Seorang Perawat yang Mengusik Masa Lalu

10 1 0
                                    


Terkantuk-kantuk mataku menatap tabung infus yang menetes lambat. Kurebahkan kepala ini di samping tubuh ibuku yang terkulai lemah. Semenjak tadi sebenarnya telah kupejamkan mataku. Tapi rasa cemas dan khawatir atas kesehatan ibu yang kian memburuk membuatku tak bisa tidur.

Kulihat lagi tabung infus itu, sebentar lagi minta diganti. Tetes demi tetes tak luput dari perhatianku. Perawat tadi memintaku untuk segera memberitahu jika infus habis. Maka aku tak boleh tidur. Kupaksa mataku supaya terbuka lebar. Detik demi detik berlalu, dan infus itu belum juga habis. Dan kemudian rasa pusing mulai menyergap kepalaku. Rasa kantuk juga ikut-ikutan menyergap mataku.

"Lho Mas! Sudah dibilangin segera lapor kalau cairan infus habis, malah tidur!"

Suara heboh seorang perawat membuyarkan kantukku. Ternyata aku ketiduran. Kulihat perawat itu telah berlari keluar. Tubuhku mendadak lemas menyadari kealpaanku. Memang benar ucapannya. Kulihat tabung infus telah kosong dan kisut. Tetesannya telah berhenti. Aku berdiri mendekat, mengecek kondisi ibu. Dadaku berdebar cemas. Syukurlah, kulihat mata ibuku masih terbuka dengan sesekali kedipan mata. Tapi dia tak menyahut panggilanku. Kubuka maskernya. Bibirnya telah kebiru-biruan. Dan tiba- tiba pintu berderit. Perawat itu masuk kembali membawa tabung infus baru.

"Maaf, ketiduran, Mbak," ucapku penuh penyesalan.

Perawat itu melihatku sekilas. "Harusnya minta maaf pada ibu, Mas. Ibumu, maksudku. Bukan aku," perempuan itu mengomel lagi.

Ah, kenapa tiba-tiba omelan perawat itu terdengar merdu di telingaku? Lalu timbul pertanyaan di kepalaku. Kapan aku akan menikah? Rasanya akan indah jika hari-hariku sering dihiasi omelan seorang istri. Jika dia marah padaku, aku akan mencubit hidungnya. Suatu saat jika aku sudah menikah nanti. Hmm... syahdu sekali sepertinya. Tensi darah ibuku pun mungkin akan turun jika aku telah punya istri. Sayang sekali, mencari istri tak semudah mencari warung kopi yang bertebaran di setiap penjuru negeri ini.

"Iya Mbak. Saya sudah dimaafkan ibu. Bahkan sebelum saya sendiri meminta maaf," aku berbicara sekenanya. Ibuku melengos mendengar selorohku.

"Coba diingat-ingat. Apa iya kesalahan Mas sudah dimaafkan semua oleh ibu," sahutnya sambil membenahi letak selimut yang mulai awut-awutan.

"Darah tinggi bisa juga karena pengaruh pikiran lho," perempuan itu bicara lagi. Tangannya cekatan mengganti infus. Lalu suara lembutnya menanyai keluhan apa yang dirasakan ibuku.

Dari tempatku duduk, kuperhatikan terus gerakan perawat itu. Hmmm. Mungkin ini alasannya ibu dulu ngotot sekali menjodohkanku dengan anak temannya yang seorang perawat.

Masih ingat betul kata-kata ibuku waktu itu. "Lihat Jihan itu Mus, sudah cantik, santri, perawat lagi. Kau tahu kelebihannya perawat? Orang lain saja dirawat, apalagi orang tuanya? Kau tahu kelebihannya santri? Tuhan yang tak kelihatan saja dicintai dan ditaati, apalagi dirimu yang tampak gagah perkasa ini?"

Ah, ibu. Kamu memang cerewet untuk hal yang kamu anggap baik, terlebih itu untuk anak semata wayangmu ini. Tapi apa daya, tidak ada Jihan di hatiku. Kurasa Jihan terlalu pemalu, terlalu feminis. Padahal aku menginginkan sosok istri yang bisa kuajak bicara, diskusi, bahkan debat sekalipun. Rumah tanggaku akan tampak hidup dengan adanya perempuan yang kritis, dan kriteria itu ada pada Reina. Jihan? Dia terlalu lembut, penurut, hidup bersamanya akan terasa hampa, pikirku waktu itu.

Sekarang?

Setelah Reina, kekasihku, itu ditolak menjadi menantu oleh ibuku beberapa tahun yang lalu, hatiku belum lagi pernah luluh di hadapan tatapan mata seorang wanita. Mungkin hatiku telah berubah tandus. Tak cukup mampu menumbuhkan tunas-tunas cinta yang baru.

Dan Sepatu pun MenertawakankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang