tawa mewarnai para pencari nafkah itu menunggu penumpang. Lalu datanglah seorang driver ojol lain membawa muka kusutnya. Mungkin mereka akan segera berbagi kisah di warkop pinggir jalan itu.
Mataku terus menyapu keramaian jalanan. Beralih dari satu kendaraan ke kendaraan lainnya.
Lalu datang sepeda motor matik tepat di sebelah angkotku. Jendela angkot kututup sedikit. Dan mataku melirik gadis seksi yang tengah dibonceng lelaki di sadel motor matik itu. Sepertinya enak sekali naik motor bersama gadis pujaan hati. Sayang sekali, gadis-gadis pujaanku di kampus tak ada yang memujaku, sama sekali. Kulirik lagi dua sejoli itu. Kukira mereka sedang membicarakan sesuatu masalah. Si lelaki sekali-sekali menoleh ke belakang, memuntahkan kata-kata pedas.
"Dia itu temen kelompok tugasku! Harus berapa kali aku bilang gitu padamu?" tegas si lelaki.
"Bilang aja dia selingkuhanmu. Kemarin dia DM kamu. Aku tahu ada chat yang kamu hapus. Jujur saja! Tak usah kau tutup-tutupi!" teriak si cewek.
Aku semakin tertarik mengikuti cekcok mereka. Ada adegan konflik gratis di depan mataku.
"Kalau sama aku kamu tak percaya, kamu mau percaya sama siapa lagi?" tanya si lelaki.
"Percaya padamu? Syirik tau! Aku hanya percaya sama Allah!" dengus si cewek penuh kekesalan. Ternyata, cewek berpakaian seksi seperti itu mengaku hanya percaya pada Allah. Masak aku yang tiap hari salat harus percaya sama nasi kotak untuk memenuhi kebutuhan hidupku? Tapi jawaban cewek itu kuakui sangat jitu. Terbukti, si lelaki tak berkutik lagi. Dan cewek itu pun memaksa turun.
"Kemana?" tanya si lelaki.
"Pergi! Kita putus saat ini juga!"
Mataku mendelik melihat adegan itu. Si cewek melangkah ke belakang. Kuikuti langkah kakinya dengan pandangan mataku. Dan, ternyata dia menuju angkot yang kunaiki. Kulihat si sopir tersenyum. Begitu lampu hijau menyala angkot pun kembali tancap gas menyusuri kota, menyisir rezeki. Tapi ternyata si lelaki itu sudah ada di mulut pintu angkot, menahan si sopir. Tangannya meraih tangan cewek itu.
"Kenapa kamu sebegitu pemarah? Kita bisa bicara baik-baik di luar angkot," protes lelaki itu.
"Sekalian naik Mas? Keburu siang ini," tukas si sopir.
Aku terus memperhatikan adegan agak dewasa ini.
"Turun! Angkot sudah mau jalan! Jangan ganggu orang mau cari rezeki!" pekik cewek seksi.
Muka lelaki tampan itu memerah. Sebenarnya aku tidak benar-benar tahu, dia tampan atau hanya seperti aku. Setengah mukanya ditutupi masker. Tapi, harusnya dia tampan sekali melihat ceweknya seperti itu. Apalagi motor matiknya sudah terlihat kusam. Kalau dia juga tidak tampan, apa yang membuat cewek itu tertarik padanya? Sepertinya aku harus belajar cara mengambil hati pada lelaki itu.
"Aku bisa jelasin semuanya. Tapi kamu harus turun dulu, ya?" rayu si lelaki.
Kuperhatikan betul kalimat rayuan itu. Kalimat yang sangat fenomenal diungkapkan seorang lelaki tatkala meredam kemarahan perempuannya. Ternyata kalimat itu masih layak pakai. Aku harus mengambil pelajaran dari lelaki itu. Dia bisa mengambil hati banyak wanita. Dan aku akan mempelajari ucapannya ketika meredam konflik. Suatu saat sepertinya aku akan butuh juga kalimat yang seperti itu.
"Aku sudah cukup paham, tak butuh lagi penjelasanmu. Silahkan turun. Pak, silahkan jalan," perintahnya pada sopir di depannya. Angkot pun bergerak kembali. Dan lelaki inspiratif itu turun. Kulihat dia berdiri mematung memandang tak berkedip ke arah angkot yang membawa pergi wanita yang dilukainya.
Aku berdehem. Tapi cewek itu sama sekali tak melirikku. Aku terus berdehem dengan volume agak kunaikkan. Malang sekali, justru emak-emak itulah yang memperhatikanku.
"Kenapa Mas? Mau batuk? Ada keluarga atau tetangga yang PDP?  Atau bahkan ada yang sudah confirm corona mungkin?" tanya wanita di sebelahku mendesak. Seketika kuperhatikan dia. Ada HP butut di tangannya. Dia memakai gelang karet bermasker lusuh dan miring pula memasangnya.
Aku mendesah jengah sebelum menjawabnya.
"Aku positif, Bu," tukasku, dengan nada emosi.
Seketika penumpang angkot itu panik. Bahkan si sopir mengerem laju angkotnya. Dan, cewek itu pun mulai memperhatikanku, dengan raut takut plus terkejut.
"Serius Mas?" Tanya cewek itu.
Aku terbahak-bahak dalam hati. Kutata kalimat untuk menjawab pertanyaan itu.
"Iya. Memangnya kamu mau kuajak serius?" gombalku. Kukira, menggombal adalah salah satu cara menggaet hati wanita yang paling ampuh.
"Apaan sih!" desisnya, dengan raut jijik. Lalu hatiku mencelos.
Ibu-ibu itu mendelik ke arahku.
"Aku mengajak serius," ucapku sambil tertawa.
Lagi-lagi sial, dia melirik tajam padaku.
"Yang bener aja Mas. Kalau kamu positif corona sebaiknya segera turun dari angkot ini!" lantang wanita bergelang karet memerintahku.
Aku diam sejenak, meramu jawaban.
"Sabar dulu, ibu-ibu. Maksudku tadi begini. Aku itu selalu positif. Pikiranku selalu positif, maksudku. Karena pikiran negatif hanya akan merusak sistem imun kita. Kalau imun kita buruk, kesehatan tubuh kita juga akan ikut memburuk. Nah, kalau sudah seperti itu penyakit apa pun akan mudah datang. Termasuk corona itu. Nah, karena saya selalu berpikiran positif, maka saya pun negatif corona. Alhamdulillah," paparku panjang lebar.
"Oalah Mas-Mas. Mbok yo bilang dari tadi," ucap wanita bergelang karet dengan bibir maju beberapa senti.
Dan setelah kulirik, sepertinya cewek itu sedang menahan tawa. Angkot pun terus melaju, menyusuri jalan yang belum begitu ramai. Ruko-ruko masih banyak yang tutup. Walau pemerintah memang telah menerapkan kebijakan new normal, tapi situasi sebenarnya masih belum normal. Jumlah pengidap corona pun terus melaju pesat, karena masyarakat sangat sembrono dalam menjaga kesehatannya, sama dengan pemerintahnya.
"Mbak," aku memanggil cewek seksi.
"Ada apa Mas?" dia pun menjawab, menghentikan kesibukannya memainkan HP.
"Mau nasi kotak?" tanyaku. Kukira dia tengah lapar setelah tadi sempat emosi pada lelakinya itu. Tadi ibu menyisakan satu kotak, untuk jaga-jaga apabila ada yang rusak, atau kalau aku didera lapar di perjalanan.
"Apa Mas?" sepertinya dia tak mendengar kalimatku. Memang aku mendadak grogi, suaraku menjadi tak begitu jelas.
"Mbak belum sarapan kan? Makanlah nasi ini. Ayam geprek istimewa buatan ibuku. Makanlah, kamu pasti lelah dan lapar setelah tadi berantem dengan si doi."
Tak menjawab, dan cewek itu terus mendelik ke arahku. Apakah dia tertarik? Apakah perasaan kami sama? Semoga saja. Amin. Alangkah bahagianya ibuku nanti jika melihatku pulang membawa menantu. Hmmm.
"Norak!" ucapnya kasar, tanpa melihatku. Mungkin dia membaca pesan WA dari mantannya tadi. Kupastikan lelaki itu menyesal dengan tindakan menduanya. Gadis seindah ini. Hmmm.
Aku menggeser duduk. Mendekat ke arahnya.
"Aku tahu apa yang sedang kamu rasa Mbak. Hidup memang begini. Selalu ada tangis dan tawa. Bahagia dan derita. Semua ada untuk melengkapi hidup kita. Hmmm. Dan barang kali, ini hanya pradugaku. Hmm. Barangkali kita diciptakan-Nya untuk saling melengkapi. Barangkali kamu tercipta untuk melengkapi hidupku, dan sebaliknya.
"Lelaki norak!" desisnya lagi, sambil memelototi HP.
"Sebagian lelaki memang seperti itu Mbak. Tapi tolong jangan samakan aku dengannya. Tak sama. Aku pasti setia. Memang aku belum mapan. Dan memang tekatku akan mapan setelah menikah kelak. Saat ini aku memang Cuma menjadi kurir ayam geprek ibuku. Tapi, kelak perusahaan itu akan diwariskannya padaku. Pada kita," ucapku penuh keyakinan.  Semoga dia juga yakin padaku. Amin.
"Kamu norak Mas!" ucap gadis itu. Wajahnya menghadapku penuh api amarah. Hmmm. Akan kucoba meredakan amarah itu. Tapi bagaimana caranya?
"Mbak berbicara dengan?" gumamku. Bingung.
"Kamu. Punya mata nggak sih!"
"Punya," jawabku cepat.
"Telinga?"
"Punya juga," jawabku lagi, sambil memegang telingaku.
"Perasaan?"
Aku diam berpikir.
"Tak ada," tukasku sekenanya.
"Kemana?"
"Kamu curi!" tegas aku berkata.
Cewek itu lantas diam. Aku pun juga terdiam. Sedangkan sopir dan dua orang ibu-ibu tertawa cekikikan. Entah apa maksudnya.
"Belokan depan turun Pak," pinta cewek seksi.
Dan benar saja. Dia memang turun di sebuah tikungan. Kuambilkan satu kotak ayam geprek tadi.
"Ambillah Mbak," pintaku ikhlas.
"Sorry ya. Aku udah dijemput pacar baruku makan siang di KFC!"
Aku menelan ludah. Tubuhku pun lemas seketika.
Kuikuti cewek itu dengan kedua belah mataku. Begitu turun, dia langsung disambut seorang lelaki berpakaian rapi, tapi sepertinya tak setampan yang tadi. Mereka kemudian masuk mobil yang menurutku sangat bagus. Mobil angkot berhenti untuk ngetem lagi. Mobil itu kemudian beranjak. Melalui jendela yang terbuka kulihat cewek itu melambai ke arahku sambil tertawa. Sial!

***

RSPN, Kamis, 9 Juli 2020





*Cerpen ini sudah pernah dimuat oleh Duniasantri.co

Dan Sepatu pun MenertawakankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang