Keringat berleleran di kening istriku. Tangannya memegang pengepel lantai. Dia bersikeras untuk membantuku membersihkan lantai dari sisa-sisa keramik yang baru selesai dipasang. Perempuan berumur dua puluh empat tahun itu tak menghiraukan laranganku. Bukan maksudku untuk memanjakannya, hanya saja aku tak ingin kesehatan kandungannya terganggu. Ya, kami adalah pasangan suami-istri yang baru menikah beberapa bulan yang lalu. Dia baru saja lulus kuliah ketika kunikahi, sedangkan aku adalah seorang sopir perusahaan batu bara di Kalimantan yang sedang mengumpulkan modal untuk usaha. Ini adalah bagian dari cita-citaku; mengumpulkan uang selepas SMA untuk kemudian menikah dan menciptakan usaha. Kami membangun dua unit rumah kecil dengan beberapa kamar di dalamnya. Semuanya kuatur dengan model minimalis. Harapanku satu unit rumah kecil sebelah kiri akan bisa kukontrakkan setelah selesai dibangun nanti. Sementara ini uang yang kupunya hanya cukup untuk pembangunan rumah yang akan kami tempati. Beberapa hari lagi mungkin aku akan kembali ke Kalimantan untuk mencari modal.
"Sudah, istirahat saja kamu Dik. Ini tinggal sedikit. Ingatlah kesehatan bayi kita," aku merebut kain pel yang ada di tangannya. Dia melongo menatapku lama sambil menyeka muka dengan lengannya. Namun akhirnya dia merelakan pekerjaannya itu kuambil alih. Dia memberikanku sebuah senyuman sebelum akhirnya beranjak ke teras.
Aku sangatlah beruntung. Seorang pemuda desa yang tak pernyah mengenyam bangku kuliah namun mampu memperistri seorang gadis cantik dari kota yang dimanjakan dengan pendidikan sampai perguruan tinggi. Kami menikah lantaran dikenalkan oleh salah seorang teman di perusahaan tempatku bekerja. Tanpa ada pacaran sama sekali. Hubungan perkenalan kami meningkat menjadi pernikahan hanya dalam tempo kurang dari dua bulan. Sebagai seorang yang tak pernah mengenyam bangku sekolah Islam aku tak punya pengetahuan agama yang cukup untuk menjadi muslim yang baik, apalagi menjadi imam rumah tangga. Untungnya istriku memiliki pengetahuan agama yang mumpuni sehingga bisa melengkapi kekuranganku itu.
Aku menghampirinya setelah menyelesaikan pekerjaanku membersihkan keramik yang masih baru dipasang. Dia sedang sibuk memainkan HP di teras depan. Di kanan kirinya kardus-kardus keramik masih berserakan.
"Mungkin empat hari lagi aku akan berangkat ke Kalimantan," ucapku memberitahu. Tadi kami membicarakan hal ini sambil ngepel, namun aku belum punya jawaban yang pasti kapan akan berangkat karena masih memikirkan banyak hal. Sebagai pengantin baru, menjalin hubungan jalur LDR bukanlah hal yang mudah.
"Secepat itu Mas?" tanyanya dengan raut kaget.
"Bagaimana lagi Dik, kebutuhan kita masih banyak," aku menjawab dengan berat hati. "Lima bulan lagi anak kita juga akan segera lahir. Sedangkan kalau tetap di sini tidak dapat uang. Nggak ada pemasukan," sahutku mencoba realistis.
"Kalau itu sudah menjadi tekadmu aku cuma bisa mendoakan Mas. Sambil nunggu Mas pulang saya masih akan tetap aktif di yayasan. Bolehkan? Demi syiar Islam Mas?"
Aku mengiyakan permintaannya. Dia tersenyum bahagia.
"Mas," panggilnya beberapa saat kemudian.
"Iya. Ada apa lagi?" aku bertanya penuh kelembutan.
"Maaf ya Mas, mau minta ijin lagi. Sekitar satu jam lagi aku harus keluar rumah, ada rapat mendadak di kantor. Mas selesaikan kerjaannya dulu ya, nanti kalau sudah selesai aku akan segera pulang. Pasti boleh kan?" pintanya memelas. Dia kembali berkutat dengan HP-nya lagi setelah aku memberinya izin untuk keluar rumah.
Aku membiarkan dia pergi. Sebagai mantan aktifis kampus naluri berorganisasinya masih terlihat utuh seperti dulu. Membara penuh gelora. Aku yang tidak tahu apa-apa tidak ingin mengekangnya. Dalam hal agama, dia tidak perlu diragukan lagi. Aku tak perlu khawatir dia akan menyeleweng. Apalagi ini memang sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari. Menjelang magrib dia biasanya sudah pulang. Kami lantas terlibat perbincangan mengenai masa depan. Dan tekadku semakin bulat setelah istriku tidak keberatan aku tinggal pergi ke Kalimantan. Beberapa hal terkait keberangkatanku ke pulau seberang tak luput juga kami bahas. Aku merasa sangat bersyukur memiliki istri pengertian dan cekatan dalam melihat keadaan seperti dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dan Sepatu pun Menertawakanku
Historia CortaBerisi tentang cerpen-cerpen yang pernah kutulis, kebanyakan pernah dimuat oleh duniasantri.co. "Dan Sepatu pun Menertawakanku" merupakan cerpen yang dipakai sebagai nama buku antologi cerpen yang diterbitkan oleh duniasantri.co. Selamat membaca...