Misteri Air Terjun Sono Kliwon

2 1 0
                                    

Hari Minggu kami sepakat untuk meniadakan kegiatan. Bersama dua orang teman sesama peserta KKN, aku berlibur ke sebuah air terjun yang berada di pinggiran desa. Kami ingin menghilangkan kepenatan dengan berwisata ke sana. Sebenarnya tidak benar-benar berlibur, karena kedatangan kami untuk observasi guna pengajuan proposal pembangunan wahana objek wisata.

Sebagai mahasiswa yang sedang KKN, kami ingin berbuat sesuatu yang berguna bagi kemajuan desa tempat bertugas dan mengabdi ini. Kami bersikukuh mengusulkannya pada kepala desa, karena mendengar potensi alam yang cukup menjanjikan. Apalagi sekarang ini objek wisata menjadi kebutuhan pokok bagi sebagian besar masyarakat karena melonjaknya tekanan dan beban kehidupan.

Memang banyak kendala yang harus dihadapi untuk menjadikan air terjun itu sebagai objek wisata. Akses jalan yang sulit serta mitos adanya makhluk penunggu air terjun menjadikan masyarakat enggan datang ke sana. Konon, banyak orang yang kehilangan barang bawaan di tempat itu. Bahkan banyak juga yang kehilangan nyawa, kata masyarakat setempat. Mendengar cerita-cerita itu kami justru merasa tertantang untuk datang melihat seperti apa kenyataannya.Untuk mencapai tempat itu kami harus melewati jalan berbukit yang berbatu serta licin karena guyuran hujan beberapa hari ini. Marwal dan Kriting naik motor Beat, sedangkan aku naik Vega sendirian. Jalan perdesaan yang kami lewati sangat terjal. Perutku sampai terasa sakit menahan guncangan saat melintasi batu-batu besar di tengah jalan. Dan tiba-tiba ban motor milik Kriting bocor. Untung saja ada tukang tambal ban di perkampungan sepi itu. Seorang bocah berbaju dekil dengan cekatan melepas ban dan menambalnya menggunakan irisan ban dalam yang ia bakar di sebuah tungku besi yang memang dibuat untuk hal itu.

Jengah menunggu tambalan yang tak kunjung selesai, kami memesan kopi di kedai berdinding papan kayu randu sebelah tambal ban. Rupanya bocah itu pula penjualnya.

"Jalannya menyeramkan, masih siap melanjutkan perjalanan, Ting?" tanyaku sambil menyeruput kopi. Pesanan kopiku lebih dulu selesai daripada kedua temanku.

"Sekali roda berputar, pantang bagiku pulang sebelum sampai tujuan," ucapan optimisme Kriting berbaur dengan asap rokok yang berkebul di depan bibir hitamnya.

"Rodamu sudah tak mampu berputar lagi, Ting. Saatnya pulang," sahutku. Dia berdecih seraya mengacuhkan ucapanku.

"Mau ke mana Mas?" sahut bocah dekil tukang tambal ban yang merangkap sebagai penjual kopi itu. Gerakan tangannya lincah. Kuperhatikan pula raut wajah serta sorot matanya. Ada aroma kepedihan yang kutemukan di sana.

"Sono Kliwon," jawab Marwal, satu-satunya orang yang mulutnya tidak dijejali rokok.Bocah itu menuang kopi ke dalam gelas. Suara air mengucur di gelas yang dipadu aroma kopi semakin menggugah seleraku. Ia lantas berjalan pelan membawa nampan.

"Hati-hati Mas. Sebulan yang lalu ada orang gantung diri di sana. Walau pemandangannya bagus, tempatnya angker," dia bergumam sembari menghidangkan kopi untuk Marwal dan Kriting yang baru selesai diseduh.

Aku beradu pandang dengan Marwal dan Kriting untuk menyelami keadaan dan pikiran masing-masing. Seberapa kuat keinginan kami untuk pergi ke sana setelah semakin banyak mendengar cerita menakutkan itu?

"Orang sini yang mampir ke Sono Kliwon untuk mandi ketika pulang dari berladang di hutan, barang-barangnya selalu hilang, Mas. Kalau mau ke sana harus hati-hati. Apalagi masih muda," gurau bocah penjual kopi.

"Memangnya kenapa kalau masih muda?" sahutku.

"Apa tidak ada keinginan di benak kalian untuk menikah dan berkembang biak?" balasnya lagi. Sebagai penjual kopi, sepertinya dia telah bergaul dengan banyak orang. Caranya bicara seperti orang dewasa. Guyonannya pun renyah menggelikan.

Setelah saling memojokkan perihal perempuan, kami terdiam hingga beberapa kali isapan rokok. Kami bertiga kemudian berbisik-bisik untuk memperhitungkan rencana nekat ini.

Dan Sepatu pun MenertawakankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang