Berkas -Berkas Masa Lalu

992 29 2
                                    

Berkas-Berkas Masa Lalu

Udara yang tercemari polusi menciptakan gerah di rumah kontrakan sempit ini. Kuhidupkan kipas angin kuat-kuat. Kertas lamaran kerja yang baru ku- print bertebaran di lantai. Menciptakan sebal di ubun-ubun. Setelah kukurangi kecepatan kipas itu kemudian kutata kembali kertas-kertas itu.
Setelah mengaduk-aduk isi lemari perbendaharaan buku semasa kuliahku itu akhirnya kutemukan juga ijazahku. Segebok buku bersampulkan debu kubersihkan pelan-pelan. Kenangan yang kuperoleh dari tumpukan berkas ijazah semenjak SD itu mengambang dalam ingatan. Pelan-pelan menurunkan emosiku. Bahkan gerah setelah berjalan kaki menyusuri pertokoan demi ngeprint surat lamaran kerja itu perlahan-lahan memudar.
Kenangan-kenangan itu menjuntai dalam ingatan. Aku tersenyum geli menatap foto jaman SD-ku. Kemudian mataku beralih menatap Sari yang terlelap memeluk guling erat. Benar-benar gadis mungil itu adalah titisanku.
Aku beralih mengamati foto jaman SMP-ku.
Teringat olehku tentang masa ketika masih berseragam putih- biru itu. Teringat bagaimana keranjingannya aku melumat buku.
"Jangan ganggu aku terus Har!! Aku mau belajar!!" teriakku pada Haryo ketika itu.
"Nanti saja Belajarnya Nin!" balas cowok kuning langsat itu. Dia adalah salah satu teman lelaki yang rajin menggodaku, sekaligus yang rajin memuji serta memperhatikanku.
"Kenapa sih kamu suka banget menggangguku? Salahku apa?" teriakku jengkel.
"Salahmu adalah kamu cantik,.dan tambah cantik kalau kamu sedang marah," ucap Haryo sambil menatapku lekat. Buku paket Matematikaku sudah berhasil direbutnya. Dan sanjungannya itu membuatku salah tingkah. Marah itu menguar entah ke mana. Akhirnya aku memilih untuk mencari buku paket lain. Takut semakin tergoda.
Kipas angin di sudut kamar masih terus mendesis. Menoleh ke sana-ke mari menyebarkan kesejukan. Menggerakkan korden jendela dan bahkan jilbabku. Kecepatan kipas angin itu kembali kukurangi.
Entah kenapa semangatku untuk segera menemukan ijazahku itu tiba-tiba mengendur. Tanganku kembali mengobrak-abrik foto-foto semasa sekolah. Foto hitam putih itu menghadirkan hitam-putihnya masa laluku. Tiba-tiba mata berlapis kaca mata minus tigaku menangkap selembar foto seorang anak lelaki tembem. Keningku mengkerut demi menemukan potongan masa lalu itu. "Siapakah cowok ini?"
Kubalik foto itu. Dan kutemukan sebaris tulisan tangan bak benang kusut tertera di sana.
Fajar, calon suamimu
Tak kuasa aku menahan senyum. Foto itu aku terima dengan dongkol. Tak pernah kulihat hingga hari ini. Belasan tahun kemudian.
"Kalau nggak mau jadi pacarku kamu harus mau memberikan aku satu fotomu biar aku bisa menghadirkanmu dalam ketiadaanmu, kelak. Dan aku ikhlas memberimu fatoku ini." Kuberikan foto hitam-putihku. Dan foto pemberiannya segera kuselipkan di kantong sampul ijazahku. Setelah meninggalkannya beberapa langkah dia masih sempat mengucap "I love You forever" kencang sekali. Wajahku menebal menahan malu. Ada ibuku yang menghadiri wisudaku berjalan di sampingku. Ada banyak teman dan orang tua yang kemudian cekikikan melihat tingkah Fajar. Suit-suitan temanku tak kalah riuh dengan tepuk tangan atas keberhasilanku menjadi lulusan terbaik SMP-ku beberapa jam yang lalu. Sudah seperti apa lelaki itu sekarang?
Kulihat wajahku di cermin. "Aku belum tua". Sampai kini pun aku masih sering mendengar pujian "cantik" dari para tetangga. Bahkan rekan-rekan kerja suamiku sering menggodaku ketika bertandang ke rumah. Terukir senyum simpul di ujung bibirku.
Ketika kuambil foto yang lain, kutemukan foto Haryo. Kenangan-kenangan itu segera menyelinap dalam ingatan.
"Kita tukeran Foto ya Nin, siapa tahu nanti ketika melihat fotoku kamu berubah pikiran. Hatiku akan selalu terbuka lebar untukmu," ucapnya getir. Setelah kami saling tukar foto dia bergegas menyusul ibunya. Langkah lelaki itu terus berayun di tengah ramainya orang tua wisudawan. Meninggalkanku mematung seorang diri. "Suatu hari nanti perasaan cintaku ini padamu pasti akan pudar. Lapuk dimakan jarak dan waktu. Aku harus mengesampingkan perasaan ini. Tak mungkin aku bisa hidup hanya kau suapi dengan cintamu. Lihatlah, membeli sepatu saja kau tak mampu, bagaimana mungkin kau akan mampu menghidupiku? Biarlah, biar kubunuh perasaan ini. Aku masih ingin menggapai mimpiku. Menyambung asa untuk bisa melanjutkan kuliah. Aku ingin balas dendam pada kemiskinan yang mencekik keluargaku ini. Aku tak percaya hanya dengan cinta bisa membuat manusia bahagia. Aku merindukan kemapanan. Maafkan aku. Aku memilih masa depanku. Aku tak ingin berjudi dengan nasib dan menjadikan cinta sebagai taruhannya."
Itu perbincangan batinku tujuh tahun yang lalu. Masa putih abu-abu itu telah lama berlalu. Kini, ketika aku kembali menatap fotonya, mengingat pertemuan dengannya kemarin, melihat kesuksesannya kini, penyesalan itu mengaburkan akal sehatku. Aku masih layak untuk bisa bahagia dengan kemapanan dan ketampanannya bukan? Cinta? Ah, bukankah aku sudah biasa bersandiwara dengannya?
Andaikan dari dulu aku menerima cintanya, mungkin sudah lama aku bisa bahagia. Keangkuhanku menolak cintanya berbuah nestapa. Betapa misteri hidup benar-benar tidak bisa ditebak. Menjungkir-balikkan keadaan seenaknya.
Entah kenapa, hari ini aku ingin memuasi masa laluku melalui foto-foto ini. Berikutnya, kutemukan selembar fotoku. Foto berwarna yang kemudian aku gunakan untuk melamar pekerjaan itu. Setelah lulus SMA aku kerja di sebuah foto kopian dekat sebuah kampus favorit. Hatiku menangis tiap kali melihat mahasiswa-mahasiswa lalu-lalang sambil bersenda gurau. Kenapa hidupku tak seberuntung mereka? aku memutar otak untuk bisa lanjut kuliah. Semangatku menyala-nyala tak terkendali.
Aku paham betul apa maksud lirikannya, perhatiannya, sanjungannya. Aku tahu bosku itu telah jatuh hati padaku. Aku tak ingin menyia-nyiakannya. Kurasa tak ada salahnya aku juga jatuh hati padanya. Dia masih muda. Tidak kalah jauh ketampanannya dengan Haryo. Dan menang jauh darinya soal materi. Singkat cerita kami kemudian jadian. Hari-hariku menjadi lebih hidup. Semangat menatap masa depanku menggelora. Aku remaja, aku layak untuk menikmati kehidupanku ini.
Setahun kemudian kami menikah. Aku lanjut kuliah. Hari-hariku menjadi semakin sibuk. Berkutat dengan buku. Kerja kelompok. Melayani suamiku. Duniaku menjadi lebih sempit.
Di sisi lain aku semakin menikmati dunia baruku. Teman cowokku banyak. Mereka kaya-kaya. Tidak sedikit yang naksir padaku. Kucandai mereka dengan menawarinya menjadi maduku. Konyolnya mereka banyak yang mau. Mau-maunya mereka mencicipi sisa-sisa suamiku? Dasar lelaki!
Setelah puas dengan koleksi foto jaman sekolahku aku penasaran dengan ijazah suamiku. Kubuka ijazahnya yang tertata rapi mulai bangku SD sampai SMA. Prestasinya lumayan, selalu sepuluh besar di kelas. Foto-fotonya tak luput dari mataku. Kenapa menatapnya tak semenggelora ketika aku menatap foto Haryo tadi? Apa karena kini dia sudah terlihat lebih tua dari Haryo? Apa karena usahanya yang bangkrut tak mampu memberiku bahagia seperti dulu lagi?
Di akhir perjalanan kuliahku persaingan bisnis foto kopian semakin menggila. Hampir di setiap sudut gang ada foto kopi. Suamiku berinisiatif merambah ke bisnis printing. Tabungan kami ditukar dengan beberapa set komputer beserta printernya. Sialnya, belum ada setahun terpakai komputer-komputer itu rusak. Sedangkan keuntungannya sudah terpakai untuk biaya kuliahku. Keadaan ekonomi keluarga kami kian memburuk. Puncaknya, mesin-mesin foto kopi itu terjual demi menyelesaikan kuliahku serta untuk biaya hidup sehari-hari yang kian mencekik. Apalagi, sudah ada Sari, buah cinta kami.
Kipas angin masih mendesis pelan. Menciptakan kesejukan di tengah gerahnya udara metropolitan. Aku masih belum puas mengobrak-abrik berkas-berkas suamiku. Kutemukan fotonya saat masih kecil bersama anggota keluarganya. Ayah dan ibu mertuaku ketika masih muda. Suamiku memegang adik iparku. Potret keluarga makmur yang besar melalui keuletan usaha. Aku? Aku adalah seorang putri sulung dari lima bersaudara sebuah keluarga yang tertatih-tatih melawan kemiskinan. Seringkali lapar di tengah hamparan tegalan yang menganga oleh kemarau. Sebuah anugerah aku bisa menjadi keluarga pengusaha itu. Dan kini, salahkah aku jika hendak keluar dari keluarga itu untuk mencari kehidupan yang lebih baik?
Kipas angin masih terus mendesis. Kutoleh Sari yang masih terlelap. Kupandangi putriku itu lekat-lekat.
Ijazah yang kucari sudah kutemukan, tapi entah mengapa aku masih ingin menengok masa lalu suamiku. Di balik plastik berisikan foto itu kutemukan kertas-kertas lusuh. Kuitansi pelunasan sewa perlengkapan pesta pernikahanku. Pesta pernikahan di rumahku memang terselenggara atas biaya darinya. Waktu itu aku bilang malu pada teman-teman kuliahku jika pernikahanku terselenggara tanpa ada pesta. Kemudian kutemukan kuitansi pembayaran operasi sesarku. Kupandangi Sari masih terlelap. Aku menelan ludah. "Pantaskah ibumu ini mencarikan ayah baru untukmu Sayang?"
Pandangan mataku berhenti lama menatap selembar kertas berisikan nama-nama anggota keluargaku. Wahyu Setiawan, Surabaya 16 September 1986, Nindi Arindia, Malang 8 Agustus 1990, Arindia Sari, Surabaya 7 Agustus 2013. Lagi-lagi aku menelan ludah. Pahit sekali. Aku terpaku pada selembar kartu keluarga itu. Haruskah kurobek kertas ini setelah begitu banyak kenangan yang terlukis indah di setiap sudutnya? Haruskah kuhancurkan masa depan anakku? Haruskah kudurhakai suamiku setelah begitu banyak pengorbanannya untukku?
Air mataku meleleh.
Dan raungan suara sepeda motor suamiku mengagetkanku. Cepat-cepat kuhapus air mataku. Bergegas kubukakan pintu kontrakan. Berkas-berkas itu tergeletak di lantai. Mas Wahyu mencium keningku seperti biasanya. Lelaki penyayang itu merebahkan badan di samping Sari. Jaket hijau bertuliskan nama perusahaan berbasis ojek tempatnya bekerja ditaruhnya di kursi. Wajahnya nampak kelelahan. Bibirnya kering.
Aku bergegas ke dapur untuk menyeduh teh. Mas Wahyu menatapku tak percaya melihatku membawakannya segelas teh. Aku tahu, dia pasti merasa heran melihatku berbuat demikian. Suatu hal yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.
"Bukannya kamu buru-buru akan mengirim surat lamaran kerja itu Dik?" tanyanya pelan sambil mengambil duduk di kursi sebelahku.
"Nggak jadi Mas."
"Lho. Kenapa?"
"Biarkan Sari besar dulu Mas. Dia lebih membutuhkan kasih sayang seorang ibu daripada sekedar uang saku yang tak seberapa. Uang dari Mas masih lebih dari cukup kok untuk kehidupan sehari-hari kita." Mas Wahyu menatapku tak berkedip, kemudian menyeruput tehnya. Tiba-tiba HP bututku di atas meja bergetar. Buru-buru aku mengambilnya. Mas Wahyu pura-pura membuka tudung nasi.
Haryo:
Kutunggu di per3an y Sayang. SMS ya kl dh nympek...
Dengan jemari gemetaran aku membalasnya cepat-cepat.
Maaf q g jd. Jgn hub q lg. q ngin bhagia brsma kluargaku.
Setelah terkirim SMS itu kemudian ku-delete semua. HP-ku kemudian ku-offkan. Suamiku menatapku sekilas. Kemudian menyeruput teh hangatnya lagi.
"Sebentar ya Mas. Biar kubuatkan telor ceplok dulu." Kataku sambil beranjak pergi ke dapur.
"Kamu nggak capek Dik? Biarkan nanti saja aku sendiri yang buat," ucapnya setengah berteriak. Kubalas teriakannya dengan seulas senyum dan kerlingan mata.
Di depan kompor batinku menangis. Betapa nistanya aku, mendurhakai lelaki sebaik itu, setelah begitu banyak pengorbanan cintanya padaku.
Sebenarnya, siang ini aku berniat untuk menemui Haryo. Teman semasa sekolah yang tergila-gila padaku dan kini telah menapaki kesuksesan. Dia mengajakku bekerja di kantornya. Dia menawariku sebuah janji manis tentang kehidupan indah bersamanya. Dia tahu betul, harta yang kini dimilikinya akan mampu menggoyahkan imanku. Merobohkan rumah tanggaku yang sedang dalam keadaan terpuruk untuk kemudian membangunnya kembali bersamanya.
"Kenapa kamu menangis Sayang? Maafkan aku telah mengajakmu hidup sengsara seperti ini." Aku kaget bukan kepalang. Tiba-tiba Mas Wahyu memelukku dari belakang.
"Nggak kok Mas. A..ku bahagia bisa hidup bersamamu." Jawabku setengah terbata. Di dapur sempit tanpa kipas ini tiba-tiba kurasakan kesejukan yang entah dari mana datangnya.

* * *
Mentaraman, 9/11/2016

Dan Sepatu pun MenertawakankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang