Dari jendela jerambah kulihat si khotib tengah membacakan teks kutbah dengan khusuk. Janggutnya yang memutih bergerak ritmis penuh kharismatis. Suara seraknya sedikit tersendat tatkala mengeja bacaan yang luput dari indera penglihatan. Sesekali batuk menghentikan kutbah -membuat para jamaah resah menunggu kelanjutan nasihatnya.
Sementara muridku terus berbicara, usik dan usil dengan teman-temannya. Jika kuminta diam, anak di sudut lain ganti yang ramai. Begitu seterusnya sepanjang jalannya khutbah. Kuat-kuat kupendam kesal. Betapapun malasnya aku bergulat dengan emosi, menghardik ke sana dan ke sini, tapi aku tetap mencoba bertahan daripada kena semprot warga yang tak senang dengan kehadiran muridku di masjid ini. Warga di sini mengenal murid-muridku sebagai pembawa kegaduhan tiap kali jumatan.Dan sayangnya anggapan itu memang benar.
Selepas mondok sekitar setahun yang lalu aku diminta mengajar di sebuah madrasah tsanawiyah swasta, tidak jauh dari kampung tempat aku tinggal. Program salat Jumat adalah salah satu yang diunggulkan di madrasah kami. Seiring dengan terkikisnya moral anak-anak, program sekolah yang berbasis keagamaan cukup diminati wali murid karena dianggap bisa menanggulangi rusaknya akhlak tersebut. Sebenarnya kami hanya numpang tempat di masjid kampung ini. Walau terkesan pencitraan, program ini menurutku masih lebih baik daripada membiarkan peserta didik pulang sebelum jumatan -biasanya mereka tak salat Jumat. Kesadaran menjalankan agama di desa ini masih tergolong rendah, perlu sedikit paksaan agar anak-anak mau dan terbiasa melakukan kewajibannya.
Ada 5 guru laki-laki di madrasahku. Tiga diantaranya selalu berangkat telat saat salat Jumat. Beberapa kali aku memintanya untuk datang tepat waktu agar bisa mengkondisikan murid-murid. Mereka sempat datang tepat waktu beberapa kali sebelum kemudian kambuh lagi. Banyak sekali tugas administrasi madrasah yang harus diselesaikan, katanya. Aku selalu berangkat bersama Pak Asro bersama pula dengan anak-anak madrasah. Namun Pak Asro yang sudah cukup tua dan pendengarannya telah berkurang -jarang- bahkan tak pernah ikut membantuku mengkondisikan anak-anak. Dia datang bersamaku lalu masuk dan iktikaf di dalam masjid, tak menghiraukan bagaimana gaduhnya anak-anak di jerambah.
Sebentar setelah kuancam agar diam, beberapa anak yang terkenal bandel di madrasahku mulai tenang. Sedikit terasa lega hatiku, dan kucoba menikmati ibadah Jumat sebagai momentum istimewa untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Sayangnya, detik berikutnya mati lampu, suara khotib pun hilang. Anak-anak kembali gaduh. Seorang pemuda tampak mendekati meteran listrik dan membenahinya. Listrik sempat hidup sebentar namun mati lagi. Sepertinya ada kabel yang korsleting. Anak-anak semakin riuh. Tak mau tinggal diam, aku menyuruh mereka tenang sembari mengumbar ancaman. Sajadah yang ada di tangan aku jadikan sebagai senjata andalan. Duh, salat Jumat yang penuh keistimewaan justru aku isi dengan amarah.
Di atas mimbar, sang khotib masih menyampaikan khutbah. Suaranya kini terbata-bata karena lampu penerangannya padam. Aku sendiri tengah sibuk mengawasi anak didik yang tak mau diam. Tidak jauh dariku tampak seorang lelaki yang mengamatiku penuh perhatian. Tampak ada sorot mata tak suka di ujung penglihatannya. Tatapan kami sempat bersirobok beberapa detik sebelumkemudian aku mengalihkannya. Dia mengenakan imamah putih dan ada beberapa helai janggut yang menjuntai di dagunya. Aku berusaha mengacuhkan, tapi tatapan mata itu meresahkan. Beberapa kali dia ikut menasihati muridku dengan isyarat tangan. Karena merasa risih aku menjauh sembari mengontrol muridku di sudut lain. Tak berapa lama kemudian salat Jumat usai. Kami pulang kembali menuju madrasah dengan berjalan kaki.
Tiba-tiba ada motor yang berhenti tepat di samping kami berjalan.
"Pak Guru, tolong berhentilah sebentar," ucap pemotor itu. Ternyata dia adalah lelaki ber-imamah di masjid tadi. Perasaanku mulai tak enak.
"Ada apa Pak?" tanyaku serius.
"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, sebentar saja."
Nada bicaranya yang tak ramah membuatku bertanya-tanya. Kesalahan apakah yang kuperbuat sehingga membuatnya begitu terganggu?

KAMU SEDANG MEMBACA
Dan Sepatu pun Menertawakanku
Krótkie OpowiadaniaBerisi tentang cerpen-cerpen yang pernah kutulis, kebanyakan pernah dimuat oleh duniasantri.co. "Dan Sepatu pun Menertawakanku" merupakan cerpen yang dipakai sebagai nama buku antologi cerpen yang diterbitkan oleh duniasantri.co. Selamat membaca...