Kemelut Gondang Wangi

4 1 0
                                    

Seperti biasa, suasana kantor desa Gondang Wangi riuh oleh suara obrolan para pamong desa.

"Kabarnya di dusun Gondang Sari tadi pagi ada sapi mati lagi Pak Das?" pertanyaan Pak Karbini mengusikku. Dia pasti ingin memojokkanku sebagai kepala dusun yang tak mampu menjaga keamanan. Kusemburkan asap rokok sebelum menanggapi ucapan kepala dusun Gondang Rojo itu. Kusempatkan pula menghela napas dengan lapang.

"Sepertinya wilayahmu itu semakin tidak aman saja, Pak," Pak Karbini melanjutkan ucapannya. Telingaku terasa kian panas. Kepala Desa masih sibuk membaca koran di sebelahku, abai dengan ucapan bawahannya yang mengusik emosi ini.

"Tahu betul kau tentang kabar di dusunku, Pak Bin?" sahutku seraya mengisap batang rokok kembali.

"Kita ini satu desa, Pak Das. Angin dengan sangat cepat menyebarkan apa pun kejadian yang menimpa kita ke telinga-telinga warga yang selalu haus berita itu."

Aku mengangguk paham, kemudian menyeruput kopi pahit yang terhidang di meja.

"Ini kejadian yang keberapa dalam sebulan ini Pak Das?" tanya kepala desa tiba-tiba, tanpa meletakkan lembar-lembar koran yang sedang dibacanya.

Aku segera tergeragap, mengingat-ingat kembali berapa kejadian sapi warga Gondang Sari yang diracun orang dalam sebulan ini. Tak kurang ada tiga kejadian dalam sebulan ini. Pak Karbini, kepala dusun Gondang Rojo, itu tersenyum sinis mendengar jumlah korban yang kusampaikan pada kepala desa. Dia sangat berkepentingan menghancurkan namaku agar kontestasi pilkades tahun depan tak ada aral yang menghalangi pencalonan dirinya dalam meraih kursi kepala desa.

Suatu malam aku datang ke sebuah kenduri kematian tetangga tidak jauh dari rumahku. Musim penghujan yang datang berkepanjangan membuat air hujan turun melimpah-limpah beberapa bulan ini. Jalan-jalan ke wilayah pelosok yang belum diaspal dipenuhi lumpur becek. Sebenarnya rasa capai dan jalan becek itu cukup menjadi alasan untukku tidak datang ke undangan kenduri itu. Akan tetapi sebagai seorang kepala dusun yang harus mengayomi banyak orang, mau tak mau aku akhirnya datang ke rumah hajatan itu dengan jalan kaki. Dan tentu saja, acara kecil ini teramat penting untuk mendulang popularitas namaku di kontestasi pilkades tahun depan.

Orang-orang dalam acara kenduri itu pun membicarakan kasus sapi keracunan yang begitu meresahkan warga akhir-akhir ini. Aku tak bisa berbuat banyak selain menjanjikan usaha untuk menyelesaikan kasus ini. Tak sedikit yang mengaitkan kejadian ini dengan kontestasi pilkades tahun depan. Warga yang mendukungku menganggapnya sebagai taktik oknum untuk merusak namaku. Di waktu yang bersamaan, di luar sana telah santer terdengar bisik-bisik orang tentang kelambananku dalam menangani kasus. Memang benar, semakin lama kasus ini dibiarkan, semakin hancur reputasiku sebagai pemimpin berwibawa yang dapat membawa kemakmuran. Harus kutemukan cara untuk membekuk biang keracunan itu.

Sambil melangkah pulang, pikiranku berkutat pada kontestasi pilkades tahun depan yang ternyata aral telah melintang cukup menyulitkanku. Aku tidak boleh menyerah. Jalan berliku menuju kursi kepemimpinan memang terjal, akan tetapi goncangan tatkala telah menjadi pemimpin kelak akan lebih hebat lagi. Tentu saja gangguan-gangguan itu sebanding dengan rasa bangga menjadi penguasa, dan tentu hasil bengkok yang luas itu cukup untuk mengisi lumbung padiku. Selain itu, sepertinya akan membahagiakan sekali menjadi orang yang paling berkuasa di wilayah ini. Akan semakin banyak orang yang tunduk dan menghormatiku.

Kutelusuri jalanan setapak yang becek oleh hujan. Karena jalan utama becek berlumpur, aku memutuskan untuk pulang melewati jalan pintas. Gerimis kembali mengguyur malam mengiringi langkahku. Kusingkap payungku. Sementara tanganku satunya menenteng bungkusan berkat. Malangnya, HP yang kugunakan sebagai senter tiba-tiba padam karena kehabisan baterai. Keputusanku melewati jalan pintas untuk mengurangi jarak ternyata salah. Di kanan-kiri jalan tidak ada satu pun rumah yang dapat memberikan berkas-berkas cahaya, membuat mataku tak mampu menangkap apa pun selain gelap. Kalaupun aku bisa melangkah, itu karena ada bantuan kilat yang sesekali datang menyibak kegelapan. Aku pun terus melangkah menjejak tanah becek.

Dan Sepatu pun MenertawakankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang